tirto.id - “Pak, saya pertaruhkan nyawa di TNI, saya lebih TNI dari banyak TNI.”
Kalimat yang diucapkan Prabowo Subianto saat debat keempat calon presiden itu menyiratkan penegasan terhadap beberapa hal. Prabowo, dengan kata lain, adalah capres nasionalis (kedua capres saling memuji lawannya sebagai "nasionalis"); Prabowo adalah mantan perwira TNI yang paling tahu soal TNI; Prabowo adalah jenderal yang menilai dirinya paling tahu perang.
Tak ada keraguan untuk mengamini kiprah Prabowo saat di TNI. Terlepas dari kontroversi penculikan aktivis pada 1998, Prabowo adalah salah satu kader terbaik TNI saat itu, komplit dengan pengakuan atas prestasinya. Ia punya satu hal yang tidak dipunyai oleh banyak anggota TNI sekarang, yakni pengalaman perang.
Segala hal tentang TNI dalam diri Prabowo inilah yang digunakan untuk melawan Jokowi dalam debat keempat, 30 Maret kemarin. Tema debat tentang ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional adalah panggungnya. Dan Prabowo sadar hal itu.
Prabowo tampil dengan ofensif; ia menunjukkan emosinya. Dan khusus untuk isu pertahanan-keamanan, ia menyerang pemerintahan Jokowi yang disebutnya "terlalu lemah" dan anggaran yang "terlalu kecil."
“Di bidang pertahanan keamanan, kita terlalu lemah. Anggaran kita terlalu kecil. Ini akan kita perbaiki,” kata Prabowo saat menyampaikan visi dan misi.
Saat debat memasuki segmen ketiga, yang mengelaborasi tema pertahanan dan keamanan serta pemerintahan, menanggapi Prabowo yang menilai "pertahanan kita terlalu lemah", Jokowi menjawab lewat postur anggaran di Kementerian Pertahanan.
"Kita sekarang sudah Rp107 triliun, nomor dua setelah Kementerian Pekerjaan Umum. Artinya, perhatian kita terhadap pertahanan itu juga bukan main-main. Bahwa masih ada proses yang kurang, inilah yang harus kita perbaiki sebagai pemimpin," ujar Jokowi.
Tapi, Prabowo tak mengendurkan serangannya. Ia membalikkan pameran anggaran yang disebut Jokowi itu dengan berkata, "Maaf, Pak Jokowi, mungkin Pak Jokowi dapat briefing yang kurang tepat ... Jadi Rp107 triliun itu ya... 5 persen dari APBN kita, 0,8 persen dari GDP kita."
"Padahal Singapura itu anggaran pertahanannya 30 persen dari APBN, 3 persen dari GDP," lanjut Prabowo yang membandingkan anggaran pertahanan Indonesia dan Singapura—negara tetangga yang seukuran Jakarta.
Tak cuma menggunakan kesempatan itu untuk menyikat Jokowi, Prabowo juga menyerang orang-orang di sekitar Jokowi dengan sindirin budaya "ABS"—asal bapak senang.
“Saya pengalaman, Pak, di tentara. Budaya ABS banyak, Pak. Kalau ketemu panglima, ‘Siap, Pak. Aman semua, Pak. Terkendali, Pak. Radar cukup, Pak.'"
"Tidak benar, Pak [Jokowi]. Tidak benar," tambah Prabowo. "Saya tidak menyalahkan Bapak [Jokowi]. Ini budaya Indonesia—ABS. Mohon kita kaji pertahanan. Kita tidak mau mengancam siapa pun, tapi kita lemah, Pak."
Tahu diserang begitu, Jokowi menimpali saat ia mendapatkan giliran menanggapi, "Saya melihat Pak Prabowo tidak percaya pada TNI kita. Saya yang sipil, saya sangat percaya kepada TNI yang kita miliki."
Adagium 'Perang' dan Diplomasi 'Nice Guy'
Saat Jokowi menyampaikan bahwa investasi dalam bidang alat utama sistem senjata (alutsista) sebagai solusi menambal kekurangan anggaran pertahanan, serta menjelaskan "invasi dari negara lain ke negara kita dapat dikatakan tidak ada dalam waktu kurun 20 tahun," Prabowo hanya tersenyum.
Alih-alih mengadu gagasan soal persiapan alutsista, Prabowo menanggapinya untuk meledek Jokowi dan para pembisiknya.
“Pak, yang memberi briefing kepada bapak—aduh, aduh, aduh, aduh. Pak, siapa yang memberi briefing itu? [...] Dalam pertahanan keamanan, kita tidak boleh menganggap tidak akan ada perang,” ujar Prabowo.
Prabowo pun “menguliahi” Jokowi mengenai hal-hal terkait perang. Prabowo menjelaskan adagium 'Si vis pacem, para bellum', yang lazim dalam dunia militer.
“Artinya," kata Prabowo menerjemahkan slogan dari bahasa Latin itu, "Kalau menghendaki damai, siaplah untuk perang."
"Laut kita kaya, hutan kita kaya, negara-negara lain mengincar kekayaan kita, bagaimana kok ada briefing ke presiden, 'Dua puluh tahun tidak akan ada invasi?'” kata Prabowo, yang pernah terlibat pendudukan Indonesia ke Timor Timur.
“Kalau saya presidennya, saya ganti yang kasih briefing itu,” tambah Prabowo.
"Kuliah" Prabowo kepada Jokowi tak cuma itu. Sebelumnya, Prabowo menyitir adagium dari Thucydides, ahli sejarah Yunani 2.500 tahun lalu, 'The strong will do what they can, and the weak suffer what they must.’
"Yang kuat akan berbuat sekehendaknya, yang lemah harus menderita," kata Prabowo.
"Karena itu, saya menilai pertahanan Indonesia terlalu lemah. Jauh dari yang diharapkan. Kenapa? Karena kita tidak punya uang. Karena itu kita harus menjaga keuangan kita."
Prabowo tak cuma selesai dengan meledek Jokowi dan orang-orang di lingkaran dekat Jokowi.
Saat Jokowi mengumbar prestasi dan posisi tawar Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sebagai "kekuatan diplomasi dalam forum-forum internasional", Prabowo menyerang dari sisi lain.
Tanpa mengurangi prestasi Indonesia yang ditunjuk sebagai mediator dalam konflik di Negara Bagian Rakhine, Myanmar—yang menciptkan krisis pengungsi Rohingya di Asia Tenggara, Prabowo mengingatkan bahwa diplomasi tidak selesai hanya menjadi mediator.
“Ujungnya diplomasi itu harus merupakan bagian dari upaya mempertahankan kepentingan nasional. Dan untuk itu, diplomasi hanya bisa dan harus di-backup oleh kekuatan,” tegas Prabowo.
Prabowo pun meledek diplomasi yang dilakukan Jokowi adalah "diplomasi nice guy", yang hanya mengumbar senyum. “Diplomasi kalau hanya senyum-senyum, menjadi niceguy, ya begitu-begitu saja, Pak."
"Kalau ada armada asing masuk ke laut kita, apa yang kita bisa buat?" kata Prabowo. "Jadi bukan saya tidak percaya. Saya ini TNI, saya pertaruhkan nyawa di TNI, saya lebih TNI dari banyak TNI."
Hanya Itu yang Prabowo Punya
Pada ujung debat, Prabowo menyebut pengelolaan bandar udara dan pelabuhan oleh "perusahaan asing". Ia mengibaratkan pelabuhan dan bandara adalah "saluran napas suatu bangsa", dan bila suatu saat "tidak cocok dengan kepentingan nasional kita," ujarnya, "saluran napas kita bisa ditutup."
“Jadi masalah bandara bagi kami itu dalam strategi perang, bukan masalah dagang, bukan masalah ekonomi,” kata Prabowo, yang memakai paradigma militer.
Jokowi tak mau kalah. Ia menjawab bahwa "Prabowo terlalu sangat khawatir" atas investasi infrastruktur yang diberikan ke perusahaan swasta. "Karena anggaran kita yang terbatas, tentu saja kita mengundang investasi untuk berinvestasi di Indonesia," ujar Jokowi.
"Tetapi, dalam hal menyangkut kedaulatan, tidak akan kita berikan satu senti pun kedaulatan kita kepada negara lain," tegas Jokowi.
Tibalah giliran Jokowi yang "menguliahi" Prabowo soal investasi dan pembangunan infrastruktur. Ia menyebut hanya pelabuhan dan bandara komersial yang diperbolehkan untuk dikelola oleh "perusahaan asing" dalam rangka kepentingan investasi.
Investasi asing, termasuk di sektor operasional bandara dan maskapai, dibatasi maksimum 49 persen. BUMN seperti Pelindo tetap menguasai saham mayoritas di pelabuhan serta Angkasa Pura tetap mendominasi penguasaan dan pengelolaan bandara, ujar Jokowi.
"Dalam hal transfer of knowledge, transfer teknologi, transfer of management, transfer of system, kenapa tidak kita berpartner dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki kemampuan manajemen yang lebih baik?" kata Jokowi, retorik.
"Tetapi yang kita berikan sekali lagi bukan bandara-bandara strategis yang dipakai oleh Angkatan Udara kita, yang dipakai oleh Angkatan Laut kita, yang dipakai oleh Angkatan Darat kita," tambah Jokowi.
“Investasi seperti itu masih kita perlukan dalam rangka membangun infrastruktur di negara kita, yang sangat ketinggalan dari negara-negara lain sebab stok infrastruktur kita masih 37 persen sehingga biaya transportasi, biaya logistik kita menjadi sangat tinggi sekali,” kata Jokowi.
“Saya kira ini sangat berbeda sekali pandangan kita,” kata Jokowi, mengawali sesi "kuliah" itu kepada Prabowo.
Ucapan Jokowi itu benar. Ada perbedaan pandangan antara Jokowi dan Prabowo pada malam debat keempat Pilpres 2019.
Jokowi membahas pertahanan dan diplomasi tak hanya dalam kerangka militer dan masalah TNI, tetapi mengurai investasi dan aspek ekonomi dan teknologi dalam pertahanan dan diplomasi.
Sedangkan Prabowo masih dalam cara pandang militer: seorang mantan komandan jenderal Kopassus yang bertarung untuk menjadi seorang presiden.
Dan itu bukan pertama kali Prabowo menunjukkan diri sebagai tentara.
"Saya mantan prajurit, saya dikenal dulu keras, ya kan? Kalian banyak takut sama saya dulu, kan? Betul? Sekarang enggak, kan?" kata Prabowo di hadapan para pebisnis Tionghoa, Desember 2018.
“Aku jelek-jelek begini mantan prajurit,” kata Prabowo, Februari 2019.
“Saya jadi jenderal karena petani-petani Indonesia,” kata Prabowo, masih pada bulan Februari 2019.
“Saya lebih TNI dari banyak TNI,” kata Prabowo dalam debat kemarin malam.
Dan itu tidak salah. Karena hal-hal itu—sebagai mantan prajurit dan retorikanya soal perang, senjata, dan lain-lain—hanya itu yang Prabowo punya dan terus-terusan disampaikan dalam pelbagai kesempatan publik.
Editor: Fahri Salam