Menuju konten utama

Saat Nelayan Pantura Jadi Tumbal Saingi Kapal Cina di Natuna

Keputusan pemerintah mengirim nelayan Pantura ke Natuna dinilai tak serta-merta menjadi solusi saingi kapal Cina di perairan tersebut.

Saat Nelayan Pantura Jadi Tumbal Saingi Kapal Cina di Natuna
Sejumlah kapal asing yang tertangkap pihak berwenang siap untuk ditenggelamkan di perairan Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (17/8). Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) menenggelamkan 60 kapal asing di berbagai daerah di Indonesia dengan cara dibocorkan lambung kapalnya dan dicor semen sebagai pemberat. ANTARA FOTO/Humas KKP/pras/kye/16.

tirto.id - Pemerintah berencana mengirim nelayan dari Pantura, Jawa Barat untuk menangkap ikan di perairan Natuna. Alasannya, kapal ikan asing dari Cina hingga Vietnam masuk ke perairan milik Indonesia itu karena kurangnya aktivitas nelayan lokal di perairan itu, kata Menkopolhukam Mahfud MD.

Mahfud MD mengaku, saat ini sudah mendapat 120 nelayan Pantura yang mau dikirim ke Natuna. Ia pun berjanji akan memperlancar izin dan memberi perlindungan agar saat melaut mereka tidak diganggu kapal-kapal asing.

“Sekarang dimasuki karena kita kurang hadir di sana,” kata Mahfud MD, di kantornya, Senin (6/1/2020).

Mahfud menambahkan, “Saudara akan dilindungi oleh negara. Tidak akan ada tindakan-tindakan fisik yang mengancam saudara,” kata dia.

Rencana pemerintah untuk meningkatkan aktivitas penangkapan ikan di Natuna ini direspons Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Tegal Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Riswanto. Ia mengaku mau-mau saja berangkat ke Natuna, tetapi mereka terkendala biaya.

Riswanto bilang penangkapan ikan di Natuna harus melalui kapal ukuran besar, di atas 100 Gross Ton (GT) karena memerlukan waktu setidaknya 2-3 bulan. Namun, kapal sebesar itu tak boleh menggunakan BBM bersubsidi. Sebab, BBM subsidi dibatasi hanya untuk kapal ukuran di bawah 30 GT.

Alhasil, ia pun tak habis pikir bila nelayan seperti dia harus merogoh saku cukup dalam agar kapalnya bisa “meminum” BBM dengan harga industri.

“Kendala banyak. Karena untuk kapal-kapal di atas 30 gross ton kita memakai BBM industri. Sedangkan biaya untuk ke Natuna tidak sedikit. Paling besar adalah biaya operasional terkait harga BBM,” ucap dia kepada wartawan saat ditemui di Kantor Kemenkopolhukam, Senin (6/1/2020).

Belum lagi, kata Riswanto, tak ada jaminan bila hasil melaut di perairan Natuna pasti melimpah ruah.

Dengan perkiraan biaya hingga Rp500 juta untuk 2 hingga 3 bulan pelayaran serta belum jelasnya perizinan, ia mengaku belum berani berangkat ke lokasi yang tengah diributkan antara Cina vs Pemerintah Indonesia itu.

“Kami memakai BBM industri, otomatis akan menambah biaya operasional kami, sifatnya adalah mencari ikan yang belum tentu kami dapat ikannya,” ucap Riswanto.

Hal senada diungkapkan peneliti mandiri Ekonomi Kelautan Indonesia, Suhana. Ia mengatakan pemerintah tak bisa sembarang memindahkan nelayan ke Natuna. Sebab, kata dia, tanpa kajian yang matang, kehadiran para nelayan luar Natuna itu dikhawatirkan justru sia-sia.

Pernyataan Suhana ini tentu tak mengada-ngada. Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 47 Tahun 2016, 8 dari 9 kelompok jenis ikan di wilayah Natuna (Kode: WPP 711) sudah harus dikurangi penangkapannya.

Untuk kategori over exploited atau yang penangkapannya harus dikurangi, ada 5 jenis ikan, yaitu ikan pelagis kecil, udang penaeid, lobster, kepiting, dan cumi-cumi.

Sementara kategori fully exploited atau yang hanya dapat ditangkap secara terbatas mencangkup 3 jenis ikan lagi, yaitu ikan Demersal, Ikan Karang, dan Rajungan. Satu-satunya kelompok yang dinilai masih aman jumlahnya hanya ikan pelagis besar.

“Ini yang perlu dihitung KKP. Apakah masih memungkinkan untuk mendorong kapal Pantura ke WPP 711,” ucap Suhana saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (7/1/2020).

Belum lagi berdasarkan data KKP per 2 Januari 2019 saja, ada 811 kapal ikan RI dengan ukuran di atas 30 GT yang beroperasi di Natuna.

Melihat keterbatasan itu, Suhana menambahkan secara sosiologis, idealnya pemerintah memberdayakan nelayan lokal untuk menguasai perairan Natuna meski memboyong nelayan Pantura tidak dilarang.

“Secara sosiologis memang baiknya nelayan lokal yang diotimalkan untuk menguasai,” ucap Suhana.

Ketua Nelayan Lubuk Lumbang, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Herman pun pernah bercerita kalau anggotanya takut melaut di Natuna. Pasalnya banyak kapal asing mengambil ikan membuat nelayan lokal seringkali terganggu dan akan terusir bila kapal asing melaut.

“Sebagian nelayan khawatir melaut. Mereka berpikir akan ada ancaman oleh nelayan asing. Nelayan saya kalau di laut tidak berani, khawatir ditabrak nelayan asing,” ucap Herman, pada Jumat (3/1/2020) seperti dikutip Antara.

Ketua Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata mengatakan pemerintah seharusnya mampu meningkatkan kehadiran nelayan lokal di perairan itu. Hal ini, kata Marthin, justru belum dilakukan secara serius, baik di era Susi Pudjiastuti (Kabinet Kerja 2024-2029) maupun era Edhy Prabowo.

Karena itu, Marthin menilai, pemerintah perlu membenahi pengawasan laut. Sebab, kata dia, tanpa keseriusan membenahinya, maka akan sulit meyakinkan nelayan mengakses wilayah ZEE yang menjadi hak Indonesia.

“Tidak ada reformasi yang dilakukan untuk memperkuat pengawasan laut. Seperti masih adanya 13 institusi yang mengawasi laut dan menyebabkan anggaran pengawasan laut lemah,” ucap Marthin dalam pesan singkat, Sabtu (4/1/2020).

Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo enggan berkomentar terkait penambahan nelayan dan aktivitas penangkapan ikan di Natuna. Ia hanya mengatakan KKP akan ikut menjaga dan melaksanakan tugas melindungi Natuna dari kapan pencuri ikan.

“Ya enggak usah saya ceritakan di sini,” ucap Edhy kepada wartawan saat ditemui di BPK RI, Senin (6/1/2020).

Di sisi lain, Badan Keamanan Laut (Bakamla) juga turut merespons terkait 120 nelayan Pantura Pulau Jawa yang akan dikirim ke Lautan Natuna, Kepulauan Riau. Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Achmad Taufiqoerrochman mengingatkan, kondisi cuaca yang memengaruhi ketinggian ombak yang bisa sangat membahayakan.

"Hanya yang jadi masalah adalah musim sekarang musim ombaknya besar. Apakah nelayan kita mampu? Itu yang nanti kita lihat. Jadi, kita akan lebih mengedepankan keselamatan," kata Taufiqoerrochman di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (2/1/2020).

Selain itu, kata dia, kondisi kapal ikan juga harus dicek dan dipastikan laik digunakan. Sebab selama ini banyak yang sudah lama tidak dioperasikan.

"Walau pun bagaimana, saya tahu bahwa kapal ikan itu sudah lama nggak beroperasi. Ini kan dicek dulu, sistem keselamatan, dan sebagainya," ujarnya.

Baca juga artikel terkait NATUNA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz