tirto.id - Berkantong tebal, punya jabatan, atau bahkan memiliki ‘kenalan’ aparat penegak hukum, tak menjadikan sikap arogansi dan kesewenang-wenangan dapat dibenarkan. Kasus arogansi dan kekerasan yang dilakukan orang-orang dengan kemampuan finansial mapan memang bikin geram. Orang-orang kaya ini seakan merasa tak tersentuh hukum hanya karena punya bekingan.
Teranyar, kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan anak bos toko roti Lindayes Cake & Bakery, George Sugama Halim (35), menyita perhatian publik. George diduga menganiaya pegawai toko milik orang tuanya, Dwi Ayu Darmawati.
Video kekerasan fisik yang dilakukan George viral di media sosial. Korban mengalami luka pada bagian kepala hingga berdarah sebab dilempar loyang oleh George. Dalam unggahan video kejadian yang viral di medsos, George juga mengaku kebal hukum karena memiliki beking.
Dwi Ayu selaku korban menuturkan kejadian nahas itu dalam rapat dengan Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/12/2024). Ayu mengaku insiden berawal saat George meminta makanan yang dipesan melalui layanan pengantaran untuk diantar ke kamar pribadinya. Namun, Ayu menolak karena perintah itu bukan bagian dari tugasnya.
“Saya menolak, karena itu bukan bagian dari tugas saya," kata Ayu.
Penolakan itu justru memancing amarah pelaku. Sebelum kejadian, pelaku bahkan pernah melontarkan kata-kata kasar kepada korban. Saat Ayu kukuh menolak, George melempar berbagai barang ke arahnya: termasuk patung, bangku, dan mesin EDC. Kala Ayu mencoba mengambil tas dan telepon genggamnya yang tertinggal di dalam ruangan, dirinya kembali mendapat serangan.
Ayu mengaku barang-barang seperti kursi dan loyang kue dilemparkan hingga mengenai kepalanya, hal ini mengakibatkan luka berdarah.
George sendiri sudah dicokok polisi di salah satu hotel di Sukabumi pada Minggu malam (15/12/2024). Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly, menegaskan bahwa George tidak kebal hukum. Apalagi kasus ini sudah masuk dalam tahap penyidikan.
“Dalam perkara ini pelaku tidak kebal hukum. Buktinya pelaku sudah diklarifikasi sebagai terlapor dan perkara sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan," kata Nicolas.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, mewanti-wanti kepolisian tidak menggunakan dalih gangguan mental untuk membuat George Sugama Halim bebas dari jerat hukum. Ia menilai pelaku masih dapat beraktivitas normal sebelum akhirnya ditangkap. George diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Jangan sampai ada upaya-upaya untuk membebaskan tersangka dengan dalih kesehatan mentalnya ya,” kata Habiburokhman kepada wartawan di DPR, Selasa (17/12/2024).
Kasus orang kaya bermental koboi bukan sekali ini saja terjadi. Sebelumnya, viral kasus Ivan Sugianto, seorang pengusaha asal Surabaya, yang memaksa siswa SMA untuk sujud dan menggonggong. Insiden bermula saat anak Ivan diduga diejek oleh korban. Tak terima, Ivan mendatangi sekolah korban dan memaksa siswa tersebut meminta maaf secara paksa.
Ivan ditangkap polisi pada 14 November 2024 dan dijerat Pasal 80 UU Perlindungan Anak serta Pasal 335 KUHP, dengan ancaman tiga tahun penjara. Ivan juga sempat disebut-sebut memiliki beking aparat keamanan, namun hal tersebut belakangan dibantah oleh TNI.
Selain itu, masih hangat dalam ingatan kasus Mario Dandy Satriyo, yang menganiaya brutal Cristalino David Ozora, tahun lalu. Akibat aksi brutal Mario, korban sempat mengalami luka berat hingga koma. Kasus ini menjadi sorotan juga sebab gaya hidup mewah Mario, yang kerap dipamerkan di media sosial. Aksi koboi Mario sekaligus mengungkap dugaan korupsi ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, eks pejabat Ditjen Pajak.
Kepala Biro Psikologi dari Rumah Cinta, Retno Lelyani Dewi, menyatakan bahwa kalangan ekonomi berpunya alias orang kaya, yang punya kepribadian berfokus pada penghormatan terhadap materi, kemungkinan memberi model dan membiasakan anaknya dengan konsep yang sama.
Dari sisi pengasuhan, kata Retno, bila orang kaya mengasuh anak berdasarkan paradigma bahwa kekayaan adalah hal yang utama, maka akan lahir pola pikir bahwa kuasa ditentukan dari jumlah harta yang dimiliki.
Pola pengasuhan penelantaran akan membuat anak memiliki persepsi bahwa pemenuhan kebutuhan fisik adalah hal yang paling utama. Maka, saat melihat individu lain berada dalam kondisi kekurangan, anak mempersepsi bahwa dirinya berada di atas. Anak lain yang dalam kekurangan dianggap akan dianggap berada di bawah levelnya.
Ini menimbulkan reaksi merendahkan, secara verbal, fisik, psikologis bahkan isolasi sosial. Selain itu, perbedaan posisi jabatan juga memantik kerentanan terhadap perilaku kekerasan karena adanya relasi kuasa.
“Bos merasa memiliki kuasa di atas, tidak terkalahkan, tidak tergoyahkan. Terlebih jika Bos, secara pribadi - bukan perusahaan- yang membayar langsung gaji pekerja,” ujar Retno.
Kendati demikian, Retno menilai tidak semua orang kaya atau tajir melintir bisa digeneralisir, sebab sikap dan perilaku terbentuk dari banyak hal. Misalnya kepribadian, pembiasaan, pola pengasuhan, lingkungan, hingga media sosial. Meskipun kaya, tetapi hidup dalam keluarga dengan kepribadian yang berfokus pada penghormatan terhadap sesama, maka akan dapat menularkan hal ini kepada anak-anak mereka.
“Jika orang kaya mengasuh anak berdasarkan paradigma bahwa karakter adalah hal yang utama. Maka karakter anak akan terbentuk baik. Anak akan santun, menghormati orang lain, tidak segan segan berbagi dan ringan tangan,” ungkap Retno.
Dalam riset berjudul “Social class, solipsism, and contextualism: How the rich are different from the poor” (2012), tim periset University of California menjelaskan bagaimana sumber daya yang dimiliki seseorang dari kelas sosial tertentu dapat mempengaruhi perilaku orang yang bersangkutan. Orang yang berangkat dari latar belakang mapan cenderung lebih fokus pada dirinya. Sebab sejak awal, orang-orang kaya sudah disokong dengan sumber daya besar. Artinya, mereka bisa tumbuh jadi lebih mandiri atau merdeka untuk fokus meraih cita-cita.
Berbeda dengan masyarakat ekonomi bawah yang sumber dayanya terbatas. Mereka tidak punya tingkat kebebasan setinggi orang kaya. Akibatnya, fokus mereka mengarah ke luar, yakni bersikap lebih awas atau sensitif terhadap orang lain dan kondisi sosial di sekitarnya.
Tidak Kebal Hukum
Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, memandang fenomena di mana beberapa individu dari kalangan berada atau kaya –terutama anak-anak mereka– cenderung merendahkan orang lain atau bahkan tega melakukan kekerasan, bisa dijelaskan lewat berbagai faktor: seperti psikologis, sosial, dan budaya.
Terkait konteks psikologis perilaku ini dapat disebabkan proses pembelajaran dari orang tua yang keliru. Perlakuan memanjakan anak tidak dibarengi oleh adanya pemberian hukuman atau sanksi terhadap perilaku-perilaku yang maladaptif. Pola pengasuhan dan pendidikan ini menciptakan superioritas atau kepercayaan untuk tidak perlu mematuhi aturan yang berlaku.
Lebih jauh, juga timbul keyakinan bahwa kekayaan dan kekuasaan yang mereka miliki lewat status sosial dan ekonomi dapat melindungi diri dari beragam sanksi, termasuk hukum. Dari faktor sosial, kesewenangan terjadi sebab stratifikasi masyarakat yang mengajarkan secara eksplisit atau implisit bahwa kelompok yang lebih unggul dan berhasil secara ekonomi bisa menggunakan privilese untuk berlaku sesukanya.
“Hal ini kemudian yang dianggap biasa atau bahkan menjadi budaya –jika bukan norma– dalam fenomena sosial,” ucap Dewi kepada reporter Tirto.
Dewi juga menyoroti bahwa fenomena beking yang dilakukan aparat terhadap orang kaya menjadi praktik yang berbahaya. Perilaku ini akan melanggengkan situasi hukum yang tajam ke masyarakat bawah dan tunduk serta tumpul kepada kelas atas. Kultur semacam ini jelas mematikan rasa keadilan karena keberpihakan terhadap pihak-pihak yang berkuasa, tentu kental konflik kepentingan.
Hukum dan keadilan, bahkan hak asasi manusia dan rasa kemanusiaan juga bisa diabaikan dan dikorbankan jika kultur semacam ini dibiarkan. Alih-alih demikian, kata Dewi, situasi ini menjadi pekerjaan rumah aparat penegak hukum (APH) dalam upaya menegakkan keadilan masyarakat yang setara di mata hukum.
Pengajar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini, melihat dalam beberapa waktu ke belakang memang rajin muncul kasus-kasus individu dengan finansial mapan merasa kebal hukum. Mulai kasus Mario Dandy, hingga kasus promosi judi online yang membiarkan kelompok artis bebas, menandakan hukum yang semakin tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Orin menilai fenomena ini sangat berbahaya karena sudah berulang kali terjadi dan dapat menjadi budaya atau sesuatu norma yang diterima di masyarakat. Fenomena ini turut mencerminkan ada sistem yang salah dalam tubuh aparat penegak hukum. Sehingga hal ini menjadi praktik yang berkesinambungan terus-menerus dan menjadi budaya hukum yang dianggap biasa.
“Bahwa kalau anda punya kemampuan finansial mapan, maka mampu mengatur hukum berjalan. Itu berbahaya seolah hukum tidak setara memperlakukan manusia, kelambatan polisi menangani kasus hingga ada tagar no viral, no justice juga menunjukkan kekurangan kerja aparat,” kata Orin kepada reporter Tirto, Selasa (17/12/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz