tirto.id - Revolusi Anyelir bergulir di Portugal pada 1974 yang mengakhiri kekuasaan diktator. Pemerintahan baru yang dimotori partai sayap kiri memberikan keleluasaan pada semua koloni Portugal untuk memisahkan diri, termasuk Timor Leste.
Di wilayah Timor bagian timur itu, pergantian kekuasaan menimbulkan berbagai konflik kepentingan. Demikian ditulis Stanley Meisler dalam A Man of Peace in The World of War: Kofi Annan (2007).
Ketika Presiden AS Gerald Ford mengunjungi Indonesia pada 6 Desember 1975, Presiden Soeharto menyinggung masalah di Timor Leste tersebut. “Kami ingin pengertian dari Anda jika kami merasa penting untuk mengambil tindakan cepat tanggap,” ujar Soeharto.
“Kami akan mengerti dan tidak menekan Anda pada isu tersebut,” balas Ford.
CIA memperkirakan lebih dari seratus ribu nyawa melayang selama invasi Indonesia ke Timor Leste. Termasuk lebih dari dua dekade saat Timor Leste di bawah kekuasaan Indonesia. Tindakan ini dianggap kontroversial oleh Portugal dan bahkan Amerika Serikat di kemudian hari.
Pada 1997, PBB mengajak Indonesia dan Portugal untuk duduk bersama di meja perundingan guna menyelesaikan masalah yang berlarut-larut di Timor Leste. Sekjen PBB saat itu, Kofi Annan, berperan aktif dalam merancang proses perdamaian. Akan tetapi proses perundingan selalu menemui jalan buntu di masa kepemimpinan Soeharto.
Reformasi dan Kekecewaan
Kofi Atta Annan lahir pada 8 April 1938 di Ghana, negara kecil di Afrika Barat. Peraih Nobel Perdamaian tahun 2001 ini pernah mendapat beasiswa dari Ford Foundation untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat.
Beberapa tahun setelah menamatkan studi di Macalester College di Minnesota, ia meniti karier yang cukup panjang sebagai pegawai PBB di Afrika dan Amerika Serikat.
Dalam jurnal berjudul “Kofi Annan: A Stellar Legacy Against All Odds” (2020), Curtis Reynold dari Harvard University menjelaskan bagaimana kontribusi Kofi Annan selama aktif di PBB. Ia berperan dalam menyelesaikan konflik di Somalia, Timor Leste, Kosovo, Irak, hingga genosida di Rwanda.
Kekuatan terbesar Kofi Annan, imbuh Curtis, terletak pada kemampuannya dalam mengelola dampak negatif dari berbagai macam konflik. Ia menekankan pentingnya peran masyarakat sipil dalam permasalahan dunia. Kampanye pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak pun makin digencarkan di era kepemimpinannya.
Menurutnya, kemanusiaan lebih tinggi kedudukannya dibanding kepentingan negara. Maka itu, tidak ada alasan bagi tiap negara untuk mengesampingkan aspek kemanusiaan meskipun mengatasnamakan kepentingan negara.
Dalam artikelnya yang berjudul “Two Concept of Sovereignty” yang terbit di majalah The Economist (1999), Kofi Annan menambahkan bahwa seharusnya negara menjadi instrumen untuk melayani rakyat, bukan sebaliknya.
Secara organisasi, ia dianggap berhasil melakukan reformasi di tubuh PBB yang mencakup transparansi serta akuntabilitas program dan dana yang digunakan. Dalam “In Larger Freedom”: Decision Time at The UN” (2005), Kofi Annan menegaskan bahwa reformasi PBB tidak akan lengkap jika tidak mereformasi Dewan Keamanan.
Menurutnya, komposisi Dewan Keamanan PBB yang sekarang lebih mencerminkan situasi pada tahun 1945. Pada abad ke-21, situasi sudah semakin berubah. Dewan Keamanan harus direformasi berdasarkan tingkat kontribusi pada organisasi, baik secara finansial, militer, serta kekuatan diplomasi.
Idealnya keanggotaan Dewan Keamanan dihuni oleh 15 hingga 24 negara anggota. Jadi tidak ada lagi dominasi 5 negara anggota tetap yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan.
Thomas Biersteker dalam jurnalnya berjudul “Kofi Annan’s Legacy of UN Reform” dari Graduate Institute Geneva mengakui bahwa tidak semua reformasi yang dilakukan Kofi Annan berjalan lancar. Idenya untuk mereformasi Dewan Keamanan PBB menemui kegagalan.
Dalam memoar Interventions: A Life in War and Peace (2012), Kofi Annan mengakui bahwa kegagalan PBB dalam mencegah genosida di Rwanda menjadi kekecewaan yang sangat mendalam bagi dirinya.
Terlepas genosida tersebut terjadi di benua tempat kelahirannya, kurangnya kerja sama dari negara-negara anggota PBB menjadi catatan tersendiri bagi Kofi Anan. Negara-negara anggota utama seperti Amerika Serikat dan Prancis memilih menyelamatkan warga negaranya masing-masing serta para ekspatriat yang bekerja serta tinggal Rwanda.
Dalam “Interventions: A Life in War and Peace” (2013), Vikash Chandra melaporkan bahwa pembantaian yang menewaskan hampir satu juta orang yang berasal dari etnis Tutsi itu berlangsung dalam waktu seratus hari.
Mayat bergelimpangan di jalanan. Rumah-rumah dan tempat ibadah dibakar. Pembantaian yang dilakukan etnik Hutu ini tentu tidak terjadi tiba-tiba. Mestinya ada deteksi dini dan mitigasi risiko dari konflik antar etnik. Apalagi pengklasifikasian etnik sudah terjadi jauh hari sebelum pembantaian dilakukan, yaitu dari zaman kolonial di Rwanda.
Setelah berhenti sebagai Sekjen PBB di usia 68 tahun, ia mendirikan Kofi Annan Foundation. Organisasi nirlaba yang menjadikan perdamaian dan pembangunan sebagai tujuan utama.
Menurut Richard Gowan dari New York University dalam “Kofi Annan, Syiria and the Uses if Uncertainty in Mediation”, warsa 2012 saat Annan sudah berhenti dari Sekjen PBB lima tahun sebelumnya, ia masih terlibat aktif dalam proses perdamaian di Suriah.
Kofi Annan meninggal pada 18 Agustus 2018, tepat hari ini empat tahun lalu, di Bern, Swiss.
Penulis: Zulfria Nanda
Editor: Irfan Teguh Pribadi