tirto.id - Pada 1967 perjuangan membebaskan rakyat Palestina dari proyek imperialisme Zionis memasuki babak baru. Israel telah berhasil mencaplok sisa wilayah Palestina: Tepi Barat, Yerusalem bagian timur, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan di Suriah, dan Semenanjung Sinai di Mesir.
Sejarah mencatatnya sebagai Perang Enam Hari. Sebab hanya butuh waktu 6x24 jam bagi Israel untuk melancarkan manuver yang membuat dunia terkejut—terutama bagi negara-negara anggota Liga Arab. Tahun lalu adalah peringatan 50 tahun terjadinya konflik penting yang mengubah wajah Timur Tengah itu.
Mundur sejenak ke tahun 1964, Liga Arab mengadakan pertemuan pertamanya di Kairo, Mesir. Salah satu keputusannya adalah pembentukan organisasi yang mampu menyatukan perjuangan rakyat Palestina. Maklum, saat itu masing-masing faksi berjuang sendiri-sendiri, dan dalam gerilya yang sifatnya sporadis.
Maka, pada 28 Mei 1964, tepat hari ini 54 tahun silam, Dewan Nasional Palestina menyelenggarakan sidang di Yerusalem untuk secara resmi mendirikan Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO).
Peran Besar Arafat
PLO bertindak seperti payung yang menaungi berbagai faksi yang membela Palestina sejak berdirinya negara Israel. PLO membuat perjuangan lebih terarah, yakni membebaskan rakyat Palestina dari cengkeraman Zionisme melalui perjuangan bersenjata. Visinya agar mereka yang sedang berdiaspora bisa pulang ke tanah air.
Encyclopaedia Britannica mencatat Perang Enam Hari benar-benar membuat Liga Arab harus menanggung malu besar. Namun, di sisi lain, PLO mulai mendapat panggung yang lebih luas sebagai representasi rakyat Palestina. Mereka “datang untuk mempromosikan agenda khas Palestina”.
Usai Perang Enam Hari, PLO makin solid dengan bergabungnya para pemimpin faksi-faksi pejuang gerilya. Salah satunya Fatah, yang lahir pada 1959 sebagai gerakan massa dan mulai 1965 jadi partai politik. Sosok di balik pendirian organisasi yang mengusung ideologi nasionalis-sekuler ini sudah tidak asing di telinga: Yasser Arafat.
Arafat lahir dari orang tua asal Palestina yang tinggal di Kairo, Mesir. Ia tumbuh menjadi pemuda nasionalis Arab yang anti-Zionis, menolak pendirian negara Israel, dan pernah bertempur bersama Ikhwanul Muslimin di Perang Arab-Israel tahun 1948.
Arafat sukses membawa Fatah sebagai faksi terkuat di PLO. Pada 1967 partainya menduduki 33 dari 105 kursi di Komite Eksekutif PLO. Pada 1969 ia juga berhasil menjadi ketua organisasi. Di tangan Arafat, reputasi PLO melambung. Di tahun pertama ia mengepalai PLO, BBC News mencatat Fatah menginisiasi 2.432 serangan gerilya ke Israel.
Di level internasional ia makin dikenal sebagai wajah perjuangan rakyat Palestina. Sosoknya ikonik sebab selalu mengenakan kafayeh berwarna putih dengan motif kotak-kotak hitam khas Arab. Fatah bak menjadi nama lain Palestina, dan sebaliknya.
Orang-Orang Kiri Ikut Beraksi
Saking populernya duo Fatah dan Arafat, orang-orang kerap lupa bahwa ada faksi-faksi lain di tubuh PLO, yang juga punya andil besar dalam perjuangan pembebasan rakyat Palestina.
Mereka adalah faksi-faksi sayap kiri militan dan revolusioner dengan arah perjuangan Marxisme-Leninisme. Dengan kata lain, mereka bisa digolongkan sebagai faksi komunis. Dua di antaranya adalah Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) dan Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina (DFLP).
Council on Foreign Relations (CFR) mencatat PFLP sebagai organisasi revolusioner-sekuler berhaluan Marxis-Leninis. Pendirinya adalah seorang lulusan sekolah kedokteran sekaligus politisi Kristen Palestina, George Ghabash, pada 1967 (salah satu pelecut utamanya lagi-lagi Perang Enam Hari).
Sejak pendirian organisasi, tidak butuh waktu lama bagi PFLP untuk menjadi faksi terkuat kedua di PLO. Radikalisme dan militansi PFLP juga tak perlu dipertanyakan. Mereka kerap menginisiasi serangan teror kepada Israel. Salah satu metode yang menjadikan reputasi PFLP legendaris adalah pembajakan pesawat komersil.
Pada September 1970, misalnya, mereka membajak empat pesawat. Tiga pesawat mendarat darurat di landasan dekat Zarka, Yordania, bekas pangkalan Angkatan Udara Kerajaan Inggris, yang oleh PFLP dideklarasikan sebagai "Bandara Revolusi".
Mereka mampu melakukannya berkat menjalin hubungan erat dengan Republik Rakyat Cina, Uni Soviet, kelompok gerilya sayap kiri di seluruh dunia seperti Partai Pekerja Kurdistan, Tentara Merah Jepang, dan Baader-Meinhof Jerman, juga rezim anti-Zionis lain seperti Suriah yang rajin menyalurkan sokongan dana.
DFLP adalah bagian dari PFLP yang memilih memisahkan diri pada tahun 1968. Mula-mula mereka memakai nama Front Demokratik Populer untuk Pembebasan Palestina (PDFLP). Pendiri dan pemimpin pertamanya adalah Nayef Hawatmeh. Hawatmeh membawa DFLP menjadi kelompok komunis yang, dibandingkan PFLP, lebih punya tendensi Maois.
Soal militansi, DFLP memang lebih lunak ketimbang PFLP. BBC News melaporkan mereka turut memelopori pembicaraan damai Israel-Palestina.
Meski demikian, secara bersamaan mereka juga menjalankan serangan-serangan kecil, termasuk dalam bentuk serangan bom. Mereka mencoba konsisten dengan komitmen pendirian PLO: perjuangan bersenjata untuk pembebasan Palestina.
DFLP tercatat dalam sejarah sebagai pelaku Pembantaian Maalot yang terjadi pada Mei 1974 di Kota Maalot, Israel. Tiga anggoa DFLP menyerbu teritori Israel dan mengambil 115 sandera. Peristiwa itu berakhir dengan terbunuhnya 25 sandera, tiga anggota DFLP, dan 68 lainnya luka-luka.
Faksi Moderat vs Faksi Radikal
PLO yang solid di awal lama-lama mengalami perselisihan internal akibat perbedaan pandangan tentang metode perjuangan organisasi. Faksi komunis dan faksi militan lain masih setia dengan perjuangan senjata. Namun Fatah mulai mengkonsolidasikan kubu yang menginginkan pendekatan lebih lunak.
Hingga di satu titik, visi “tidak ada tempat bagi negara Yahudi”, sebagaimana tertuang dalam Piagam Nasional Palestina (hasil resolusi Dewan Nasional Palestina bulan Juli 1968), mulai dikompromikan kubu itu. Arafat mulai melihat opsi dua entitas yang hidup berdampingan: negara Israel dan negara Palestina.
Visi ini jelas ditolak mentah-mentah oleh PFLP, DFLP, dan faksi militan lain yang tetap berpegang teguh pada cita-cita menghapus Israel dari peta dunia. Bahkan pada 1974 mereka bergabung dalam Front Penolakan untuk menolak hasil Konferensi Nasional Palestina ke-12 yang menghasilkan program-program yang lebih diplomatis kepada Israel.
Ketegangan dua kubu ini diceritakan dengan baik oleh William L. Cleveland dalam bukunya A History of the Modern Middle East (2004). Sepanjang dekade 1980-an, Fatah dan faksi-faksi pendukungnya di PLO memang kian melunak. Pada 1988 posisi Arafat kian terang: mendukung solusi dua negara, termasuk salah satunya mewacanakan Yerusalem Timur sebagai ibukota Negara Palestina.
Puncak kekecewaan faksi komunis terjadi saat Arafat atas nama PLO secara rahasia mengikat janji perdamaian dengan Israel. Kesepakatan Oslo ini disahkan pada 20 Agustus 1993. Tanggal 13 September di tahun yang sama ia terbang ke Washington D.C. untuk menghadiri pesta bersama Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin.
Usai Kesepakatan Oslo, Fatah semakin meninggalkan gaya perjuangan memakai senjata, dan lebih memilih jalur-jalur diplomatis untuk menyukseskan solusi dua negara. Mereka bergembira saat Arafat, Rabin, dan Presiden Israel Simon Peres mendapat Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1994.
Sementara itu, bubarnya Uni Soviet, gencatan senjata PLO dengan Israel, dan sejumlah faktor lain membuat daya tawar faksi kiri makin merosot—baik di tubuh PLO maupun di platform politik Palestina.
Meski tetap sesekali melancarkan serangan, termasuk terlibat dalam intifada jilid dua, popularitas mereka kini kalah oleh kelompok militan berhaluan Islamis seperti Hamas.
Editor: Ivan Aulia Ahsan