tirto.id - Berdasarkan perhitungan kalender hijriah, Nahdlatul Ulama (NU) akan menginjak usia 1 abad pada 7 Februari 2023 (16 Rajab 1444 H). Organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut didirikan pada 16 Rajab 1344 H. Perkembangan NU tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama pendirinya. Salah satunya adalah K.H. Bisri Syansuri.
Kiai Haji Bisri Syansuri merupakan salah satu murid dari K.H. Hasyim Asy'ari. Dia dikenal dengan kecerdasannya dalam memahami dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan umat melalui pendekatan fikih murni.
Pandangan ini sering kali bertolak belakang dengan tokoh pendiri lainnya seperti K.H. Abdul Wahab Chasbullah, yang ahli di bilang ilmu ushul fiqih. Walakin, perdebatan keduanya tetap bersandar para literatur yang luas.
Mengutip NU Online, Kiai Bisri termasuk salah satu generasi terbaik didikan langsung Kiai Hasyim. Kedudukannya dinilai setara dengan ulama fikih NU lain seperti Abdul Manaf (Kediri), As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Ahmad Baidowi (Banyumas), Abdul Karim (Sedayu), Nahrawi (Malang), hingga Maksum Ali dari Pesantren Maskumambang (Sedayu).
Selain berguru pada Kiai Hasyim, Kiai Bisri turut belajar ilmu dari Syekh Ahmad Khatib Padang, Syekh Syu'aib Daghestani, dan Kiai Mahfud Termasi. Di samping unggul dalam ilmu agama, Kiai Bisri juga pernah memimpin NU sebagai Rais Aam di tahun 1972.
Peran Kiai Bisri terhadap perkembangan NU tidak hanya seputar keilmuan fikih saja. Dia juga pernah menjadi inisiator pendirian pesantren perempuan pertama.
Kiai Bisri juga terbilang progresif pada masa Orde Baru. Salah satunya adalah dengan menolak RUU Perkawinan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto kala itu.
Lantas, bagaimana perjalanan hidup kakek dari Gus Dur tersebut?
Profil K.H. Bisri Syansuri, Salah Satu Pendiri NU
Bisri Syansuri lahir pada 18 September 1886 di sebuah wilayah pesisir Jawa yang kental dengan kultur keislaman yakni Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah. Maka, tak heran bila masa kecilnya sudah diisi dengan kegiatan keagamaan.
Bisri Syansuri adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Abdul Somad sedangkan ibunya adalah Mariah.
Pada usia tujuh, Bisri berguru kepada Kiai Soleh mengenai bacaan Alquran. Dalam perkembangannya, Bisri juga mulai belajar ilmu nahwu, sharaf, fikih, tasawuf, tafsir, dan hadis kepada Kiai Abdul Salam. Bisri digembleng sang kiai sampai usia remaja.
Kendi Setiawan dalam artikelnya di NU Online berjudul "Kiai Bisri Syansuri Menuntut Ilmu" menyebut, Kiai Abdul Salam merupakan sosok penting dalam perjalanan keilmuan Bisri Syansuri. Pelajaran yang diterimanya semasa kecil hingga remaja sangat membekas, bahkan menentukan corak kepribadiannya di masa mendatang.
Menginjak usia 15, Bisri Syansuri mencoba merantau guna menuntut ilmu agama ke luar kota. Tentu saja atas izin dan dukungan kedua orang tuanya. Dia berguru kepada K.H. Kholil Kasingan Rembang dan K.H. Syu'aib Lasem. Namun, proses pembelajaran ini dilakukan selama bulan puasa saja.
Selanjutnya, dia nyantri di Pesantren Demangan Bangkalan yang diasuh K.H. Kholil. Di situlah ia dipertemukan dengan Abdul Wahab Chasbullah.
Di masa mendatang, mereka berdua berkawan dekat. Persahabatan itu lantas berujung menjadi ikatan keluarga setelah Bisri menikahi adik perempuan Wahab.
Seiring waktu berjalan, Wahab Chasbullah memutuskan nyantri di Pesantren Tebuireng, Jombang. Dia kemudian mengajak Bisri untuk ikut bergabung. Setelah menyanggupi ajakan tersebut, mereka berdua pun memutuskan pindah ke Jombang pada 1906.
Selama 6 tahun menuntut ilmu di pesantren Tebuireng bersama K.H. Hasyim Asy'ari, Bisri menguasai banyak ilmu agama, terutama yang berkaitan dengan pokok-pokok hukum fikih. Dia juga mendapat ijazah dari gurunya, dan diminta turut mengajar kitab-kitab agama yang populer dalam literatur pesantren.
Kiai Bisri lalu melanjutkan menuntut ilmu di Makkah pada 1912, juga bersama sahabat karibnya, Wahab Chasbullah. Di sana, dia berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Syekh M Bakir, Syekh M Sa’id al-Yamani, Syekh Umar Bajened, Syekh M Sholeh Bafadhol, Syekh Jamal al-Maliki, Syekh Abdullah, dan Syekh Ibrahim al-Madni.
Setelah beberapa waktu di Makkah, Kiai Bisri memutuskan pulang kampung dan mendirikan pesantren di Denanyar, Jombang. Salah satu terobosan yang dibuatnya kala itu adalah membuat kelas khusus bagi perempuan. Peserta didiknya kala itu adalah anak-anak dari tetangga sekitar.
Menurut Gus Dur, dikutip dari laman NU Online, gagasan Kiai Bisri itu terbilang aneh di mata para ulama lain. Langkah tersebut bahkan tidak mendapatkan izin khusus dari Kiai Hasyim. Namun, ia terus melanjutkan kegiatan tersebut sebab sang kiai juga tidak memberikan larangan.
Sama seperti Wahab Chasbullah, Kiai Bisri juga turut andil dalam madrasah yang berdiri pada 1916, Nahdlatul Wathan--bukan Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh Muhammad Zainuddin Abdul Majid di Nusa Tenggara Barat.
Kiai Bisri juga tergabung dalam kelompok diskusi keislaman bernama Taswirul Afkar, hasil ide Kiai Wahab Chasbullah. Dia termasuk ulama yang cukup aktif saat musyawarah hukum agama bersama kiai lainnya, termasuk sumbangsih di masa awal berdirinya Nahdlatul Ulama.
Kiai Bisri tidak hanya mumpuni dalam ilmu agama. Dirinya juga aktif sebagai anggota Dewan Konstituante pada rentang 1955-1959.
Campur tangan Kiai Bisri di kancah nasional kian mendalam selepas Nusantara merdeka. Kendi Setiawan dalam artikel bertajuk "Cara Kiai Bisri Syansuri Menghadapi Penjajah Jepang" mengatakan, Kiai Bisri pernah ditunjuk sebagai anggota Komite Nasional Indonesia (KNIP) pada 1946, setahun setelah proklamasi kemerdekaan.
Di panggul perpolitikan, Kiai Bisri tergolong sebagai orang yang kokoh berpegang kepada fikih. Keteguhannya terlihat, misalnya, ketika dia menentang pembubaran DPR hasil pemilu 1955.
Ketika itu, Presiden Sukarno menggagas ide pengganti DPR hasil pemilu 1955 dengan DPR Gotong Royong (DPR GR). Gagasan tersebut ditolak oleh Kiai Bisri dengan alasan fikih.
Menurut Kiai Bisri, dalam buku Ijtihad Politik Ulama (2009) karya Greg Fealy, "Jika NU menerima posisi dalam DPR-GR, ini berarti NU telah membiarkan, bahkan ikut mengambil keuntungan dari tindakan yang melanggar hukum."
Kendati terlibat cukup dalam di kebijakan perpolitikan nasional, Kiai Bisri tak pernah melupakan NU. Kesetiaannya ditunjukkan ketika menjabat Rais Aam NU, menggantikan Kiai Wahab yang meninggal pada 1971.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Fadli Nasrudin