tirto.id - Rapat kerja Komisi XI DPR RI menjadi ajang bagi Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengingatkan kembali janji pembangunan kilang minyak baru oleh PT Pertamina (Persero). Menurutnya, komitmen itu pernah disampaikan pada 2018, saat ia masih menjabat Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi di Kemenko Marves.
Purbaya, yang kala itu masih menjadi anak buah Luhut Binsar Pandjaitan, mengaku sempat menekan Pertamina agar segera membangun kilang guna mengurangi impor sekaligus menekan subsidi BBM. Namun, setelah tujuh tahun berlalu, belum ada satu pun kilang minyak baru yang terealisasi. Padahal, perusahaan migas pelat merah itu sempat berkomitmen membangun tujuh kilang dalam jangka waktu lima tahun.
"Jadi Bapak tolong kontrol mereka juga. Dari saya kontrol, dari Bapak-bapak juga kontrol. Karena kita rugi besar. Karena kita impor dari mana? Dari Singapura, produk-produk minyaknya," ucap Purbaya dalam sesi tanya jawab bersama anggota Komisi XI di forum tersebut, Selasa (30/9/2025).
Apa yang disampaikan Purbaya tercermin jelas dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait impor migas. Pada 2018, impor hasil minyak tercatat sebesar 20,7 miliar dolar AS, naik sekitar 20 persen dibandingkan 2017 yang mencapai 17,25 miliar dolar AS. Enam tahun berselang, pada akhir 2024, nilainya bahkan melonjak menjadi 25,92 miliar dolar AS.
Angka tersebut menunjukkan betapa pentingnya pembangunan kilang baru di dalam negeri. Dengan adanya fasilitas pengolahan, Indonesia bisa mengurangi impor produk BBM yang lebih mahal dan menggantinya dengan impor minyak mentah yang harganya jauh lebih rendah.
BPS mencatat, impor minyak mentah pada 2018 hanya sebesar 9,16 miliar dolar AS. Sementara pada 2024, meski meningkat, nilainya masih relatif lebih rendah yaitu 10,35 miliar dolar AS—hampir sepertiga dari impor hasil minyak.
Kesenjangan inilah yang menjadi dasar kritik Purbaya. Selama kilang baru tak kunjung dibangun, ketergantungan pada impor BBM siap pakai akan terus menekan neraca perdagangan sekaligus membebani subsidi energi.
"Subsidi energi naik terus dari tahun ke tahun. Energinya kan, utamanya ya, BBM. Kan itu solar, diesel, itu impor. Kita banyak impornya sampai puluhan miliar dolar setahun. Sudah berapa tahun kita mengalami hal tersebut? Sudah puluhan tahun, kan? Kita pernah bangun kilang baru enggak? Enggak pernah," tegasnya.
Pun demikian, membangun kilang baru bukanlah perkara mudah. Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Moshe Rizal, menjelaskan bahwa proyek semacam ini berisiko tinggi dan telah membuat banyak investor menarik diri dari rencana investasinya.
Selain kompleksitas infrastruktur, biaya yang dibutuhkan juga sangat besar, mencapai miliaran dolar. Sebagai gambaran, proyek peningkatan kapasitas Kilang Balikpapan sebesar 100 ribu barel per hari membutuhkan sekitar 6 miliar dolar AS. Padahal, proyek tersebut bukan pembangunan kilang baru, melainkan hanya ekspansi dari fasilitas yang sudah ada.
Kondisi ini membuat investor sangat sensitif terhadap berbagai faktor yang bisa memengaruhi kelanjutan proyek. Sedikit saja muncul potensi risiko atau ketidaknyamanan, komitmen mereka cenderung batal. "Ada sesuatu hal yang investor itu kurang suka aja sedikit yang mereka bisa bilang 'wah ini bisa jadi resiko' itu pasti (komitmennya) akan batal. Jadi bukan sesuatu yang mereka mau paksakan, kenapa? Karena ya tadi, sangat tipis (nilai) ekonominya," kata Moshe pada Tirto, Rabu (1/10/2025).
Ia juga menyoroti persoalan kesepakatan investasi yang kerap mandek dalam negosiasi antara Pertamina dan investor. Salah satunya menyangkut evaluasi aset existing yang dimasukkan dalam paket investasi. Perbedaan pandangan inilah yang pernah menjadi masalah, seperti dengan Saudi Aramco.
Sejak 2018, Pertamina memang sempat menjajaki kerja sama dengan sejumlah perusahaan global—Rosneft, Saudi Aramco, hingga Mubadala Energi Indonesia—untuk membangun kilang minyak baru di Balikpapan dan Cilacap. Namun hingga kini, belum satu pun yang terealisasi.
Dari catatan Pertamina per Februari 2021, proyek pembangunan Kilang Tuban, ekspansi Balikpapan, Dumai, Balongan, dan Cilacap diperkirakan membutuhkan investasi total 43 miliar dolar AS atau sekitar Rp717,8 triliun. Sejumlah proyek itu ditargetkan mampu mengolah 1,4 juta barel minyak mentah per hari, menghasilkan BBM sekitar 1,2 juta barel per hari, serta memproduksi petrokimia hingga 12 juta ton per tahun.

Menurut Moshe, perbedaan pendapat yang kerap muncul dalam negosiasi seharusnya bisa diatasi melalui skema investasi yang lebih fleksibel. "Hal-hal seperti itu seharusnya Pertamina bisa jauh lebih fleksibel. Dari sisi internalnya dan dari sisi peraturan internal Pertamina untuk bisa ter-partner dengan si investor, dengan deal yang menguntungkan kedua belah pihak," ungkapnya.
Ia yakin pemerintah akan terbuka untuk memberikan dukungan, termasuk insentif, jika diperlukan. "(Tapi masalah yang) saya lihat adalah masalah deal antara Pertamina dan si investor itu sendiri. Di meja dealnya itu seperti apa? Nah itu yang membuat mungkin, misalkan masalah dengan Saudi Aramco, waktu itu yang disampaikan menjadi masalah itu karena adanya perbedaan evaluasi existing di kilang," paparnya.
Lebih jauh, Moshe mengingatkan bahwa kebutuhan BBM domestik terus melonjak setiap tahun. Sementara kilang Pertamina hanya mampu memproduksi 800 ribu barel per hari, konsumsi nasional sudah mencapai 1,6 juta barel per hari.
"Apapun yang mau dikerjakan oleh pemerintahan, mau dipush habis-habisan untuk EBT, mau dipush habis-habisan untuk electric vehicle, itu tidak akan bisa menutupi kenyataan di mana setiap tahun itu akan selalu naik volume permintaan migas kita," jelasnya.
Kunci utama kesuksesan pembangunan kilang, kata Moshe, sebetulnya ada pada skema kerja sama yang tepat. Pertamina tidak bisa hanya mengandalkan pinjaman untuk membiayai proyek, melainkan juga harus mampu mencari equity partner untuk membangun kilang baru.
Terlebih, pola kemitraan berbasis equity lebih sehat karena risiko dan kebutuhan modal yang besar bisa ditanggung bersama. Selain itu, fleksibilitas Pertamina dalam bernegosiasi juga sangat penting agar kepentingan calon mitra bisa terakomodasi. “Kilang ini risikonya tinggi, kapitalnya besar, sementara margin ekonominya kecil. Pertamina tidak bisa sendiri, harus punya partner,” tegasnya.
Pertamina sendiri memahami urgensi pembangunan kilang dan berbagai tantangan tersebut. Pada 2022, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional, Taufik Adityawarman, pernah menjelaskan bahwa pola pendanaan pembangunan kilang Pertamina pada dasarnya terbagi ke dalam tiga jalur utama.
Pertama, melalui ekuitas yang bisa berasal dari internal Pertamina jika kebutuhan dananya relatif kecil—seperti pada proyek RDMP Balongan—atau lewat penyertaan modal mitra swasta.
Kedua, melalui skema pinjaman yang dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain lembaga pembiayaan ekspor (Export Credit Agency/ECA) yang biasanya mensyaratkan penggunaan peralatan dari negara asal ECA, maupun dari bank-bank komersial. Ketiga, lewat mekanisme outsourcing, yaitu pengalihan sebagian unit atau area agar tidak menekan arus investasi, melainkan dialokasikan sebagai biaya operasional (OPEX).
Namun, Taufik mengakui opsi pertama bukan perkara mudah. Menarik minat investor swasta kerap menghadapi hambatan serius. Pada proyek RDMP RU IV Cilacap, misalnya, Pertamina gagal membentuk joint venture dengan Saudi Aramco dan kehilangan potensi investasi sekitar 6 miliar dolar AS.
Kendalanya, seperti disinggung Moshe, terletak pada perbedaan penilaian aset. Menurut perhitungan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), nilai kilang Cilacap mencapai 5,66 miliar dolar AS, sementara Aramco hanya menaksir 2,8 miliar dolar AS berdasarkan valuasi 2016 yang dikonversi ke 2018. Perbedaan itu membuat kerja sama yang digagas sejak 2014 resmi kandas pada April 2020 setelah Aramco mundur.
Sementara itu, Wakil Direktur Utama Pertamina Oki Muraza, dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI pada 11 September lalu, menyampaikan bahwa perseroan telah menargetkan peningkatan kapasitas kilang secara bertahap melalui infrastrukur yang sudah ada. “Untuk mendukung ketahanan energi, khususnya BBM, intake dari kilang kita akan ditingkatkan dari 315 juta barel di tahun 2025 menjadi 382 juta barel pada 2029,” ujar Oki dalam rapat tersebut.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa bisnis energi, khususnya pengelolaan kilang, tidaklah mudah. Ia mencontohkan sejumlah perusahaan besar seperti BP, TotalEnergies, hingga Chevron yang belakangan mengalami kerugian dan kesulitan menjaga profitabilitas akibat oversupply dan rendahnya harga minyak dunia. Kondisi tersebut, kata dia, juga berimbas pada produk kilang, sehingga margin keuntungan atau spread—selisih antara harga minyak mentah dan produk turunannya—menjadi semakin tipis.
Fenomena ini bahkan telah memaksa banyak kilang di berbagai negara tutup. Di Eropa, Amerika, dan Australia misalnya, beberapa fasilitas sudah berhenti beroperasi, dan diperkirakan masih ada sekitar 17 kilang yang akan tutup menjelang 2030. “Ini tentu tantangan kita bersama,” ujar Oki, seraya menekankan bahwa Pertamina perlu merawat dan mengoptimalkan kilang yang ada demi menjaga ketahanan energi nasional.
Dalam kesempatan sama, Direktur Keuangan PT Pertamina Kilang Internasional Fransetya Hasudungan Hutabarat menambahkan bahwa tekanan bisnis kilang memang nyata dirasakan di dalam negeri. Dari enam kilang yang ada dengan kapasitas desain sekitar 1,1 juta barel per hari, baru mampu memenuhi sekitar 60-70 persen kebutuhan BBM nasional. Rata-rata intake tahunan mencapai 330 juta barel dengan tingkat availability sekitar 83 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata benchmark industri global.
Meski demikian, menurut Fransetya, operasional kilang Pertamina masih menunjukkan tren positif berkat sejumlah langkah strategis. Antara lain melalui penerapan block mode di RU IV Cilacap yang mampu meningkatkan yield hingga 89,4 persen, optimasi pengadaan feedstock dengan harga lebih kompetitif, serta diversifikasi produk termasuk pengembangan biofuel, green diesel, hingga sustainable aviation fuel.
“Di sini memang produksi diharapkan menjadi produk yang lebih bernilai lagi dengan nilai jual yang lebih tinggi. Termasuk di antaranya adalah produk-produk untuk biofuel,” jelasnya.
Penulis: Natania Longdong
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































