Menuju konten utama

Saling Tikam Hamas & Fatah: Israel Untung, Palestina Buntung

Otoritas Palestina yang dikontrol Fatah sering menangkapi aktivis yang berafiliasi dengan Hamas di Tepi Barat. Sebaliknya, Hamas menangkap aktivis Fatah di wilayah Gaza.

Saling Tikam Hamas & Fatah: Israel Untung, Palestina Buntung
Militan Hamas Palestina mengikuti latihan militer saat persiapan menghadapi konfrontansi dengan Israel, di selatan Jalur Gaza, Minggu (25/3/2018). ANTARA FOTO/REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa

tirto.id - Dua faksi politik Palestina yang saling bertikai selama belasan tahun, Fatah dan Hamas, pada Oktober 2017 sepakat melakukan rekonsiliasi. Fatah selaku pemimpin Otoritas Palestina yang berkuasa di Tepi Barat per 1 Desember 2017 bakal kembali hadir menguasai jalur Gaza yang dikuasai Hamas.

Namun, setahun kemudian, kesepakatan itu tak kunjung terlaksana. Hamas masih keberatan jika harus melucuti senjata sayap militer mereka dan menggantikannya dengan Pasukan Keamanan Otoritas Palestina.

Dalam 18 tahun terakhir, Hamas dan Fatah terus bertikai. Ketegangan mereka sering berujung bentrok yang mematikan. Baru-baru ini, tingginya gesekan antar kedua kelompok politik ini kembali mengemuka dalam sebuah laporan yang diterbitkan Human Rights Watch (HRW). Hasil penelitian HRW menyebutkan Hamas dan Fatah saling menangkap para aktivis dan pengkritik yang tinggal di wilayah kekuasaan mereka.

Fatah menguasai wilayah Tepi Barat dan mendominasi Otoritas Palestina. Mereka kerap menangkap aktivis yang secara politik berafiliasi dengan Hamas. Sebaliknya, di Gaza yang dikuasai Hamas, aktivis yang disinyalir menginduk ke Fatah juga ditangkapi.

Keduanya menangkap orang yang menyuarakan kritik atau giat dalam organisasi politik di kampus, media sosial, atau saat berdemo. Dalam beberapa kasus tertentu, para jurnalis independen yang meliput di wilayah Tepi Barat dan Gaza juga diciduk.

Kedua kelompok menahan aktivis dan pengkritik dengan menuduh mereka menciptakan "perselisihan sektarian, penghinaan terhadap "Otoritas Tinggi" atau merusak "kesatuan revolusioner". Di dalam tahanan, pasukan keamanan biasanya menghina, mengancam, dan membuat tahanan stres.

Alaa Zaqeq, misalnya, ditahan selama tiga minggu oleh pasukan keamanan Otoritas Palestina di Tepi Barat pada April 2017 sehubungan aktivitasnya bersama kelompok mahasiswa yang berafiliasi dengan Hamas. Oleh petugas di penjara kedua tangannya diborgol di belakang punggung. Sepotong kain diikat ke borgol dan ditarik dengan alat pengait ke atas melalui pintu.

"Mereka menarik kain itu, mengangkat tangan saya di belakang punggung saya. Kaki saya tidak dibelenggu, dan ujung kaki saya menyentuh tanah. Saya ditahan dalam posisi begitu selama 45 menit," kata Zaqeq kepada HRW.

Abdel Basset Amoom, mantan anggota keamanan Otoritas Palestina pernah ditangkap Hamas pada 2017 karena keterlibatannya dalam aksi protes tentang pemadaman listrik. "Anda para anggota Fatah ingin menciptakan kericuhan dan kekacauan, Anda ingin mengacaukan keamanan," kata Amoom menirukan interogator Hamas.

Jihad Barakat, seorang jurnalis yang memfoto Perdana Menteri Rami Hamdallah di sebuah pos pemeriksaan Israel, pernah ditangkap Otoritas Palestina pada 2017. Di Gaza, jurnalis Fouad Jarada dari Palestinian Broadcasting Corporation ditangkap Hamas pada Juni 2017. Fouad ditahan selama dua bulan lantaran mengunggah laporan kritis terhadap sekutu Hamas di akun Facebooknya.

Ada banyak lagi mantan tahanan Fatah dan Hamas yang membagikan kisahnya dalam laporan HRW itu. Saat dimintai tanggapan mengenai laporan penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan, baik pejabat Hamas dan Fatah kompak membantah laporan HRW.

Jubir pasukan keamanan Otoritas Palestina, Brigadir Jenderal Adnan Dameri mengatakan kepada Al-Jazeera bahwa Palestina sudah menandatangani hukum dan kovenan internasional yang melarang pelanggaran HAM dan penyiksaan.

Sedangkan jubir Kementerian Dalam Negeri Hamas Eyad al-Bozom mengatakan bahwa pihaknya tidak punya kebijakan untuk menyiksa karena hal itu merupakan pelanggaran hukum. Ia menyebut otoritasnya telah menindak para anggotanya yang melakukan kekerasan.

Laporan HRW berjudul “Two Authorities, One Way, Zero Dissent: Arbitrary Arrest & Torture Under the Palestinian Authority & Hamas” (PDF) diterbitkan pada 4 Oktober 2018. Berdasarkan hasil penyelidikan selama dua tahun, laporan itu mencakup 86 kasus, wawancara dengan 147 saksi termasuk mantan tahanan dan para keluarga mereka. Bukti foto, video, laporan medis dan dokumen pengadilan juga dikaji.

Menurut HRW bukti-bukti penangkapan dan penyiksaan secara sistematis itu bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) karena merupakan sebuah pelanggaran serius.

Kemunculan Fatah dan Hamas

Dalam perjalanannya, gerakan nasional pembebasan Palestina telah memunculkan dua faksi besar, yakni Fatah dan Hamas.

Fatah adalah singkatan dari Harakat al-Tahrir al-Filistiniya atau Gerakan Pembebasan Nasional Palestina. Encyclopaedia Britannica mencatat, Fatah didirikan oleh Yasser Arafat dan Khalil al-Wazir pada 1959. Pada Desember 1964, gerakan nasionalis sekuler Fatah menggelar operasi militer perdana dengan meledakkan instalasi pompa air Israel. Pada tahun-tahun berikutnya, Fatah masuk dalam daftar target militer Israel.

Fatah adalah salah satu faksi politik dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). PLO terbentuk pada 1964 dan mulai terkenal setelah Perang Enam Hari 1967. Perang antara negara-negara Arab dengan Israel yang berakhir kemenangan di pihak Israel tersebut membuat PLO makin solid bersatu sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan Palestina dan mewakili orang-orang Arab yang tinggal di Palestina sebelum negara Israel berdiri pada 1948.

Ada banyak faksi yang tergabung dengan PLO. Faksi-faksi yang radikal seperti Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) menginginkan penghancuran negara Israel dan menggantinya dengan negara sekuler di mana umat Yahudi, Kristen, dan Islam hidup berdampingan dan setara.

Sedangkan Fatah dalam perkembangannya menjadi faksi moderat yang memilih jalan lunak menyetujui solusi dua negara, Palestina dan Israel. Fatah sendiri menjadi organisasi politik yang dominan di tubuh PLO. Terlebih, Yaser Arafat pendiri dan pemimpin Fatah pada 1969 terpilih sebagai ketua PLO.

Sebuah faksi baru muncul ketika Intifada pertama meletus pada 1987. Kelompok Ikhwanul Muslimin Mesir membentuk milisi Brigade Izz al-Din al-Qassam yang ikut berperang melawan Israel saat Intifada pertama.

Menurut catatan Council on Foreign Relations (CFR), milisi al-Qassam inilah yang menjadi cikal bakal faksi Hamas. Hamas adalah singkatan dari Harakat al-Muqawama al-Islamiya atau Gerakan Perlawanan Islam.

Berbeda dengan perjuangan faksi-faksi PLO yang lebih dahulu eksis, Hamas menginginkan pembentukan negara Islam yang independen di tanah Palestina sesuai Piagam Hamas 1988. Dalam Pasal 27 Piagam Hamas, mereka dengan jelas menolak pendirian negara sekuler yang dicita-citakan PLO.

Dalam perkembangannya, Hamas dideklarasikan sebagai partai politik pada 2004. Pada pemilu legislatif 2006, Hamas menang telak. Mereka memenangkan 76 kursi, sementara Fatah hanya meraup 43 kursi.

Kisruh Hamas dengan Fatah dimulai ketika Ismail Haniya pemimpin Hamas membentuk otoritas pemerintahan sendiri pada 29 Maret 2006 dan menjadi Perdana Menteri.

Padahal, Otoritas Palestina sudah terbentuk sejak 1993 berdasarkan perjanjian Oslo yang disepakati antara PLO Fatah dan Israel. Perjanjian itu memberikan wewenang Otoritas Palestina untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri di wilayah Tepi Barat dan Gaza dengan Yasser Arafat sebagai presiden Otoritas Palestina.

Rujuk Sebentar Saja

Hamas dan Fatah pernah bersepakat damai dengan membentuk Pemerintah Persatuan Nasional Palestina pada Maret 2007. Kesepakatan damai ini ditentang Israel dan tak berumur panjang. Keduanya kembali terlibat konflik bersenjata ("Pertempuran Gaza") pada Juni 2007.

Hamas berhasil menguasai Gaza. Pada 14 Juni 2007, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas menarik diri dari Pemerintah Persatuan Nasional Palestina. Kemenangan Hamas menguasai Gaza dan mengusir pasukan Fatah membuat Israel dan Mesir menutup perbatasan dan hanya membuka jalur untuk bantuan kemanusiaan saja.

Sejak itulah muncullah dua matahari di Palestina, Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat. Berkali-kali upaya rekonsiliasi antar keduanya diselenggarakan (2007, 2012, 2014, 2017) tapi tak menemui kesepakatan. Pada saat bersamaan, keduanya juga melawan Israel dengan cara masing-masing.

Infografik Saling Tangkap Hamas & Fatah

"Gerakan nasional Palestina telah bergerak melampaui krisis menuju titik kebangkrutan," kata Ghassan Khatib, mantan menteri kabinet di Otoritas Palestina yang sekarang menjadi dosen di Universitas Bir Zeit, dekat Ramallah.

"Baik perlawanan bersenjata Hamas maupun diplomasi Fatah telah menguntungkan Israel," kata Khatib kepada Al-Jazeera. "Mereka gagal dalam pemerintahan dan publik sangat tidak puas."

Israel sendiri bukannya tak punya jejak kekerasan di Palestina. Laporan Human Rights Watch 2017 menyebutkan selama 50 tahun menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza sejak Perang Enam Hari 1967, Israel mengontrol kedua teritori dengan kekerasan dan pelanggaran HAM secara sistematis.

Di Gaza, pasukan Israel membunuh lebih dari 2.000 warga sipil Palestina dalam tiga konflik terakhir (2008-09, 2012, dan 2014).

Di Tepi Barat, pasukan keamanan Israel secara rutin menggunakan kekuatan berlebihan untuk menghadapi demonstrasi, melakukan kriminalisasi, dan tak jarang pembunuhan. Pada 1967, Israel memfasilitasi pemindahan warga sipilnya ke Tepi Barat dengan membangun dua pemukiman. Pada 2017, 237 pemukiman didirikan di Tepi Barat dan menampung sekitar 580.000 pemukim.

Baca juga artikel terkait KONFLIK ISRAEL PALESTINA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf