Menuju konten utama
25 Januari 1947

Bagaimana Al Capone jadi Mafia Besar & Menghabiskan Karier di Bui

Al Capone membangun reputasi sebagai gangster sejak umur belasan. Kariernya sebagai mafia sebagian besar habis di penjara.

Bagaimana Al Capone jadi Mafia Besar & Menghabiskan Karier di Bui
Al Capone. tirto.id/Nauval

tirto.id - Dunia banyak mendengar Chicago dari dua orang: Michael Jordan dan Al Capone. Satu adalah pemain basket, lainnya merupakan bos gangster yang tak segan membunuh demi mencapai tujuan. Capone menjadi legenda di dunia kriminal. Satu film yang dibuat berdasarkan sosok Capone diberi judul The Untouchables (si tak tersentuh).

Capone lahir bukan dari keluarga kriminal. Ayahnya, Gabriele Capone, adalah pembuat roti di Italia dan sedikit punya keahlian memasak pasta—hal lumrah bagi orang Italia. Bersama istri dan kedua anaknya, Gabriele datang ke Amerika di paruh pertama 1895.

Bersama hampir 50 juta orang Italia yang masuk ke Amerika tahun itu, Gabriele ingin mencari penghidupan yang lebih layak. Namun keterbatasan dana membuatnya banting setir jadi pekerja serabutan. Selain menjadi tukang cukur, Gabriele melakukan pekerjaan berat seperti membangun jalan, gorong-gorong, dan gedung pencakar langit.

Istrinya, Teresa, juga mencari penghasilan tambahan dengan pekerjaan di pelbagai pabrik garmen. Pada 1899 kehidupan mereka membaik. Gabriele tidak lagi bekerja sebagai tukang cukur di bawah orang lain, tapi membangun kiosnya sendiri. Di atas kios itulah keluarga Capone tinggal.

Pada 17 Januari tahun yang sama, Alphonse Gabriel Capone lahir. Setelahnya, Teresa melahirkan lima anak lain. Keduanya terus memotivasi anak-anak mereka agar bisa sukses dengan mengenyam pendidikan.

Hanya saja seluruh anak laki-laki mereka tidak bisa hidup sesuai arahan orang tua. Satu per satu dari mereka terjun dalam dunia kriminal dan Al Capone, seperti dideskripsikan Deirdre Bair melaluiAl Capone: His Life, Legacy, and Legend (2016), “[adalah] satu-satunya yang mencapai kesuksesan luar biasa.”

Sejak kecil Al Capone, yang dikenal juga dengan sebutan Big Al, mempunyai badan bongsor dan otot kekar. Pada umur antara 10-12 tahun, tinggi Al Capone mencapai 182 cm dan berat badan 90-113 kilogram. Pada satu kesempatan, Al Capone melempar botol minuman kepada orang-orang di bar kemudian melarikan diri. Dia tak segan menantang mereka berkelahi meski umur lawannya hampir dua kali lebih tua darinya. Hasilnya? Capone menang. Dia tak mengenal kata kalah sejak belia.

Kendati demikian, tidak ada orang yang menyangka Capone akan menjadi salah satu gangster paling terkenal di dunia. Daniel Fuchs, orang yang mengenal Capone, seperti dikutip Bair, menggambarkan Capone sebagai “orang yang tidak mencolok, ramah, bicaranya lembut, dan biasa-biasa saja dalam segala hal, kecuali menari.”

Berawal dari Tukang Semir Sepatu

Sewaktu umur delapan tahun, Capone didapuk menjadi maskot kelompok remaja bernama The Boys of Navy Street oleh Frank Nitti atau Frank Nitto. Kerjaannya masih sebatas perkelahian antar remaja. Musuh yang dipilih Frank dan Capone adalah orang Irlandia yang juga pendatang di Amerika.

Ketika Capone berusia 11 tahun, Gabriele menyadari anaknya sering terlibat perkelahian. Awalnya Capone membantu Gabriele di bisnis potong rambut, tapi dia tidak menyukai itu. Gabriele akhirnya memberikan solusi di samping kegemaran Capone bergelut: satu kotak perlengkapan semir sepatu.

“Aku tidak memaksamu bekerja di tokoku, tapi ketika seluruh saudaramu berusia 12 tahun, aku selalu mencoba memotivasi mereka untuk menghasilkan uang sendiri,” kata Gabriele seperti dikutip William dan John Baisamo lewat Young Al Capone: The Untold Story of Scarface in New York, 1899-1925 (2011).

Gabriele menyuruh Capone bersiaga di Columbia Street yang bisa ditempuh hanya sekitar 40 menit dari kediamannya di Garfield Place, Brooklyn, New York. Di sana ada jam besar yang menjadi patokan Capone. Selain kotak sepatu, Gabriele membekalinya dengan uang nikel lima sen.

Satu hal yang tidak diperhitungkan Gabriele: Capone bukan saja mengenal perkelahian, tapi juga judi. Uang logam semata wayang itu dijadikan modal taruhan oleh Capone alih-alih untuk transportasi. Memang Capone tak butuh uang untuk menumpang. Berbekal kenekatan, dia suka menemplok di belakang mobil untuk pergi ke manapun dia mau.

Satu hal lagi yang tidak diantisipasi Gabriele: Ketika dia menyuruh Capone menyemir sepatu, di saat itu pula dia makin membuka jalan putranya menjadi gangster kelas wahid. Pekerjaan yang seharinya saja sulit mendapat satu dolar itu mengantar Capone bertemu Giuseppe Battista Balsamo, mafia Brooklyn yang dikenal sebagai "Gubernur" Union Street dan godfather pertama di Brooklyn.

Dengan melihat pria yang kerap disapa Don Balsamo itu, Capone mendapat inspirasi bisnis. Don Balsamo mendapat uang dari toko setempat sebagai ganti keamanan. Capone juga demikian, hanya saja targetnya adalah bocah-bocah penyemir sepatu lainnya. Mereka harus membayar sejumlah uang agar tak diganggu Capone dan gerombolannya yang menamakan diri South Brooklyn Rippers.

Kegiatan Capone dalam gangster berlanjut ketika bergabung dengan gang James Street Boys yang punya hubungan dengan Johnny Torrio, salah satu anggota Five Points Gang, kelompok gangster yang terkenal di Lower Manhattan. Capone belajar banyak dari Torrio dan mendapat pengalaman paling baik, sekaligus paling buruk darinya.

Torrio sempat menyuruh Capone menjadi bartender bersama Frankie Yale, salah satu koleganya. Di sana, Capone berkelahi dengan seorang wanita. Ujungnya, saudara laki-laki wanita itu ikut campur dan membuat bekas luka di wajah Capone. Dari sanalah julukan Scarface berasal. Luka itu menghantuinya. Setiap muncul di muka publik, dia selalu tak mau bekas luka itu terlihat.

Torrio pula yang mengajak Capone masuk ke dalam Five Points Gang. Setelahnya, dia membajak Capone masuk ke dalam Chicago Outfit, gangster yang mendominasi Chicago. Kelak, saat Torrio turun dari tampuk kekuasaan, dia menunjuk Capone sebagai penerusnya.

Infografik Mozaik Al Capone

Infografik Mozaik Alphonse Babriel Capone. tirto.id/Nauval

Hari-Hari Terakhir Capone

Salah satu momen yang tidak bisa dipisahkan dari cerita tentang Capone adalah pembantaian di hari Valentine tanggal 14 Februari 1929. Empat orang berseragam polisi mendatangi markas Gang “Bugs” Moran, rival bisnis Capone, di North Clark Street. Tujuh orang yang berada di sana dijejerkan di tembok dan ditembak dari belakang tanpa ampun. Dari lokasi kejadian, polisi menemukan 160 peluru.

Faktanya, keempat orang itu adalah penyamaran dari rekan-rekan Jack "Machine Gun Jack" McGurn. McGurn diperintah oleh Capone untuk menghabisi orang-orang Moran dengan bayaran 10 ribu dolar. McGurn langsung dijadikan tersangka utama oleh kepolisian menimbang posisinya sebagai tukang jagal Capone. Namun, baik McGurn dan Capone, keduanya punya alibi kuat. Tidak ada bukti yang berhasil menjurus pada kesimpulan dua orang ini adalah otak di balik kejadian tersebut.

Capone berada di Florida, sedangkan McGurn berada dengan pacarnya di sebuah hotel sejak dua minggu sebelumnya. Ketika kekejaman berlangsung, berdasar catatan J. Anne Funderburg berjudul Bootleggers and Beer Barons of the Prohibition Era (2014), McGurn tengah “menghabiskan hari romantisnya di hotel.”

Peristiwa Valentine itu mengantar Capone sebagai “Musuh Publik Nomor 1.” Selama 84 tahun, julukan itu menjadi kepunyaan Capone satu-satunya. Pada 2013 kepolisian Chicago memberikan gelar yang sama kepada Joaquin Guzman, pemimpin kartel Sinaloa asal Meksiko.

Capone beruang kali keluar masuk penjara, tapi kasusnya terbilang kecil, antara lain penghinaan pada pengadilan dan kepemilikan senjata tajam. Hukuman terlama yang ia terima datang pada usianya 33 tahun. Departemen Keuangan Amerika Serikat menyatakan Capone melakukan penggelapan pajak.

Tidak ada kecemasan pada diri Capone. Dalam Al Capone: Chicago’s King of Crime (2006) jurnalis Nate Hendley menulis bos gangster itu tampil percaya diri meski 14 detektif menggiringnya ke dalam ruang sidang pada 6 Oktober 1931. Dia telah menyuap juri agar berpihak kepadanya. Satu yang dia lupa adalah hakim Wickerson.

Wickerson datang dan mengumumkan agar seluruh juri diganti tepat setelah ia selesai bicara. Hendley menyatakan Capone tak menyangka keputusan tersebut. Satu hal yang paling Capone khawatirkan terjadi: “dia akan mendapatkan pengadilan yang adil.” Karier yang dia bangun selama ini runtuh karena pada 17 Oktober 1931 pengadilan menjatuhkan hukuman 11 tahun penjara untuknya.

Capone sempat dipenjara di kawasn Atlanta, tetapi susah menghilangkan kebiasaan lama. Dia mencoba menyuap sipir penjara dan harus berakhir di penjara Alcatraz. Kala itu dia sudah mengidap penyakit raja singa (sifilis) dan gonorea.

Di Alcatraz, penyakitnya bertambah parah. Neurosifilis menyebabkan demensia dan berpengaruh pada kesehatan mentalnya. Setelah 6,5 tahun, dia dipindahkan ke rumah sakit kesehatan mental di Baltimore. Penyakitnya tak kunjung membaik, terutama ingatannya.

Bersama istrinya, dia menghabiskan hari di perumahan Palm Islands, Miami sambil mengobrol santai bersama anggota keluarga lainnya. Tidak ada lagi masa-masa kehidupan gangster bagi Capone. Salah satu bawahan Capone, Jake Guzik, seperti dicatat John Kobler dalam Capone: The Life and World of Al Capone (2003) secara singkat mendeskresipkan dia “benar-benar tidak waras.”

Ketika Capone mendirikan gang Brooklyn Rippers, usianya masih berkisar 14-15 tahun. Di balik aksi kekerasan yang ia lakukan, dia dianggap anak yang baik dan berbakti pada orang tuanya. Kembali ke catatan Bair, “Capone selalu membawa uang hasil kerjanya ke rumah dan diberikan pada ibunya.” Saat itu Capone sudah berhenti sekolah dan bekerja serabutan.

Kebiasaan berbuat baik kepada orang lain itu memang konsisten dilakukan Capone. Setelah menjadi gangster yang berkuasa, Capone terkenal sebagai orang yang murah hati. Ia membangun dapur di beberapa pinggiran kota, memberikan jatah susu kepada anak-anak, dan membagikan hartanya pada warga keturunan Italia-Amerika yang berkekurangan secara finansial.

Pada 25 Januari 1947, tepat hari ini 73 tahun lalu, bajingan kejam yang dermawan itu meninggal karena gagal jantung.

Baca juga artikel terkait GANGSTER atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan