tirto.id - Kontroversi penyerapan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang melibatkan Pertamina dan sejumlah operator SPBU swasta seperti BP-AKR, Shell, dan VIVO masih terus bergulir.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menduga inti persoalannya bukanlah pada ada atau tidaknya kandungan etanol di BBM yang akan dibeli oleh Badan Usaha swasta, melainkan pada ketidaksesuaian antara produk yang dikirim dengan spesifikasi yang disepakati dalam perjanjian.
Ia mengatakan bahwa masalah pokoknya adalah pelanggaran kesepakatan dagang. Perusahaan swasta memesan base fuel, BBM murni hasil olahan kilang yang belum dicampur additive apapun, namun yang dikirimkan Pertamina adalah BBM yang sudah mengandung etanol.
“Yang diributkan itu bahan bakar yang mau dibeli tidak sesuai dengan perjanjian. Orang dia mintanya cuma base fuel, dikirimnya bahan bakarnya sudah ada kandungan etanol,” kata Fabby dalam wawancara dengan Tirto, Selasa (7/10/2025).
Dia menganalogikan situasi ini dengan membeli ayam goreng. “Saya tuh hanya mau belinya ayam goreng tanpa bumbu. Maksudnya ayam yang digoreng biasa, nggak ayam berbumbu. Terus yang datang sudah ada bumbu macam-macam. Kan nggak sesuai sama yang saya minta,” jelas Fabby.
Fabby menilai pemberitaan yang fokus pada isu etanol justru mengaburkan akar masalah. Dia menyayangkan mengapa publik heboh membahas etanol, padahal substansinya adalah ketidakpatuhan terhadap kontrak.
“Makanya kenapa diributin soal etanol, saya juga nggak ngerti. Heboh banget nanyain saya soal etanol. Yang diributin bukan soal etanolnya. Yang diributin itu bahan bakar yang mau dibeli nggak sesuai dengan perjanjian,” tegasnya.
Menurut Fabby, base fuel adalah produk dasar yang keluar dari kilang dengan RON tertentu, misalnya antara 60-85, tergantung spesifikasi kilang.
Perusahaan swasta seperti Shell dan BP biasanya memiliki formula rahasia dan additive sendiri, yang bisa saja termasuk etanol, untuk meningkatkan kualitas dan menciptakan diferensiasi produk di SPBU mereka, seperti Shell V-Power atau BP Ultimate.
“Kalau nanti si BP Shell mau nambahin etanol di dia, itu urusan dia. Tapi kan berapa kadar etanol yang ditambahkan, implikasinya apa pada peningkatan kualitas bahan bakarnya, itu kan urusan dia,” papar Fabby.
Dia menduga, penolakan pihak swasta untuk menerima kiriman BBM Pertamina lebih didorong oleh ketidakcocokan spesifikasi bahan baku dengan formula yang mereka miliki.
“Kalau saya beli ayam goreng yang tanpa bumbu, mungkin saya mau ngolahnya jadi ayam penyet. Begitu saya dapetnya ayam, beli dari Anda ayam bumbu, kan sudah nggak cocok sama resep saya. Ya itu aja sebenarnya yang terjadi,” ujarnya.
Fabby mengingatkan bahwa Pertamina memang telah memiliki program pencampuran etanol dalam BBM sejak beberapa tahun terakhir, mengikuti instruksi pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor BBM murni. Program ini antara lain bertujuan untuk meningkatkan RON dan mengurangi emisi.
Dengan penambahan etanol, sambungnya, RON BBM akan meningkat. RON yang tinggi juga membuat gas buang hasil pembakaran lebih bagus atau emisinya lebih rendah.
Namun, Fabby juga menyoroti potensi masalah dalam kebijakan impor BBM ini. Dia mempertanyakan apakah program etanol benar-benar berdampak pada pengurangan volume impor BBM fosil, atau justru hanya ‘akal-akalan’ statistik.
“Jangan-jangan Pertamina impor BBM-nya sudah blending dengan etanol sehingga volumenya ya volume (impor) BBM itu. Nggak ada dampak pada penurunan impor gitu loh,” ujarnya.
Dia menjelaskan, untuk menekan impor harusnya Pertamina memasukkan BBM murni yang belum dicampur apapun, termasuk etanol. Proses pencampuran baru terjadi dalam proses pengolahan di kilang Pertamina.
Menurutnya, jika BBM yang diimpor sudah dalam kondisi tercampur etanol, maka manfaat pengurangan impor dan penggunaan produk dalam negeri menjadi tidak tercapai.
“Jadi yang menerima manfaat etanol itu bukan dalam negeri. Inilah yang perlu evaluasi pemerintah menurut saya sih. Jangan ngakalin-ngakalin aja itu,” tandas Fabby.
Di luar kasus ketidaksesuaian spesifikasi ini, Fabby menekankan bahwa isu yang lebih krusial bagi industri BBM nasional adalah pemenuhan standar kualitas.
BBM Standar Euro 4
Dia mendorong agar semua BBM yang beredar harus memenuhi standar Euro 4 yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018.“Yang penting itu BBM kita itu memenuhi standar Euro 4. Kalau Euro 4 itu berarti RON-nya itu harus di atas 95. Pakai etanol bisa meningkatkan tuh ke RON itu. Tapi juga yang lain kan, sulfurnya harus rendah, particulate matter-nya,” jelasnya.
Dia berpendapat, perdebatan seharusnya tidak berkutat pada ada atau tidaknya etanol, melainkan pada kepatuhan terhadap standar emisi yang lebih bersih.
Program pencampuran etanol sebagai bagian dari bahan bakar nabati, menurutnya, perlu didukung selama dilaksanakan dengan transparan dan tepat sasaran.
Adapun, kekhawatiran sejumlah SPBU swasta seperti BP-AKR, Shell, dan VIVO terhadap kandungan etanol dalam BBM Pertamina dinilai tidak berdasar secara teknis.
Guru Besar ITB Tri Yus Widjajanto, misalnya, menekankan bahwa kadar etanol 3,5 persen justru aman, sesuai standar internasional, dan bahkan bermanfaat bagi lingkungan.

Menurutnya, meski kandungan energi etanol lebih rendah daripada bensin, penambahan 3,5 persen hanya menurunkan energi sekitar 1 persen.
"Penurunan sebesar itu tidak akan terasa dan tidak membuat BBM lebih boros. Konsumsi bahan bakar dan performa kendaraan tidak akan terpengaruh," ujarnya, dalam keterangan resmi.
Tri menjelaskan, etanol diketahui memiliki nilai research octane number (RON) tinggi, yakni sekitar 110–120. Alhasil, dengan penambahan etanol sebesar 3,5 persen ke dalam bensin, RON dapat meningkat sebesar 3,85-4,2 poin.
Kandungan etanol ini dinilainya berada jauh di bawah ambang batas yang umum digunakan banyak negara. Di Amerika Serikat, misalnya, kadar etanol dalam bensin bisa mencapai 10 persen, sedangkan di Brazil bahkan mencapai 85 persen.
“Bahkan Shell di Amerika pun menjual bensin yang dicampur etanol 10 persen, dan di sana baik-baik saja, tidak ada masalah dengan mesin kendaraan. Bahkan di Brazil kadar etanolnya sampai 85 persen, Australia juga sudah pakai,” jelasnya.
Pendapat Tri sejalan dengan publikasi Shell dalam situs resminya, yang menyebut bahwa dua produk BBM yang mereka pasarkan di Inggris, yakni Shell Regular Diesel dan Shell V-Power Diesel, mengandung etanol. Shell Regular Unleaded mengandung hingga 10 persen etanol sejak pemerintah Inggris memperkenalkan bahan bakar E10 pada tahun 2021, sementara Shell V-Power Unleaded mengandung tidak lebih dari 5 persen.
Ia menilai penolakan sejumlah operator SPBU swasta terhadap base fuel Pertamina terlalu berlebihan. “Saya melihat ini lebih ke isu yang digunakan untuk menekan pemerintah agar mengeluarkan lagi kuota impor mereka,” ucap Tri.
Senada, Dosen ITERA Muhammad Rifqi Dwi Septian menyatakan etanol membuat pembakaran lebih sempurna sehingga mengurangi emisi berbahaya.
"Etanol memiliki kandungan oksigen yang tinggi, sehingga pembakarannya lebih sempurna. Itu membuat kadar karbon monoksida dan hidrokarbon tidak terbakar bisa berkurang, artinya lebih ramah lingkungan," katanya.
Keduanya menilai kekhawatiran etanol menyebabkan karat atau kerusakan mesin berlebihan, tidak akan terjadi selama produksi dan penyimpanannya sesuai standar. Etanol yang berasal dari fermentasi bahan nabati justru digunakan di banyak negara untuk meningkatkan kualitas BBM dan mendukung program energi terbarukan.
Sementara itu, PT Pertamina Patra Niaga menyatakan bahwa kerja sama impor BBM dengan pengelola SPBU swasta akan berlanjut. Pj Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun, mengatakan bahwa PT Vivo Energy Indonesia (Vivo) dan PT Aneka Petroindo Raya (APR)-AKR Corporindo Tbk (pengelola SPBU BP) telah sepakat untuk menindaklanjuti kerja sama ke pembicaraan yang lebih teknis.
“Vivo, APR, dan AKR sudah sepakat untuk menindaklanjuti pembicaraan lebih teknis,” ujar Roberth, seperti dikutip Antara, Senin (7/10/2025).
Roberth menjelaskan langkah-langkah selanjutnya akan mencakup pembahasan dokumen pernyataan untuk menjaga tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), kesepakatan spesifikasi produk, key terms, serta syarat dan ketentuan umum. Jika disepakati, proses akan dilanjutkan dengan pengadaan komoditas melalui sistem lelang.
“Semangat kolaborasi berdasarkan niat baik untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat ini untuk disikapi dengan bijak dan positif, sesuai arahan dari pemerintah,” kata Roberth.
Sama seperti Vivo dan AKR, Shell Indonesia juga masih melakukan pembahasan dengan skema business to business (B2B) dengan Pertamina.
President Director & Managing Director Mobility, Shell Indonesia, Ingrid Siburian menjelaskan, pihaknya terus berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia agar BBM jenis bensin dapat kembali tersedia di jaringan SPBU mereka.
Namun, ia menekankan bahwa BBM yang akan mereka sediakan harus sesuai dengan standar bahan bakar berkualitas tinggi yang selama ini disediakan Shell bagi pelanggan Indonesia.
“Pembahasan business-to-business (B2B) terkait pasokan impor base fuel sedang berlangsung,” katanya dalam keterangan resmi, dikutip Selasa.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































