tirto.id - Di tengah hiruk pikuk konflik, anyir darah, dan desingan peluru dalam insiden Al-Aqsa beberapa waktu lalu, ada baiknya kita membaca konflik antara Palestina dan Israel dari kacamata kejernihan sejarah.
Melalui sejarah, kita dapat mengurai benang kusut dari setiap konflik. Dan, dengan pembacaan yang jernih dan peka atas pergumulan kuasa dan pengetahuan, kita dapat membongkar bagaimana operasi penundukan dan penindasan berlangsung dalam sebuah wilayah, dalam hal ini relasi antara Israel dan Palestina. (Baca: Kekerasan Israel-Palestina di Masjid Al-Aqsa)
Dengan begitu, kita bisa membongkar apakah eksistensi negara Israel konon berpijak pada fakta berbasis studi-studi ilmiah, atau sebaliknya: sekadar mitos dan fiksi sejarah. Dari pembacaan itu, kita bisa menelisik status negara Israel sebagai entitas yang legal (atau ilegal) dalam perspektif keilmuan modern.
Sejak awal ada hubungan mutual antara otoritas politik dan otoritas pengetahuan sebagai pengawal ideologi Zionisme. Otoritas pengetahuan berperan besar memberi legitimasi ilmiah terhadap migrasi orang Yahudi ke wilayah Palestina serta pendirian negara Israel.
Israel, sebagai konsep historis, pertama-tama dirintis oleh Ben Zion-Dinur, sejarawan dan akivis Zionis generasi pertama. Ia mengungkap disiplin kajian akademik Zionisme berpijak pada perkawinan antara kecakapan ilmiah untuk menemukan fakta sejarah dan pemahaman yang benar tentang Zionisme (Pappe 2014; Piterberg 2010).
Dari tradisi Zionis awal ini muncullah mitos besar bahwa Tanah Israel, yang berdiri di atas Tanah Palestina, adalah hak eksklusif bangsa Yahudi. Legitimasi ilmiah atas klaim ini salah satunya ditopang oleh sejarawan kondang Sir Martin Gilbert dalam Atlas of the Israel-Palestine Conflict.
Karya Gilbert menjadi salah satu model naskah klasik bagaimana tradisi pengetahuan Zionisme bekerja mencari fakta-fakta sejarah untuk merawat klaim ideologis yang memosisikan Palestina sebagai wilayah tanpa bangsa. Gilbert menuturkan kehadiran komunitas Yahudi sebelum dan setelah penaklukan Muslim Arab (tanpa memberi elaborasi tentang hadirnya komunitas-komunitas Arab lain di Tanah Palestina) dan mengklaim pada abad 19, sebelum migrasi kaum Yahudi, Palestina merupakan tanah tak berpenghuni.
Dari pemaparan itu, karya Gilbert membingkai benturan komunitas Arab dan Yahudi (1920-1929) sebagai agresi Arab terhadap Yahudi. Sementara pemberontakan kaum Arab pada 1936-1939, demikian dalam karya Gilbert, dikisahkan sedemikian rupa sebagai kampanye anti-semitisme terhadap komunitas Yahudi.
Dalam Ten Myths about Israel (2017), Ilan Pappe menemukan beberapa cacat fakta sejarah di dalam diskursus akademik Zionis arus utama yang memosisikan Palestina sebagai negeri tanpa penghuni. Pappe menguliti mitos tentang Israel dengan menggugat narasi dominan bahwa para pendatang Yahudi, yang berimigrasi ke Palestina sejak 1882, adalah anak cucu dari kaum Yahudi yang diusir oleh otoritas Roma dari Tanah Israel pada abad ke-1 Masehi.
Pappe mendedah temuan-temuan akademik yang menunjukkan kaum Yahudi di era Roma masih tinggal di wilayah Palestina; di antara mereka bahkan pindah agama jadi Kristen dan Islam. Selanjutnya, menurut Pappe, sejarah Palestina sangat lekat dengan pelbagai monarki dan kekhalifahan sepanjang peradaban Islam.
Bahkan ketika kekhalifahan Turki Utsmani tiba di bumi Palestina, mereka mendapati mayoritas penduduk beragama Islam Sunni bersanding dengan populasi Yahudi (sekitar 5% dari keseluruhan populasi) dan Kristen (10-15%).
Berbeda dari doktrin bahwa Palestina adalah daerah sepi tak berpenghuni, seperti wilayah Arab lain, Palestina adalah negeri dengan masyarakat dinamis dan terbuka terhadap proses modernisasi dan perubahan. Pelabuhan dan pantai menjadi tempat interaksi perdagangan dengan bangsa-bangsa lain termasuk Eropa. Bahkan, seperti diutarakan oleh Pappe, penduduk Palestina tengah berkembang membentuk kesatuan bangsa yang diawali kepopuleran pemimpin lokal seperti Daher al-Umar (1690-1775).
Namun, ide tentang bangsa (nation) dan nasionalisme dalam bentuk perasaan patriotisme, solidaritas kelompok, dan sentimen kearaban—yang tumbuh subur sejak abad 19—tiba-tiba mengalami sabotase politik seiring janji Inggris kepada kaum Yahudi Eropa pada 1917.
Gagasan nasionalisme dalam masyarakat Arab yang dinamis ini berkembang pesat sejak sebelum 1800-an, bahkan ketika otoritas pengetahuan Yahudi baru mulai menyebarkan mitos Palestina sebagai tanah tak berpenghuni. Mitos ini—yang mengabaikan fakta sejarah di atas—punya motif kepentingan politik untuk melayani narasi besar bahwa kaum Yahudi adalah pewaris sah Palestina.
Yahudi, Bangsa tanpa Wilayah?
Dalam Nations and Nationalism since 1780 (1990), sejarawan Yahudi-Marxis Eric Hobsbawm menyatakan secara lugas bahwa mencari-cari koneksi antara kaum Yahudi dan mitos kuno Tanah Israel demi membenarkan teritori negara Israel (yang baru resmi berdiri pada 1948) adalah sia-sia belaka.
Di dalam tata masyarakat modern ketika penghormatan atas kesetaraan antar-manusia menjadi prinsip keadaban, sesuatu sungguh absurd memaksakan hak atas suatu wilayah berdasarkan klaim kitab suci tanpa mengindahkan fakta-fakta historis tentang keberadaan masyarakat lain yang telah tinggal di wilayah tersebut.
Seperti diutarakan sejarawan Yahudi Shlomo Sand dalam The Invention of the Land of Israel: From Holy Land to Homeland (2012), keyakinan Yerusalem sebagai tanah air bagi kaum Yahudi merupakan temuan modern ketimbang sebuah tradisi yang ditampilkan kembali. Bukan berarti Sand menolak koneksi historis antara kaum Yahudi dan Yerusalem, tetapi dalam tradisi-tradisi lama Yahudi, Yerusalem lebih bermakna sebagai tanah suci, alih-alih tanah air.
Dalam pergeseran makna dari ‘tanah suci’ ke ‘tanah air’ inilah pengaruh sentimen kultural dan ideologi fundamentalis non-Yahudi berkembang (seperti halnya ideologi khilafah sebagai tatanan politik supranasional dalam keyakinan beberapa kelompok fundamentalis Islam). Menurut Sand, Eretz Israel (Tanah Israel) atau tanah yang dijanjikan oleh Tuhan kepada Ibrahim dalam tradisi biblikal Yahudi sebenarnya merujuk pada wilayah Samaria dan Palestina bagian utara (disebut sebagai tanah Kanaan)—sementara Yerusalem, Hebron, dan Betlehem tidak termasuk di dalamnya.
Terlepas dari temuan mengejutkan Sand, sebenarnya klaim-klaim kitab suci sendiri tak bisa sedemikian rupa diakui sebagai sebuah klaim kesepakatan politik modern.
Meneruskan temuan Sand, Ilan Pappe (2017) menjelaskan Zionisme sendiri sebenarnya merupakan ideologi fundamentalisme modern yang akar-akarnya dapat ditemukan pada:
Pertama, sentimen anti-semitisme bangsa-bangsa Eropa sejak era Perang Salib, yang meyakini kaum Yahudi tak bisa berintegrasi dalam masyarakat Eropa.
Kedua, pemikiran fundamentalis Kristen Evangelis yang meyakini kebangkitan Mesias (sang Juru Selamat) didahului oleh migrasi seluruh orang Yahudi ke Palestina, yang lantas membuat mereka memeluk agama Kristen dan menjadi permulaan kebangkitan Juru Selamat Baru.
Ketiga, kolonialisme modern yang berlangsung sejak era zaman Napoleon, dan kolonialisme Britania Raya yang meyakini kehadiran negara Israel sebagai bagian dari strategi mengeksploitasi manusia dan alam di Timur Tengah.
Pada akhirnya, alih-alih merepresentasikan kemajuan dan semangat pencerahan, Zionisme modern sebenarnya pantulan dari wajah-wajah gelap "peradaban Barat" di balik kemilau janji-janji kemodernan dan pencerahan. Di balik ampas-ampas pencerahan inilah penindasan, pengusiran, eksploitasi, dan apartheid modern sampai abad 21 meraja di Bumi Palestina.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.