Menuju konten utama
Silsilah KH Wahab Chasbullah

Profil KH Abdul Wahab Hasbullah Tokoh Pendiri NU & Pahlawan RI

Profil KH Abdul Wahab Hasbullah, yang merupakan salah satu tokoh pendiri NU sekaligus pahlawan RI.

Profil KH Abdul Wahab Hasbullah Tokoh Pendiri NU & Pahlawan RI
Ilustrasi Kiai Wahab Hasbullah. tirto.id/Gery

tirto.id - Berdasarkan perhitungan kalender hijriah, Nahdlatul Ulama (NU) akan menginjak usia 1 abad pada 7 Februari 2023 (16 Rajab 1444 H). Organisasi terbesar di Indonesia tersebut berdiri pada 16 Rajab 1344 H, berkat inisiasi beberapa ulama Jawa Timur. Salah satu yang berperan besar dalam gagasan pembentukannya adalah KH Abdul Wahab Hasbullah.

KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama, tokoh nasional, politikus, dan pemimpin di NU. Perannya tidak hanya sebatas itu. Dia juga punya andil yang cukup besar dalam perkembangan Nahdlatul Ulama hingga saat ini.

Organisasi yang berada di bawah naungan NU, Ansor, juga merupakan hasil gagasan Kiai Wahab. Ide tersebut berkembang setelah pada awal 1920-an dia membentuk sayap pemuda Nahdlatul Wathan bernama Syubbanul Wathan, Da’watus Syubban, dan Jam’iyyah Nashihin.

Kiprah dan pengaruhnya untuk NU terbilang cukup besar, di samping ulama dan tokoh besar lainnya. Lantas, bagaimana perjalanan hidup sang kiai?

Silsilah KH Abdul Wahab Hasbullah

K.H. Abdul Wahab Hasbullah lahir di Tambakberas, Jombang, pada 31 Maret 1888. Sejak kecil, dia sudah terbiasa dengan kultur islam-tradisional.

Ayahnya adalah K.H. Hasbullah Said. Sementara itu, ibu KH A. Wahab Hasbullah bernama Nyai Latifah. Keduanya merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur.

Dalam buku Gerakan Modern Islam di Indonesia (1980) karya Deliar Noer, silsilah KH. Wahab Hasbullah sampai kepada Kiai Hasyim Asy'ari. Keduanya memiliki nenek moyang yang sama hingga bersambung pada Brawijaya VI (Lembu Peteng).

Wahab merupakan anak dari pasangan Hasbullah Said dan Nyai Latifah. Neneknya bernama Fatimah. Jika dirunut lagi, Fathimah lahir dari orang tua pasangan Abdus Salam dan Kiai Soichah.

Selain Fatimah, Abdus Salam juga memiliki anak bernama Layyinah, yang kemudian melahirkan Halimah. Setelah menikah dengan Kiai Asy'ari, Halimah melahirkan anak, yang nantinya menjadi tokoh ulama berpengaruh di Indonesia, bernama Kiai Hasyim Asy'ari.

Profil KH Abdul Wahab Hasbullah

Mula-mula kyai haji Abdul Wahab Hasbullah belajar dibimbing oleh sang ayah, Hasbullah Said. Ilmu pertama yang diajarkan adalah terkait juz amma dan Al-Qur'an. Kiai Wahab juga telah diperkenalkan dan diajarkan tentang kitab-kitab kuning sejak kecil.

Ketekunan, kemandirian, dan kecerdasarannya telah terbentuk sedari kecil. Terlebih, dia merupakan putra pertama dari delapan bersaudara, yang tentu saja memiliki tanggung jawab moral menjadi contoh bagi adik-adiknya.

Usai mengantongi bekal ilmu yang cukup, Kiai Wahab memutuskan merantau untuk menuntut ilmu. Beberapa pesantren pernah ia singgahi. Salah satunya adalah Pesantren Bangkalan, Madura, asuhan Syekh Kholil. Dia juga pernah nyantri di Pesantren Mojosari Nganjuk dan Tebuireng Jombang.

Sang ayah, Hasbullah Said, masih berperan besar dalam perjalanan keilmuan Kiai Wahab semasa muda. Pada usia 23, dia dikirim oleh ayahnya ke Makkah untuk menuntut ilmu.

Di sana, Kiai Wahab berguru kepada para ulama terkemuka, termasuk pula para ulama Jawa yang ada di Makkah seperti Syekh Machfudz Termas dan Syekh Ahmad Khotib dari Minang.

KH Abdul Wahab Hasbullah bermukim di Makkah selama kurang lebih lima tahun. Dalam kurun tersebut, dia tidak hanya belajar ilmu agama, melainkan juga mengikuti perkembangan politik nasional dan internasional bersama rekan-rekannya.

Pada 1914, Kiai Wahab memutuskan pulang ke tanah air. Ia kemudian memutuskan mengasuh pesantren di tempat kelahirannya, Tambakberas.

Selain mengasuh pesantren, KH Wahab aktif dalam pergerakan nasional. Hal ini merupakan wujud perjuangannya untuk menyelamatkan bangsa dari berbagai persoalan. Tak lama setelah tinggal di Nusantara, ia mendirikan Nahdlatul Wathan bersama Kiai Mas Mansur.

Sebagai catatan, Nahdlatul Wathan versi Kiai Wahab berbeda dengan lembaga bernama serupa yang didirikan Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Lombok, Nusa Tenggara Timur, pada 1953.

Martin van Brulnessen dalam bukunya, NU: Tradisi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menyebut, boleh dibilang, Nahdlatul Wathan merupakan lembaga pendidikan agama bercorak nasionalis moderat pertama di Nusantara kala itu.

Tak cukup sampai di situ. Pada 1918, dia mendirikan organisasi lain bernama Nahdlatut Tujjar, yang berarti kebangkitan saudagar. Tujuannya adalah membangun kemandirian ekonomi para pedagang kecil di wilayah Jawa Timur. Saat itu, organisasi tersebut mencakup wilayah sekitar Jombang, Kediri, dan Surabaya.

Pada mulanya, Nahdlatut Tujjar dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari. Kiai Wahab menjadi

sekretaris sekaligus bendahara. Salah satu anggota lainnya adalah Kiai Bisri Syansuri, yang tak lain merupakan sahabat dekat Kiai Wahab

Berangkat dari situasi perkembangan dunia keislaman yang semakin kompleks, Kiai Wahab tergerak untuk mendirikan Taswirul Afkar pada 1919.

Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dalam forum membuat Taswirul Afkar cepat dikenali oleh masyarakat dan mampu menarik perhatian kalangan pemuda.

Taswirul Afkar menjadi media bertemunya tokoh Islam untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan keagamaan yang dianggap krusial. Selain menghimpun kaum ulama, Taswirul Afkar menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antartokoh nasional sekaligus jembatan komunikasi generasi tua-muda.

Pada 1926, situasi keislaman di Indonesia terbilang cukup memanas. Terlebih, pada dekade ketiga abad ke-20, banyak golongan Islam-reformis yang digawangi misalnya oleh Al-Irsyad dan Muhammadiyah, menentang ajaran Islam Nusantara.

Sebenarnya pada saat itu organisasi Islam di Cianjur sempat mengirim utusan ke Arab Saudi, untuk menghadap Raja Ibn Sa'ud, dan menyelesaikan persoalan terkait praktik keagamaan islam tradisional di Nusantara. Namun, usulan itu ditolak mentah-mentah oleh golongan Islam-reformis.

Dari situlah Kiai Wahab mulai menginisasi pembentukan organisasi yang bisa mewadahi masalah Islam-tradisional di Nusantara. Para kiai yang berbasis di Jawa Timur berkumpul dalam forum Taswirul Afkar untuk membahas ide Kiai Wahab tersebut.

Sang guru, Kiai Hasyim, tidak lantas menyetujui usulan tersebut. Namun, setelah diskusi alot yang melibatkan para ulama lain, beliau akhirnya mengiyakan gagasan itu. Perjalanan tersebutlah yang menjadi bakal pendirian NU.

KH Wahab memiliki sikap dan pandangan yang selalu lentur terutama dalam menghadapi berbagai persoalan sehari-hari. Tak hanya itu, KH Wahab juga dikenal lentur dalam menghadapi persoalan politik dan kenegaraan.

Dalam hal politik salah satu keputusan KH Wahab yang fenomenal adalah saat NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952. Menurut pandangan KH Wahab, keberadaan NU bagi Masyumi seperti adagium bahasa Arab wujuduhu kaadamihi, adanya sama belaka dengan ketiadaannya.

KH Wahab Hasbullah meninggal di Jombang, 29 Desember 1971. Ia wafat di usia yang tergolong sepuh, 83 tahun, dan masih menjabat sebagai Rais Aam Syuriah. Pada 2014 lalu atau 43 tahun setelah wafatnya KH Wahab Hasbullah, Presiden Joko Widodo menetapkan sosoknya sebagai pahlawan nasional.

KH Abdul Wahab Hasbullah merupakan salah satu contoh nyata pahlawan nasional dari kalangan ulama. Sosok KH Abdul Wahab Hasbullah membuktikan idealisme seorang ulama yang mencintai bangsanya.

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Nurul Azizah

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Nurul Azizah
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Fadli Nasrudin