Menuju konten utama

Saat Kepala Daerah Berebut Insentif Lewat Rekayasa Data Inflasi

Para ekonom mendorong agar pengawasan yang lebih ketat dan penindakan keras agar kejadian tidak terulang.

Saat Kepala Daerah Berebut Insentif Lewat Rekayasa Data Inflasi
Sejumlah warga membawa paket sembako murah di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (21/2/2024). Paket sembako murah seharga Rp100.000 yang digelar di 44 titik di DKI itu merupakan upaya Pemprov DKI untuk mengatasi inflasi di Jakarta. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym.

tirto.id - Pemberian insentif fiskal untuk pemerintah daerah (pemda) yang berhasil mengendalikan inflasi dijadikan ajang kepala daerah menambah cuan daerah. Tidak sedikit pemda malah berbuat curang dengan mengakali angka inflasi daerahnya agar terlihat rendah dan menerima insentif tersebut.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, mengungkapkan, salah satu modus paling baru yang diketahuinya dan kerap digunakan oleh pejabat daerah adalah dengan mendatangi langsung kantor Badan Pusat Statistik (BPS) di daerah masing-masing. Mereka meminta agar angka inflasi dipasang rendah.

Jika BPS tidak mau bekerja sama, pejabat daerah tersebut melakukan cara lain, yakni dengan menggelar operasi pasar atau pasar murah untuk menekan harga barang yang dijual di sana. Cara culas ini dilakukan ketika mereka mengetahui BPS akan melakukan survei harga-harga komoditas di pasar-pasar tertentu.

"Begitu dia tahu BPS mau masuk, cepat-cepat dia buat gerakan pasar murah di daerah itu, supaya harganya turun. Karena BPS kan mengambil data dalam jumlah masif, pasti menggunakan random sampling. Dia tahu random-nya di mana, sampelnya yang mana," jelas Tito dalam acara Anugerah Hari Statistik Nasional (HSN) 2024 yang disiarkan melalui kanal YouTube BPS, Kamis (26/9/2024).

Tito mengatakan, modus tersebut telah diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, saat mendatangi pasar-pasar di daerah, Jokowi kerap menemukan ketimpangan harga antara satu pasar dengan pasar lainnya. Tito lantas menutupi permainan tersebut dari Jokowi dengan menjelaskan bahwa sudah biasa terjadi perbedaan harga di pasar-pasar bahkan yang terletak di daerah yang sama.

"Cuma dalam hati saya, jangan-jangan yang daerah dicek itu yang kepala daerahnya sudah membuat gerakan pasar sebelum presiden datang," kelakarnya.

Cara-cara licik itu ‘mungkin’ dilakukan imbas sikap tegas Kemendagri. Kemendagri tidak segan-segan untuk memecat kepala daerah jika gagal mengendalikan inflasi di daerahnya.

Pada 2023 lalu diketahui penerima insentif fiskal kategori pengendalian inflasi diberikan pemerintah sebanyak 33 daerah per periode. Sementara di tahun ini, daerah penerima bertambah menjadi 50 daerah per periode sehingga peluang daerah untuk mendapatkan alokasi insentif fiskal menjadi lebih besar.

Dari 50 daerah penerima tersebut, 36 daerah di antaranya atau sekitar 72 persen merupakan daerah baru yang sebelumnya belum pernah menerima penghargaan kategori pengendalian inflasi di tahun anggaran 2023.

Untuk nilainya sendiri Dana Insentif Daerah (DID) dari Kementerian Keuangan sebesar Rp6-10 miliar. Anggaran ini, akan diberikan tiga bulan sekali kepada daerah yang sukses menekan angka inflasi dan menjaganya agar tetap stabil.

“Total satu tahun tuh Rp1 triliun yang disiapkan Menteri Keuangan, ibu Sri Mulyani," pungkas Tito.

Peneliti Institute For Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, melihat fenomena mengakali inflasi mencerminkan masalah struktural dalam sistem pengumpulan dan pelaporan data di tingkat lokal. Kondisi ini berpotensi tidak tepatnya pengambilan keputusan terkait kebijakan publik di daerah tersebut.

"Kami memahami bahwa pemberian dana insentif daerah dapat memotivasi kepala daerah untuk menekan inflasi, namun fokus yang berlebihan pada hasil angka justru bisa menciptakan dampak negatif," jelas dia kepada Tirto, Jumat (27/9/2024).

RDP Kemendagri, DKPP, Otoritas IKN dengan Komisi II DPR

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengikuti rapat dengar pendapat dengan komisi II DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/6/2024). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.

Tergoda Insentif Berujung Manipulasi

Kepala daerah dalam hal ini, kata Anwar, mungkin tergoda untuk mencari solusi jangka pendek. Pada akhirnya manipulasi harga sesaat sebelum survei Badan Pusat Statistik (BPS), tanpa menyelesaikan masalah mendasar yang menyebabkan inflasi.

"Insentif yang diberikan hanya berdasarkan data inflasi dan tanpa mempertimbangkan kualitas kebijakan yang dilakukan, bisa menghasilkan strategi yang hanya bersifat sesaat dan tidak berkelanjutan," kata dia.

Manipulasi data tersebut, kata Anwar, justru dapat berdampak pada kebijakan makroekonomi secara keseluruhan. Ketika pemerintah pusat menerima data inflasi yang tidak akurat, kebijakan fiskal atau moneter yang diterapkan bisa salah sasaran.

Ia mencontohkan, sebuah daerah yang memalsukan laporan inflasi, misalnya daerah mengalami kenaikan harga barang tinggi sementara dilaporkan inflasi rendah, bisa membuat daerah tidak mendapat bantuan rill untuk menyelesaikan masalah di lapangan.

"Hal ini juga dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional," kata dia.

Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, melihat salah satu faktor pemicu terjadinya manipulasi data adalah insentif bagi pemda yang mampu mengendalikan inflasi. Ia beralasan, besaran insentif yang signifikan tersebut membuat pemda berlomba untuk membuat angka inflasi jadi terkendali atau seolah terkendali.

“Angka inflasi bisa digiring untuk rendah dengan intervensi di titik tertentu oleh pemerintah daerah. Namun di titik lainnya harga akan cukup tinggi,” ujar dia kepada Tirto, Jumat (27/9/2024).

Fakta di lapangan sendiri, kata Huda, memang kadang-kadang ketika menjumpai harga di pasar A jauh lebih rendah dibandingkan di pasar B. Kondisi ini terjadi karena memang sudah diatur sedemikian rupa.

Praktik ini, menurut Huda, sudah biasa dilakukan terlebih ketika ada kunjungan kepala negara ke beberapa kota. Pada saat kunjungan, barang tersedia dan harga terkendali dengan tingkat yang rendah. Namun satu minggu kemudian, barang di pasar tersebut sudah langka dan harga kembali melonjak. Maka bisa disimpulkan bahwa ketika Jokowi berkunjung dan klaim harga terkendali, itu semua sudah disetting baik dari pemerintah pusat maupun daerah.

“Jadi saya merasa seharusnya pengendalian inflasi tetap jalan dengan baik kendati tidak ada insentif bagi pemerintah daerah. Karena memang sudah kewajiban mereka untuk mengendalikan harga untuk kesejahteraan masyarakat,” tutur Huda.

Evaluasi dan Pengawasan

Hal lain yang menurut IDEAS perlu digaris bawahi adalah insentif yang berbasis pada hasil data survei tanpa pengawasan cukup membuka celah bagi penyalahgunaan. Maka, untuk memperbaiki situasi ini, pemerintah pusat harus mempertimbangkan perbaikan mekanisme insentif dan pengawasan.

"Salah satu solusinya adalah dengan memberikan penilaian berbasis hasil nyata dari kebijakan pengendalian inflasi, bukan hanya berdasarkan angka inflasi yang dilaporkan," jelas Anwar.

Dari segi pengawasan, lanjut Anwar, pelaporan inflasi di setiap daerah perlu pendekatan yang lebih ketat dan berlapis untuk memastikan integritas data serta mencegah manipulasi. Untuk itu, diperlukan penguatan setidaknya dalam dua aspek kunci.

Pertama, penguatan transparansi dan akuntabilitas. Langkah awal dalam meningkatkan pengawasan adalah memastikan bahwa proses pengumpulan dan pelaporan data inflasi bersifat transparan.

Daerah harus diwajibkan untuk membuka akses publik terhadap data yang relevan, sehingga masyarakat, akademisi, dan lembaga independen dapat memeriksa keakuratan informasi yang dilaporkan.

"Pengawasan semacam ini akan memberikan kontrol sosial tambahan, mencegah kemungkinan manipulasi data demi tujuan jangka pendek," kata dia.

Kedua, kata Anwar, pelibatan pihak independen dalam pengawasan. Untuk memperkuat pengawasan, pemerintah penting untuk melibatkan pihak independen dalam proses audit dan verifikasi data inflasi. Lembaga seperti Badan Pusat Statistik (BPS) bisa melakukan audit secara acak dan lebih menyeluruh di berbagai pasar yang menjadi indikator inflasi.

BPS seharusnya juga tidak hanya bergantung pada satu sumber data atau survei di lokasi yang sama, melainkan memperluas cakupan survei ke pasar-pasar yang lebih beragam untuk mendapatkan gambaran harga yang lebih akurat dan representatif.

Untuk meminimalisir kejadian serupa, Kemendagri juga meminta kepada BPS untuk menyediakan opsi pasar lain, selain pasar-pasar yang biasa mereka survei.

"Teman-teman BPS harus mulai akalin juga. Pak, saya biasa ambil data di situ. Tapi nanti tolong ambil data di tempat lain, gitu. Karena kami ingin dapat data yang betul-betul akurat. Supaya jangan sampai nanti salah," kata Tito.

Inflasi Juli 2024

Pedagang melayani pembeli sayuran di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (1/8/2024). BPS mencatat inflasi Indonesia pada Juli 2024 mencapai 2,13 persen secara tahunan (YoY) dan deflasi sebesar 0,18 persen pada Juli 2024 secara bulanan (MoM) dengan kelompok penyumbang deflasi terbesar, antara lain makanan, minuman serta tembakau. ANTARA FOTO/Reno Esnir/app.

Sementara itu, peneliti ekonomi makro dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Punarama, mengamini dalam hal ini memang perlu ada evaluasi dan pengawasan dari pemerintah untuk pengendalian di tingkat daerah.

“Dan perlu ada punishment yang membuat efek jera,” ujar dia kepada Tirto, Jumat (27/9/2024).

Riza mengatakan, dari fenomena ini terlihat bagaimana kelembagaan dan institusi pemerintahan di kita belum baik. Akuntabilitas dan integritas pemerintahan perlu ditingkatkan bukan hanya pada level rencana dan wacana tapi implementasi yang nyata.

“Selain itu pentingnya peningkatan partisipasi publik dalam check and balances dalam konteks demokrasi agar bisa saling mengingatkan dan meluruskan yang keliru,” jelas dia.

Baca juga artikel terkait INFLASI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Andrian Pratama Taher