Menuju konten utama

Rapid Test Corona Jokowi yang Terlambat tapi Harus Dimaksimalkan

Rapid test terlambat, tapi bagaimanapun harus tetap dimaksimalkan untuk menekan penyebaran COVID-19.

Rapid Test Corona Jokowi yang Terlambat tapi Harus Dimaksimalkan
Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (26/2/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

tirto.id - Presiden Joko Widodo mengatakan rapid test untuk Corona atau COVID-19 mulai dilakukan pada Jumat (20/3/2020) sore di Jakarta Selatan. "Indikasi yang paling rawan di Jakarta Selatan," katanya via live streaming di akun Youtube Sekretariat Presiden, menjelaskan kenapa wilayah itu yang pertama dipilih.

Achmad Yurianto, juru bicara penanganan COVID-19, mengklaim hasil tes akan ketahuan "kurang dari dua menit."

Tidak semua orang akan dites cepat. Hanya mereka yang berisiko saja yang akan diuji. Yurianto mengatakan yang berisiko terjangkit mencapai 700 ribu, sementara alat tes (kit) yang dipersiapkan pemerintah mencapai 1 juta unit.

Rapid test dimulai dengan pengambilan sampel darah mereka yang dikategorikan berisiko terjangkit. Jika lantas hasilnya berpotensi positif COVID-19, maka yang bersangkutan akan diminta mengisolasikan diri.

Orang yang berpotensi positif lantas akan dicek lagi dengan metode Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) gen N, yang menurut Yurianto "lebih sensitif" dibanding pemeriksaan cepat. Jika tes cepat menggunakan darah, maka PCR menggunakan cairan di tenggorokan.

Jika tes PCR pun menunjukkan hasil positif, maka orang tersebut "akan dirawat," kata Yurianto.

Karena hasilnya dapat diketahui lebih cepat, tes ini dianggap lebih mumpuni mencegah penyebaran COVID-19. Seseorang dapat langsung ditindak sesuai hasil tes cepatnya dan dapat menghindari dari potensi penyebaran lebih luas ke orang lain.

Selama ini, mereka harus memeriksakan diri dulu ke rumah sakit rujukan yang bisa memakan waktu berjam-jam.

Namun optimisme pemerintah dianggap terlalu berlebihan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS LatKLIn). Dalam rilis resmi yang diterima Tirto, PDS memperingatkan kalau "berbagai rapid test tersebut belum diketahui validitasnya" dan "berbagai kondisi yang dapat menyebabkan hasil false positive dan false negative."

"Apabila untuk skrining (deteksi dini), harus diinterpretasi dengan sangat hati-hati, karena hasil positif tidak bisa memastikan bahwa betul terinfeksi COVID-19 saat ini, sedangkan hasil negatif tidak bisa menyingkirkan adanya infeksi COVID-19 sehingga tetap berpotensi menularkan pada orang lain," PDS menegaskan.

Hal serupa diungkapkan pakar dari luar negeri. "Tes ini kemungkinan akan kurang akurat daripada tes PCR berbasis laboratorium karena mereka mencari antibodi, bukan virus itu sendiri," tulis The Guardian, mengutip ahli.

Terlambat

Selain keragu-raguan terhadap efektivitas rapid test tersebut, pemerintah juga dianggap terlalu lamban mengeksekusinya.

"Kalau konteksnya pencegahan, ya, terlambat," kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah kepada reporter Tirto, Jumat (20/3/2020). "Seharusnya sudah dilakukan sejak awal," tambahnya.

Rapid test mulai dilakukan saat pasien positif COVID-19 sudah membludak menjadi 369 kasus per Jumat sore. Jumlahnya naik sampai 60 kasus baru dalam satu hari. Sudah ada 32 orang meninggal dunia atau setara 8,6 persen, atau dua kali lipat dari tingkat kematian global sebesar 4,01 persen, per 18 Maret 2020. Dalam hari-hari tertentu, angka positif melonjak hampir 100 persen.

WHO juga pernah menyinggung bagaimana "kasus-kasus yang tak terdeteksi atau pendeteksian yang lemah pada tahap awal wabah menghasilkan peningkatan signifikan dalam jumlah kasus dan kematian beberapa negara," tanpa menyebut negara mana yang dimaksud. Namun, karena WHO menyurati Jokowi agar Indonesia mengambil langkah-langkah yang lebih agresif, termasuk fokus pada pendeteksian kasus dan kapasitas pengujian laboratorium, secara tidak langsung mereka juga memvonis pemerintah lemah mendeteksi pandemi.

"Keterlambatan pembendungan ini bisa membuat kondisi epideminya menyerupai Italia dan Iran, atau bahkan lebih," ucap Berry Juliandi, juru bicara YSF sekaligus dosen di Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dua negara itu babak belur dihajar COVID-19. Bahkan tingkat kematian di Italia lebih tinggi dari Cina, negara awal mula COVID-19 muncul.

Namun toh saat ini menyalahkan keterlambatan itu tak ada gunanya lagi, kata Trubus Rahadiansyah. Apa yang penting saat ini dilakukan pemerintah adalah memaksimalkan alat tersebut.

"Apa yang sudah diimpor (alat tes) itu segera dieksekusi di masyarakat," katanya, lalu menambahkan sebaiknya "tes ini gratis."

Selain itu, Trubus bilang harus dipastikan pula petugas yang menjadi operator alat ini bisa menggunakannya. Hal ini mungkin terjadi karena ini merupakan alat tes baru untuk virus jenis baru.

"Jangan sampai perawat gagap sama alat kesehatan. Kita pernah yang gagap alat MERS itu," katanya.

Kesiapan infrastruktur kesehatan juga perlu diperhatikan, sebab bagaimanapun ujung-ujungnya adalah pemeriksaan di laboratorium.

Di Jakarta, tempat lebih dari separuh pasien positif COVID-19 ditemukan, tempat isolasi untuk suspect sangat terbatas. Mereka bahkan dianjurkan untuk mengisolasi diri di rumah masing-masing--artinya tidak dipantau petugas.

Untuk masalah ini, pemerintah pusat punya solusi instan: menyulap Wisma Atlet Kemayoran jadi rumah sakit darurat sekaligus ruang isolasi.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Rio Apinino
Editor: Abdul Aziz