tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan komitmennya untuk tidak mengubah batas defisit maupun rasio utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sekalipun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah memasukkan revisi Undang-Undang Keuangan Negara dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026.
"Anda pasti pikir saya mau melanggar (batas defisit APBN) 3 persen? Nggak ada," tegasnya, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, dikutip Senin (22/9/2025).
Sebaliknya, ketika perekonomian nasioanal tumbuh baik seperti, mengubah UU Keuangan Negara menjadi hal yang tidak diperlukan.
Menurutnya, saat ini pemerintah sedang berupaya untuk menggenjot laju pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal baru, seperti mengguyur perbankan dengan dana segar untuk meningkatkan penyaluran kredit dan juga melalui berbagai insentif yang diberikan hingga akhir tahun.
Ketika kebijakan fiskal tersebut berjalan dengan efektif, Purbaya yakin aktivitas ekonomi akan kembali menggeliat dan penerimaan negara akan tumbuh lebih tinggi.
"Kalau ekonominya bagus, misalnya jurus saya berhasil, harusnya sih ekonominya akan lebih bergairah dan pendapatan pajaknya lebih tinggi juga. Harusnya kita nggak perlu mengubah undang-undang untuk menaikkan defisit atau batas utang," kata dia.
Meski begitu, mantan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (DK LPS) itu mengaku, batas defisit anggaran sebesar 3 persen dan rasio utang sebesar 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam UU Keuangan Negara tidak memiliki dasar hitungan ekonomi khusus. Angka-angka tersebut ditetapkan secara arbitrary atau sembarangan, dengan mengacu pada praktik di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa.
Dus, tak heran jika melanggar batas defisit dan rasio utang jamak dilanggar di negara-negara tersebut. Bahkan, rasio utang di Amerika Serikat dan Jepang sudah berada di atas 100 persen.
"Kalau Anda lihat, Uni Eropa kan Maastricht Treaty, 3 persen untuk defisit maksimum, 60 persen utang terhadap PDB. Semuanya dilanggar sekarang, hampir semua negara Eropa melanggar," ceritanya.
Dengan kondisi tersebut, Purbaya menilai batas defisit dan rasio utang hanya acuan dasar bagi investor saja. Sebab, yang lebih penting adalah bagaimana negara mampu mengelola keuangan negara dan menjaga agar tidak terjadi gagal bayar utang atau default.
"Kita selama ini tidak pernah default. Kekayaan kita juga cukup," tambahnya.
Namun, seandainya Indonesia berada dalam kondisi yang terdesak, seperti ketika krisis terjadi karena Pandemi Covid-19 pada 2020-2021 lalu, tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk memperlebar batas defisit atau rasio utang. Sebagaimana diketahui, saat pagebluk lalu, Indonesia pernah memperlebar batas defisit hingga 5,07 persen terhadap PDB.
"Seandainya Indonesia dalam kondisi terdesak, pertanyaan yang muncul adalah mengapa negara-negara tersebut boleh melampaui batas, sementara kita justru dibatasi ketat. Seandainya kepepet, kenapa mereka boleh, kita tidak boleh?” tukas Purbaya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































