tirto.id - Sejak berdiri pada 1922, Uni Soviet punya prestasi cukup mentereng yang membuatnya layak disebut negara adikuasa. Pada 1945, negara komunis ini sukses menghabisi pasukan Nazi Jerman di Berlin yang membuat Perang Dunia II di Eropa lebih cepat berakhir.
Sementara pada era Perang Dingin, Soviet berhasil memperluas pengaruh komunisme di berbagai negara, memimpin aliansi militer Pakta Warsawa, dan mempercepat pengembangan teknologi hingga mampu punya puluhan ribu senjata nuklir serta mengembangkan teknologi luar angkasa.
Namun itu semua berubah ketika memasuki dekade 1990-an. Reformasi yang dilakukan oleh Mikhael Gorbachev (1990-1991) membuat negara terbesar di muka bumi itu mengalami keretakan hebat. Dan puncaknya terjadi pada akhir 1991. Gorbachev mengundurkan diri sebagai presiden yang diikuti oleh bubarnya Soviet menjadi 15 negara independen setelah 70 tahun berdiri. Kini tidak ada lagi bendera palu arit di halaman Kremlin. Digantikan oleh bendera Rusia berwarna putih, biru, dan merah.
Ambisi Mengembalikan Kejayaan
Bubarnya Uni Soviet membawa permasalahan pelik bagi seluruh pecahannya, termasuk Rusia. Robert Service dalam A History of Russia (2009: 491) menyebut masalah utama yang harus dihadapi adalah kemerosotan ekonomi. Ini terjadi, lagi-lagi, berakar dari gagalnya kebijakan ekonomi yang dikeluarkan Gorbachev.
Pemimpin terakhir Soviet itu ingin membuat kemajuan ekonomi secara cepat dengan restrukturisasi melalui prinsip pasar. Tapi, akibat terburu-buru, kebijakan reformasi justru membuat inflasi meroket, industri di ambang kehancuran, dan perdagangan melemah. Warisan ini yang kemudian menjadi beban berat dan harus dihadapi oleh seluruh pemimpin di 15 negara pecahan.
Boris Yeltsin, Presiden Federasi Rusia pertama hasil pemilihan umum 1991, menjalankan estafet kepemimpinan sekaligus membuka lembaran baru dalam kehidupan di Rusia. Ia bukan nama baru dalam belantara politik Soviet. Sebelum jadi presiden, Yeltsin pernah menjabat Walikota Moskow dan Sekretaris Partai Komunis.
Menurut Boris Kagarlistky dalam Russia Under Yeltsin and Putin (2002), Yeltsin yang berdiri di atas puing-puing kehancuran Soviet berjanji memodernisasi dan mengonsolidasikan nilai-nilai Barat di tubuh Negeri Beruang Merah dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sekaligus hendak meninggalkan segala kegagalan yang terjadi di masa Soviet, termasuk terkait sistem pemerintahan dan ekonomi. Itu semua dilakukan demi menata kembali stabilitas negara dan mengembalikan kejayaan Rusia di masa lampau.
Dalam benak Yeltsin, sistem ekonomi terpusat ala Soviet sudah terbukti gagal dan liberalisasi adalah jalan terbaik satu-satunya. Namun, mengubah sistem terpusat yang terlanjur mengakar tentu bukan perkara mudah.
Liberalisasi dan Oligarki
Satu hal mencolok dari kebijakan reformasi ekonomi Yeltsin adalah liberalisasi. Melansir Britannica, langkah awal yang dilakukan Yeltsin adalah dengan menghapus kontrol harga dan mengembalikan penentuan harga melalui dinamika pasar yang ia lakukan pada Januari 1992. Hal ini diiringi pula oleh dibukanya pintu masuk bagi pasar internasional di Rusia untuk memengaruhi struktur harga pasar dalam negeri.
Kebijakan ini di permukaan berhasil membuat persaingan usaha lebih terbuka. Banyak pengusaha lokal yang melebarkan bisnisnya dengan menjalin kerja sama dengan perusahaan Barat.
Namun, bagi rakyat menengah ke bawah kondisi ini sangat merugikan. Barang-barang yang mengikuti harga pasar membuat daya beli mereka menurun. Tidak sedikit pabrik yang bangkrut karena tidak sanggup mengikuti dinamika harga pasar. Kondisi ini terus berlangsung selama hampir satu dekade. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga meluncurkan program privatisasi selama dua tahap, periode 1992 dan 1994.
Privatisasi berarti program swastanisasi perusahaan-perusahaan milik negara. Tujuannya agar beban anggaran dapat berkurang dan pendapat negara bertambah. Rusia meyakini bahwa privatisasi akan membawa harapan untuk perbaikan ekonomi. Program ini juga dimungkinkan orang Rusia membeli saham perusahaan negara yang kelak terbentuk sikap gotong royong antar masyarakat.
Namun dalam perkembangannya, kebijakan ini justru memunculkan pengusaha-pengusaha elite dan melahirkan oligarki yang merugikan masyarakat. Melansir Deustche Welle, mereka licik hingga mampu mendapat untung besar dari masa transisi Rusia.
Mengundurkan Diri
Menurut Boris Kagarlistky dalam Russia Under Yeltsin and Putin (2002), mimpi kejayaan yang dicita-citakan Yeltsin telah runtuh dan justru membawa Rusia mengalami kemunduran hebat. Yeltsin menjadi orang yang paling bertanggung jawab karena mengubah krisis ekonomi menjadi bencana nasional.
Dampak dari dua kebijakan yang salah langkah itu ekonomi Rusia semakin merosot dan terancam bangkrut: Inflasi meroket, utang negara menumpuk, anggaran negara mengalami defisit besar, sistem kesehatan nasional runtuh, dan tidak sedikit pabrik yang gulung tikar. Kondisi semakin parah saat ketika krisis ekonomi menimpa Asia pada 1998.
Di lingkup sosial, masyarakat Rusia hidup dalam kesengsaraan. Pengangguran meningkat, jalanan kota dipenuhi gelandangan, penderita gizi buruk merajalela, tidak ada lagi jaminan sosial, angka kematian meningkat dan angka harapan hidup sebaliknya.
Krisis ekonomi kemudian merembet ke krisis politik. Selama memerintah, Yeltsin memang kerap berselisih dengan parlemen. Salah satunya pada tahun 1993 ketika Yeltsin memerintahkan tentara mengarahkan tank ke gedung parlemen.
Ujung dari kekalutan ini terjadi pada 31 Desember 1999. Membesarnya tekanan politik, kekecewaan masyarakat, dan menurunnya kondisi kesehatan membuat Yeltsin meletakkan jabatannya sebagai Presiden Republik Federasi Rusia.
“Hari ini saya berpaling kepada Anda untuk terakhir kalinya dengan mengucapkan salam tahun baru. Tapi itu tidak semua. Hari ini saya juga berpaling kepada Anda untuk terakhir kalinya sebagai Presiden Rusia,” ucap Yeltsin dalam pidato perpisahannya.
Yeltsin meninggal pada 23 April 2007, tepat hari ini 15 tahun lalu.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi