tirto.id - Beberapa tahun belakangan usulan pelarangan minuman beralkohol santer disuarakan kelompok konservatif Indonesia. Pada 2015, realisasi usulan itu semakin mendekati kenyataan setelah minuman beralkohol golongan A atau bir dilarang dijual di minimarket. Selain itu minuman golongan B dan C hanya dapat dijual di hotel, restoran, atau tempat-tempat tertentu lainnya. Namun, pembatasan akses justru menimbulkan masalah lainnya.
Aturan pembatasan minuman keras tertera dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 tahun 2015 Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol yang berlaku mulai 16 April 2015 dan juga Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2013. Kendati demikian, kedua aturan ini belum lengkap karena tidak menjadi satu undang-undang resmi.
Bukan tidak mungkin setiap tahun ada perubahan aturan sesuai standar menteri dan kepala negara yang menjabat.
Perusahaan bir di Indonesia protes begitu aturan tersebut disahkan karena dianggap mematikan usaha. Perusahaan juga meminta aturan tidak disamaratakan di setiap daerah sehingga alkohol tetap tersedia di kawasan yang ramai turis.
“Saya gak paham tindakan Menteri (Perdagangan saat itu) Rachmat Gobel. Karena, menurut kami sebagai pelaksana di lapangan, kami kan tunduk kepada peraturan presiden yang mengatur perdagangan minuman beralkohol. Ini kok ada tiba-tiba keputusan menteri seperti ini. Kalau gak boleh dijual lagi (di minimarket), sama saja disuruh tutup,” ujar Komisaris PT Multi Bintang Indonesia Tbk, Cosmas Batubara seperti dilansir BBC.
Alasan Rachmat Gobel saat itu, minuman alkohol sudah menyebar ke berbagai wilayah mulai dari permukiman, tempat ibadah, hingga sekolah. Dia khawatir penyebaran alkohol akan merusak masa depan bangsa. Pemerintah kemudian juga mengetatkan aturan pembelian dengan mensyaratkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Kebijakan seperti ini yang tidak ditemukan pada produk dengan batasan umur lainnya seperti rokok. Beberapa toko masih tidak menerapkan aturan penunjukan KTP dengan ketat, apalagi toko kelontong. Dari segi aksesabilitas dan harga, rokok jauh lebih terjangkau oleh anak-anak dan memberi pengaruh buruk pada kesehatan.
Aturan larangan miras kemudian hendak diperberat lagi oleh DPR, yang sejauh inisedang melakukan pembicaraan antar faksi atau harmonisasi.
Bias Kelas dan Tumbuhnya Sindikat
RUU Larangan Minol tidak seperti pepesan kosong belaka. Harmonisasi itu dilakukan dengan menerbitkan naskah sementara aturan larangan minuman beralkohol. Beberapa pasal menjadi masalah dan dipertanyakan publik.
Dalam RUU tersebut, masyarakat dilarang memproduksi, masyarakat juga dilarang memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual minuman beralkohol. Larangan juga berlaku untuk aktivitas meracik minuman tradisional campuran atau racikan seperti yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (2).
Pengecualian pemakaian minol diatur dalam Pasal 8 yang memperbolehkan penggunaan untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Mereka yang melanggar aturan menyimpan, memproduksi, mengedarkan, ataupun menjual minol bisa dipenjara minimal 2 tahun penjara dan paling lama 10 tahun penjara. Sedang mereka yang mengonsumsi di luar kepentingan yang diatur pemerintah maka bisa dipenjara tiga bulan dan paling lama dua tahun penjara.
Sebelum Indonesia, Amerika Serikat sudah pernah menerbitkan aturan larangan minol yang serupa pada tahun 1920-1933. Aturan ini dilandasi dengan UU Pelarangan Nasional atauUU Volstead. Nama Volstead diambil dari Andrew Volstead, salah satu tokoh Partai Republikan yang getol mempromosikan larangan minol. Dengan aturan ini, maka amandemen 19 konstitusi Amerika dilakukan dan pada 17 Januari 1920, larangan minol resmi berlaku.
Aturan ini menuai banyak protes karena dianggap sangat bias kelas. Di tengah pelarangan itu, kelas pekerja sulit mendapatkan akses kepada minuman alkohol, sementara polikus dan kelasan kerah putih dengan mudah mendapat alkohol hanya berbekal satu modal penting yang tak dimiliki kelas pekerja: uang.
John Kelly, wartawan dari Washington Post menulis, pada masa pelarangan minuman alkohol, cara paling tepat untuk tetap bisa menenggak alkohol adalah berkawan dengan anggota Kongres. Tidak penting mereka dari Partai Republikan atau Demokrat, rohaniwan atau hanya penggemar olahraga. Yang jelas, hampir semua politisi punya akses untuk mendapat gin dan wiski.
Salah satu pemasok minuman adalah George L. Cassiday, bekasan tentara Perang Dunia I. Ia mengaku sudah membagikan minuman beralkohol kepada dua-pertiga dari total penghuni gedung Kongres.
Anggota parlemen dianggap tak adil, begitu pun pemimpin negaranya.
Menteri Perdagangan AS saat itu, Herbert Hoover mengakali pelarangan dengan pergi ke Kedutaan Besar Belgia. Di tanah yang bebas dari hukum negara Amerika Serikat itu, Hoover minum-minum sebelum pulang ke rumah.
Sedangkan Presiden Warren G. Harding rajin mengundang tamu untuk minum-minum dan berjudi dua kali dalam seminggu. Ia bahkan dirumorkan pernah memenangkan kalung mutiara senilai 4.000 dolar AS hanya dari bermain poker.
Tamu-tamunya saat itu mungkin tidak keberatan. Setidaknya, kalah dan menang adalah nomor dua selama di ruangan Harding selalu tersedia berbagai botol minuman beralkohol yang tidak bisa mereka nikmati di sembarang tempat.
Jurnalis Edward Behr dalamProhibition: Thirteen Years That Changed America (1996) mendapat pengakuan dari putri mantan Presiden Theodore Roosevelt, Alice Roosevelt Longworth, tentang kehidupan di Gedung Putih di bawah kekuasaan Harding, seorang presiden yang kerap dipandang tak kompeten jauh sebelum Trump.
Menurut Longworth, para tamu Gedung Putih bisa dengan mudah dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, tamu biasa yang tak punya hubungan dekat dengan Harding. Mereka biasa hanya menikmati minuman jus buah segar. Tamu kedua adalah kroni-kroni Harding yang dibawa sang presiden ke lantai atas.
Di lantai atas, minuman alkohol mengalir bak air kran. Longworth menggambarkan Harding tidak sebagai orang jahat alih-alih “sembrono”.
“Bar terbaik di kota,” kata Longworth soal pesta Harding seperti dicatat Behr.
Sejarawan Garrett Peck menulis bahwa pelarangan ini menyimpan “terlalu banyak kemunafikan”. Banyak orang akhirnya justru berpikir bahwa pelarangan minuman beralkohol hanya dibuat untuk dipatuhi orang lain, bukan untuk diri sendiri.
Selain itu, pelarangan justru memunculkan monopoli perdagangan minuman keras secara ilegal. Aksi yang marak saat itu adalah bootlegging alias penyelundupan. Tidak sembarang orang bisa mulus menyelundupkan miras. Aksi ini lebih banyak dilakukan oleh tentara dan gangster .
Pada masa ini, Alphonse Gabriel “Al” Capone dengan sindikatnya, Chicago Outfit, adalah salah satu pihak yang paling sukses dalam dunia bisnis penyelundupan dan penguasaan miras, utamanya dari Kanada ke Amerika Serikat. Waktu itu pekerjaan penyelundup profesional adalah hal lumrah.
Capone menjadi penguasa penyelundupan miras dan membuka toko miras ilegal. Dampaknya, penguasaan miras menjadi bisnis yang sangat menguntungkan. Capone diperkirakan bisa mendapatkan 60 juta dolar AS per tahun. Sumber lain menyebutkan, keuntungan Capone bisa mencapai 100 juta dolar AS setiap tahun dan jika dikalkulasikan dengan nilai sekarang, keuntungannya mencapai tidak kurang dari 1,4 miliar dolar AS.
Perlu diingat, Capone yang basis operasinya di Chicago bukanlah satu-satunya orang yang mau jadi kaya dengan menyelundupkan miras. Ada juga North Side Gang, rival terbesar Capone yang dipimpin oleh George “Bugs” Moran. Persaingan dagang antar kedua mafia akhirnya berujung kekerasan jalanan. Suatu hari, Capone memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Moran. Peristiwa sadis itu dikenal dengan nama Pembantaian Hari Santo Valentine.
Sebelum pemberlakuan pelarangan miras, Chicago Outfit dan gangster lainnya adalah kelompok kriminal bersenjata yang tak perlu terlalu diwaspadai. Bisnis mereka adalah meminta jatah iuran keamanan dengan memalak atau merampok. Pada masa pelarangan alkohol, para gangster ini mulai merapikan bisnis mereka. Beberapa melakukan suap, tapi tidak sedikit menggunakan senjata untuk menyelesaikan masalah.
Sebagaimana dicatat Howard Abadinsky, dosen hukum pidana dari Universitas St. John, Capone setidaknya memiliki 700 pria bersenjata di antara ribuan anak buahnya. Dalam buku berjudul Organized Crime (1980), Howard mencatat, biang kerok kebangkitan kejahatan yang lebih terorganisir ini tak lain adalah pelarangan minuman alkohol itu sendiri.
Kalangan imigran yang tersingkir dibanding penduduk kulit putih setempat mulai mencari cara agar sukses. Pelarangan minol menjadi jalan keluar mereka.
“Pelarangan (minuman alkohol) adalah titik balik yang memberi jalan bagi para orang Yahudi dan Italia untuk berpartisipasi dalam kejahatan terorganisir,” catat Howard.
Ketika dicabut pada 1933, kebijakan pelarangan alkohol tercatat telah memakan 10.000 korban, sebagian besar karena minuman ilegal.
Di Amerika Serikat, salah satu pihak pendukung pelarangan minuman alkohol adalah rohaniwan Kristen Evangelis. Selain itu, beberapa kelompok Protestan, termasuk Kristen Metodis dan Baptis, bergabung dalam kelompok bernama Anti-Saloon League (ASL), salah satu komunitas yang cukup kuat mendorong pengesahan larangan minuman beralkohol.
Akankah sejarah larangan miras berulang di Indonesia? Sejumlah politisi dari partai-partai kanan Indonesia juga berada di balik pembuatan RUU Larangan Minol. Mereka terdiri atas 21 anggota DPR RI yakni 18 anggota Fraksi PPP, dua anggota Fraksi PKS, dan satu anggota Fraksi Partai Gerindra.
PPP sebagai penyumbang pengusul paling banyak adalah satu partai yang paling islami berdasarkan survei tahun 2018. Sedangkan PKS adalah partai paling islami nomor dua dalam survei tersebut. Partai Gerindra sebenarnya tidak termasuk partai islami, tapi jelang Pilpres 2019, Prabowo membawa narasi populis sayap kanan. Namun, menurut analisis peneliti LIPI Ibnu Nadzir, upaya Prabowo hanya bertujuan menjaga relasi dengan kelompok agamis konservatif seperti Rizieq Shihab dan gerakan 212.
Sampai sekarang, tak ada partai tengah (centrist) atau nasionalis sekuler yang benar-benar mendukung rencana pelarangan minuman beralkohol yang mengancam konsumennya dengan pidana.
Berkaca pada Amerika Serikat, agenda membatasi minol ini dipastikan mustahil terlaksana atau berhasil disahkan dengan korban ribuan.
Editor: Windu Jusuf