Menuju konten utama

Yahudi yang Anti-Zionis, Yahudi yang Pro-Palestina

Anti-Israel tidak sama dengan anti-Yahudi. Banyak pihak yang kontra dengan Zionisme karena murni anti-penindasan, termasuk dari kalangan Yahudi sendiri.

Yahudi yang Anti-Zionis, Yahudi yang Pro-Palestina
Kerjasama Islam dan Yahudi. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Zacharias Szumer lahir sebagai keturunan Yahudi dan besar di Australia. Selama tumbuh-kembang, penulis lepas yang lama tinggal di Indonesia itu mengaku tak terlalu peduli dengan ideologi Zionisme. Meski beberapa anggota keluarga ada yang tinggal di Israel, dalam melaksanakan pendidikan di rumah, ayah Zach tak membentuk Zach sebagai seorang Yahudi sejati—apalagi Zionis tulen. Sikap yang sama juga ditunjukkan kakeknya yang disebut “cukup Zionis”.

Zionisme (Bahasa Ibraninya צִיּוֹנוּת dan dibaca “tsiyonut”) adalah gerakan nasional orang Yahudi dan budayanya untuk mendukung terciptanya sebuah tanah air Yahudi di wilayah yang didefinisikan sebagai Tanah Israel.

Sialnya, gerakan “aliyah” atau imigrasi orang Zionis Yahudi yang diaspora di seluruh dunia menuju tanah Bangsa Palestina. Tragedi kemanusiaan, aneksasi, hingga beragam bentuk kekerasan pun lahir, dan dianggap sebagai konflik paling abadi dalam sejarah peradaban umat manusia.

Sebagai keturunan Yahudi, apakah Zach otomatis juga seorang Zionis dan tergila-gila pada Israel? Tidak juga.

Ia justru tak mendukung banyak kebijakan Israel, lebih umum lagi gagasan tentang pendirian sebuah negara yang didasarkan pada sentimen etno-religius. Namun ide radikal untuk “membasmi/menghancurkan Israel” juga tak ia setujui. Pendirian Israel melalui proyek Zionisme, menurut pendapat pribadinya, adalah solusi yang kacau untuk permasalahan yang kacau juga: anti-semitisme di Eropa yang sudah mengakar berabad-abad.

Baca juga: Rezim Pengetahuan di Balik Pendirian Negara Israel

Pandangan Zach otomatis menggugurkan generalisasi keterlaluan yang banyak diyakini orang awam di Indonesia dan banyak negara, bahwa orang Yahudi pasti pro-Israel dan dengan demikian anti-Palestina. Narasi ini kerap digoreng oleh kelompok Islamis demi kepentingan politis. Realitas dalam kehidupan orang Yahudi dan Zionis, kata Zach, juga tak melulu hitam-putih.

“Banyak orang non-Yahudi yang tak paham bahwa ada beragam definisi tentang Zionis di dalam komunitas Yahudi itu sendiri. Mulai dari dukungan mendasar atas ide abstrak tentang negara Yahudi, hingga dukungan yang bersifat spesifik dan material terhadap negara Israel. Dalam 100 tahun terakhir muncul Zionis Sosialis, Zionis Mesianis, Hasidic anti-Zionis, anti-Zionis sayap kiri, dan lain-lain,” tutur Zach kepada Tirto, Kamis (30/11/2017).

“Tapi hanya karena isu ini tidak hitam dan putih bukan berarti semuanya abu-abu. Ada banyak orang Yahudi di Australia yang kritis terhadap Zionisme, atau bahkan secara eksplisit menentang Zionisme dalam bentuknya hari ini.”

Ketidaksetujuan pada proyek Zionis bukan hal yang baru bagi tokoh Yahudi terkemuka. Lembaga penyeru perdamaian dunia Stop the War punya catatan khusus tentang hal ini. Noam Chomsky, filsuf dan kritikus politik terkemuka yang kini menjadi profesor linguistik di Institute Teknologi Massachusetts, menyatakan okupasi Israel lebih parah ketimbang apartheid yang dulu pernah mengorbankan masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan.

Baca juga: Sejarah Kebencian Terhadap Yahudi di Indonesia

Psikolog sosial terkemuka Eric Fromm menyatakan klaim tanah untuk bangsa Yahudi bukanlah klaim politik yang realistis sebab jika setiap pihak tiba-tiba mengklaim teritori bangsa lain yang telah menghuninya selama beribu-ribu tahun, maka hasilnya adalah kekacauan besar.

Psikoanalis Sigmund Freud, seorang Yahudi Austria, mengakui sedih bahwa fanatisme yang tidak berdasar dari orang-orang satu keturunannya membangkitkan ketidakpercayaan dari bangsa Arab. Freud menambahkan bahwa dirinya sama sekali tidak bisa bersimpati kepada jenis kesalehan yang salah arah, yakni jenis kesalehan yang menyinggung perasaan penduduk asli.

"Gagasan negara (Israel) tidak sesuai dengan hati saya. Saya tidak mengerti mengapa hal itu dibutuhkan. Hal ini terkait dengan banyak kesulitan dan pemikiran yang sempit. Saya percaya itu buruk,” demikian kolumnis Carolyn Leckie dari The National mengutip perkataan Albert Einstein, ilmuwan keturunan Yahudi dengan pencapaian intelektual yang membuat namanya bersinonim dengan “jenius”.

Sekte Yahudi Ortodoks Anti-Israel

Pada 1938 di Yerusalem berdiri sebuah kelompok ultra-ortodoks Yahudi bernama Neturei Karta. Sikap kelompok terkait isu Israel-Palestina tercermin dalam motto-nya: “Yahudi Bersatu Melawan Zionisme”. Mereka pro-Palestina dan menentang pendirian negara Israel karena percaya bahwa orang-orang Yahudi dilarang memiliki negara sendiri sampai turunnya Mesias Yahudi.

Neturei Karta didirikan oleh Rabbi Amram Blau dan Rabbi Aharon Katzenelbogen. Rabbi Blau adalah penduduk asli Shea Shearim di Yerusalem dan aktif di kelompok Agudat Israel selama era Mandat Inggris. Pada tahun 1930an Agudat mulai kompromistis terhadap gerakan Zionis. Rabbi Blau pun memutuskan untuk keluar pada tahun 1937. Bersama Rabbi Katzenelbogen mereka mendirikan kelompok bernama Chevrat HaChayim, yang kemudian berganti nama jadi Neturei Karta.

Dalam catatan Al Monitor, anggota Neturei Karta berjumlah sekitar 5.000 orang. Mereka tak tinggal hanya di Yerusalem saja, namun tersebar di banyak negara. Sikap kelompok ini ditunjukkan dalam aksi-aksi anti-Zionisme dan pro-Palestina mulai dari kota New York, Berlin, hingga ke London.

Saat Presiden Iran Mahmoud Abbas berpidato mengecam Israel di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 30 September 2015, di luar gedung berkumpul para anggota Naturei Karta yang menggelar aksi damai mendukung Palestina. Mereka membawa bendera Palestina dan rontek-rontek bertuliskan kecaman terhadap Israel. Bentuk gerakan yang sama juga mereka tunjukkan dalam aksi pro-Palestina di Berlin pada bulan Juli sebelumnya.

“Israel adalah pembunuh anak-anak!” seru mereka kala itu.

Baca juga: Negara Israel Nyaris Didirikan di Uganda

Pada September 2015 Neturei Karta mempublikasikan ideologi organisasi dalam pamflet berisi sederet pertanyaan dan jawaban (Q&A). Di dalamnya disebutkan bahwa Neturei Karta memahami tindak terorisme yang dilancarkan warga Palestina sebagai tindakan bela diri sekaligus perlawanan balik akibat pendudukan yang diinisiasi oleh Zionis. Namun dalam keterangan lebih lanjut mereka tidak turut mempromosikan kekerasan dalam beragam bentuk.

Sikap Neturei Karta juga punya landasan teologis—yang tentu tak disepakati oleh kelompok relijius pro-Israel. Rabbi Yosef Elboim, misalnya. Salah satu aktivis organisasi itu pernah mengajak pengikut Yahudi pergi ke Masjid Al-Aqsa untuk mengadakan demonstrasi damai. Mereka membawa rontek-rontek bertulisan bahasa Ibrani yang berbunyi “Memprovokasi bangsa Arab dilarang oleh Taurat.”

Mosche Hirsch adalah salah satu aktivis legendaris di tubuh Neturei Karta. Ia punya hubungan mesra dengan mantan pemimpin Organisasi Pembebas Palestina (PLO) Yasser Arafat dan pernah menjabat sebagai menteri urusan Yahudi di pemerintahan Palestina. Cucunya, Chaim Hirsch, juga mengikuti jejak kakeknya. Chaim menuduh bahwa selama ini Israel-lah yang bertanggung jawab atas munculnya gelombang terorisme yang mengorbankan nyawa baik warga Israel maupun Palestina.

Konsistensi dukungan Neturei Karta ditegaskan Chaim demi menjaga hubungan damai dengan rakyat Palestina. Ia menyatakan tak keberatan jika hidup di bawah pemerintahan Palestina. Jika selama ini ada warga Palestina yang membunuh orang Yahudi, itu karena mereka diprovokasi. “Jika mereka diprovokasi, mereka akan meresponnya,” kata Chaim kepada Al Monitor, menjelaskan tentang maraknya aksi penusukan warga atau tentara Israel oleh warga Palestina.

Baca juga: Deklarasi Balfour: Saat Inggris Mendukung Zionisme di Palestina

Chaim masih percaya bahwa perjuangannya memiliki faedah positif untuk kaumnya, yakni berkurangnya sentimen anti-semitisme kepada orang Yahudi. Selama ini kebencian terhadap orang Yahudi meningkat tajam karena agresi, aneksasi, dan represi Israel. Yahudi disamaratakan sebagai golongan yang jahat. Chaim dan kawan-kawannya hanya berusaha mengingatkan bahwa pandangan tersebut keliru, dan kepedulian terhadap bangsa Palestina itu universal alias tak memandang ras atau agama.

Ray Filar punya kegelisahan yang sama dengan Chaim. Ray keturunan Yahudi yang besar di kalangan ortodoks pro-Israel. Dalam esai emosionalnya untuk Open Democracy menyatakan marah dan amat terkejut dengan sejarah brutal bangsanya yang menyatakan diri sebagai Zionis. Ray tinggal di Tepi Barat, sehingga memahami kepedihan bangsa Palestina bukan hanya dari buku sejarah dan isi kuliahnya di kampus, tapi juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dalam realitas sehari-hari.

Israel adalah negara paling demokratis di Timur Tengah, demikian yang pernah diajarkan ke Ray. Namun lambat laun matanya terbuka oleh fakta penting: Israel justru menjalani hari-harinya dengan kebrutalan, okupasi lahan, represi militeristik, dan pengusiran paksa. Tak ada yang demokratis dalam tindakan-tindakan tersebut. Dan ketika rakyat Palestina mencoba mempertahankan haknya, Zionis justru melabeli mereka dengan sebutan teroris.

Baca juga: Perang Yom Kippur: Bukti Sulitnya Mendamaikan Arab-Israel

“Orang-orang berargumen mendukung Israel yang dinilai memainkan peran dalam membangun demokrasi dan toleransi sebagai suar pencerahan di Timur Tengah yang dianggap biadab. Tapi Israel pada hari ini terobsesi dengan yang namanya kemurnian etnis. Kebijakan totaliternya secara strategis diberlakukan di sana, di luar tembok-tembok pengaman yang mengelilingi Tel Aviv.” ungkap Ray.

Jalan Lain Bagi Diaspora

Kendati demikian, kelompok-kelompok seperti Naturei Karta bukannya kebal kritik, bahkan di lingkungan Yahudi progresif yang kritis terhadap Israel. Pandangan keagamaan Neturei Karta tak jarang dinilai sektarian karena menuding orang-orang Yahudi lain yang tak sejalan sebagai "tidak otentik" atau "bukan Yahudi sejati."

"Pandangan Neturei Karta dibentuk oleh penentangan mereka atas hak penentuan nasib Yahudi, alih-alih dukungan terhadap hak penentuan nasib Palestina," tulis Eldad J. Levy, direktur Seeds of Peace cabang Israel.

Akar-akar Neturei Karta dapat dilacak ke reaksi terhadap Haskalah, gerakan renaisans Yahudi diaspora di Eropa pada abad 19. Renaisans inilah yang kelak membuat banyak Yahudi Eropa merangkul rasionalisme dan sekularisme, menciptakan intelektual-intelektual kelas dunia dan—sebagai respons atas persekusi—melahirkan cita-cita pendirian tanah air merdeka, yang kini secara umum diidentifikasi sebagai benih-benih Zionisme.

Namun bahkan hingga 1948 ketika Israel resmi berdiri, masih terdapat perdebatan sengit yang melibatkan faksi-faksi gerakan zionis soal apakah mereka sebaiknya berasimilasi dengan warga Arab alih-alih tersegregasi, apakah dalam negara Yahudi warga Arab akan diperlakukan setara dengan warga Yahudi, dan seterusnya yang hingga kini sedikit banyak tercermin dalam perdebatan seputar solusi dua negara (Israel dan Palestina berdiri sebagai entitas yang masing-masing berdaulat) atau solusi satu negara (negara baru yang menggabungkan teritori Israel dan Palestina dan mampu menampung warga Arab dan Yahudi dalam kesetaraan mutlak).

"Mirip dukungan Kristen Evangelis terhadap kelompok-kelompok kanan radikal Israel, dukungan Neturei Karta untuk rakyat Palestina didasari pandangan fundamentalis, bukan solidaritas ideologis terhadap perjuangan Palestina," lanjut Levy. Neturei Karta berulangkali terlihat mesra dengan kelompok-kelompok rasis ultra-kanan seperti Partai Jobbik di Hongaria, menghadiri sebuah konferensi yang menyangkal Holocaust di Iran pada era Ahmadinejad.

Infografik Organisasi yahudi pro palestina

Rabbi Beck, salah seorang aktivis Neturei Karta di London, bahkan menyatakan bahwa Holocaust, pembunuhan terhadap 6 juta orang Yahudi di Eropa antara 1933-45, merupakan hukuman Tuhan karena orang-orang Yahudi kurang saleh. Kendati dapat dibenarkan bahwa kaum Zionis sayap kanan telah mengeksploitasi isu Holocaust demi kepentingan politik mereka, mengatakan jutaan orang dibantai karena kurang saleh tentu keblinger.

Jalan yang berlainan dengan Neturei Karta ditempuh oleh Center for Jewish Non Violence (CJNV), organisasi Yahudi lain yang punya sikap kritis terhadap Israel. Organisasi ini menerapkan prinsip demokratis-kolaboratif untuk mendorong orang Yahudi yang berdiaspora untuk bersolidaritas dengan orang Palestina dalam usaha melawan pendudukan Israel. Mereka mendukung agar pendudukan Israel di Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza segera berakhir.

Sebagaimana tertuang dalam website resminya, prinsip pokok CJNV menjunjung tinggi kemanusiaan universal dan kesetaraan penuh antara orang Palestina dan Israel. Bentuk gerakan yang paling sering, selain kampanye lewat media sosial, adalah demonstrasi damai terutama di Tepi Barat, Yerusalem, dan area pemukiman warga Palestina yang rawan digusur. Mereka juga mengadakan aksi penanaman pohon di Tepi Barat tiap libur Tu Bishvat sebagai simbol dukungan atas kemerdekaan tanah air Palestina.

Negara Israel dirancang sebagai tanah air untuk orang-orang Yahudi yang telah berdiaspora ke seluruh dunia selama ribuan tahun karena persekusi. Ketika tak sedikit dari generasi baru Yahudi Diaspora yang memprotes kesewenang-wenangan republik yang berdiri pada 1948 itu, klaim bahwa Israel mewakili kepentingan dan aspirasi orang Yahudi secara global pun goyah.

"Kehadiran kami sebagai Yahudi Diaspora yang memprotes pendudukan ternyata membuat pemerintah Israel tersudut: mereka mencegah kami mengorganisir aktivisme damai, karena kebijakan Israel di teritori (Palestina) adalah kebijakan penindasan," tulis Ilana Sumka, pendiri dan direktur CJNV di The Nation.

"Hal semacam itu mementahkan klaim Netanyahu bahwa ia merepresentasikan seluruh orang Yahudi."

Baca juga artikel terkait YAHUDI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf