Menuju konten utama

'Dilan' dan Strategi Tipikal Jokowi pada Debat Keempat Pilpres

Joko Widodo masih memakai pola strategi debat yang sama, tapi debat keempat ini strategi itu tidak sukses-sukses amat.

'Dilan' dan Strategi Tipikal Jokowi pada Debat Keempat Pilpres
Capres nomor urut 01 Joko Widodo mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - “Di bidang pemerintahan, kita memerlukan pemerintahan DILAN, Digital Melayani.”

Dilan menjadi kata pamungkas pertama yang dilontarkan Joko Widodo pada sesi debat keempat Pilpres, Sabtu malam (30/3/2019). Hal itu ia kemukakan saat penjabaran visi misi pada debat bertemakan ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional.

Istilah Dilan, oleh Jokowi, merujuk pada trilogi film Dilan 1990 yang memang tengah menjadi perbincangan di masyarakat saat ini.

Itu adalah tipikal Jokowi. Ia menggunakan jargon-jargon kekinian demi menggaet pemilih muda, yang pada pemilu kali ini memiliki jumlah suara sekitar 40 persen.

Sejak awal, Jokowi paham isu pertahanan dan keamanan konvensional merupakan makanan rivalnya, Prabowo Subianto, dalam gelutan Pilpres 2019. Maka, ia memilih bermain dengan isu yang cukup relevan dengan pemerintahannya selama 4,5 tahun, yakni digitalisasi pemerintahan.

Dari segmen awal, secara konsisten, ia menyebut kualitas pelayanan yang lebih cepat dan tidak bertele-tele pada pemerintahannya, menanggalkan budaya birokrasi rumit khas Orde Baru. Bahkan, bidang pertahanan dan keamanan juga ia belokkan pada isu pertahanan negara berbasis siber. Jokowi diuntungkan lantaran hal itu memang relevan dengan situasi saat ini.

Sementara Prabowo masih memakai retorika lama sebagai mantan perwira TNI. Prabowo juga menawarkan penggemukan pos anggaran sebagai satu-satunya solusi atas kondisi pertahanan dan keamanan Indonesia yang dianggapnya "lemah."

Memuji Prestasi Sendiri

Pada debat keempat, Jokowi bermain pasif-agresif. Ia memainkan strategi tipikal yang dia lakukan pada debat-debat sebelumnya, baik pada Pilpres 2019 maupun Pilpres 2014.

Jokowi bermain dalam tataran teknis, mungkin demi mengecoh Prabowo yang selalu mengawang-awang dalam retorika. Misalnya saja, pada sesi debat terbuka, Jokowi menanyakan pendapat Prabowo mengenai kondisi di Rakhine tanpa menyebut Myanmar, bahkan Rohingya.

“Apa pendapat Bapak mengenai kondisi di Rakhine State?” tanya Jokowi singkat.

Agaknya Jokowi ingin mengulangi pola yang sama seperti yang ia terapkan pada debat kedua tempo lalu ketika menanyakan Prabowo soal startup Unicorn. Apes bagi Prabowo, ia menanggapinya saat itu justru dengan balik bertanya, "Unicorn itu yang online-online itu, ya?’"

Momen lain yang masih kita ingat saat debat Pilpres 2014 ketika Jokowi menyinggung akronim TPID kepada Prabowo tanpa menyebut kepanjangannya. Saat itu Prabowo menjawab, “Saya tidak hapal singkatan.” (TPID adalah kependekan dari Tim Pengendalian Inflasi Daerah.)

Maka, ada dua kemungkinan mengapa Jokowi masih menggunakan strategi yang sama. Pertama, memang untuk mengecoh Prabowo; dan kedua, mengesankan Prabowo tak paham isu.

Namun, dalam debat keempat, umpan lambung Jokowi tak dilahap mentah-mentah oleh Prabowo, yang nyatanya tahu mengenai konflik di Negara Bagian Rakhine di Myanmar.

“Kita ada masalah karena kita berada dalam perhimpunan ASEAN untuk menghormati kedaulatan masing-masing negara. Tapi jika PBB (Perhimpunan Bangsa Bangsa) saja sudah menilai ada genosida, saya kira perlu menggunakan pengaruh kita untuk segera menghentikan perlakuan tak adil untuk Rohingya,” jawab Prabowo.

Tujuan Jokowi atas pertanyaan-pertanyaan yang terlalu teknis itu mulai terjawab saat ia menanggapi jawaban Prabowo. Menyoal Rakhine State, Jokowi memang sedari awal berniat memamerkan peran Indonesia yang sudah berhasil menembus Rakhine, tempat mayoritas etnis Rohingya bermukim.

“Alhamdulillah desakan kita, tekanan kita terhadap Pemerintah Myanmar untuk segera menyelesaikan repatriasi di Cox's Bazar untuk kembali lagi ke Rakhine State itu mulai memberikan hasil,” beber Jokowi.

Pamer prestasi ini juga terlihat saat Jokowi menanyakan pendapat Prabowo soal Mall Pelayanan Publik. Dalam jawabannya, Prabowo mengakui efektivitas pelayanan satu pintu oleh Mall Pelayanan Publik, tapi di satu sisi, Prabowo tetap mengkritik soal transparansi.

“Kalau itu untuk pelayanan publik itu tidak masalah. Tapi inti saya adalah kembali lembaga-lembaga pemerintah itu harus bersih, tidak boleh korupsi besar-besaran. Kalau punya pelayanan sistem satu pintu, tapi political will penanganan korupsi tidak ditegakkan, ya tetap lemah,” sergah Prabowo, tetap ogah memuji program Jokowi sepenuhnya.

Jokowi agaknya sudah memperhitungkan penyangkalan yang akan dilakukan Prabowo. Maka, sebagai serangan balasan, ia kemudian memulai klaim mengenai keunggulan Mall Pelayanan Publik.

“Pelayanan cepat dan sudah ada di 13 kota.”

“Kalau dulu ngurus satu izin butuh enam bulan. Sekarang, enam izin bisa selesai tiga jam.”

Demikian klaim-klaim Jokowi.

Dalam debat maupun kampanye, pamer dan klaim prestasi, khususnya untuk petahana, merupakan hal yang sah-sah saja dalam sabung politik. Namun, pertanyaan Jokowi yang terlalu teknis hanya menampilkan sepotong atas situasi pemerintahannya.

Padahal, seyogyanya, pertanyaan dalam debat terbuka harus mampu mengungkap visi misi serta pandangan kandidat capres dalam tataran konsep yang lebih makro, alih-alih hanya sekadar pamer prestasi.

Infografik HL Indepth Debat Pilpres 4

Infografik Jokowi dalam debat keempat. tirto.id/Lugas

Amunisi yang Tak Dipakai Jokowi

Dalam debat keempat, Jokowi punya amunisi untuk melakukan serangan balik terhadap Prabowo. Tapi hal itu tidak dia pakai. Padahal Prabowo terus melakukan manuver konsisten dengan argumen yang tidak ajeg, sehingga seharusnya serangan berikutnya lebih mudah terbaca dan bisa diantisipasi.

Misalnya, Prabowo terus-menerus menyebut kekayaan negara Indonesia yang diklaimnya mengalir ke luar negeri.

“Masalah bangsa ini adalah kekayaan kita tidak tinggal di Indonesia,” kata Prabowo, mantap.

Andai Jokowi tahu, ia seharusnya bisa menyinggung nama Prabowo Subianto dan cawapres Sandiaga Uno sebagai pengusaha yang namanya masuk dalam Paradise Papers. Nama Prabowo Subianto tertera pada salah satu dokumen yang dirilis International Consorsium of Investigative Journalist (ICIJ).

Dokumen itu menyebut Prabowo pernah menjadi direktur dan wakil ketua Nusantara Energy Resources, sebuah perusahaan yang terdaftar di Bermuda, salah satu suaka pajak di dunia.

Sebuah uppercut telak dan tentunya bisa membungkam Prabowo, setidaknya hingga segmen terakhir, untuk tidak lagi membicarakan aliran dana ke luar negeri.

Alih-alih melakukan serangan balik secara efektif dan konseptual, Jokowi justru menanggapi jawaban-jawaban Prabowo secara impulsif. Hal ini terlihat saat Prabowo memaparkan strateginya dalam menanamkan ideologi Pancasila kepada generasi saat ini.

“Kita harus memasukkan Pancasila ke dalam pendidikan bangsa kita, dari kecil, dari awal, dari usia dini, Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, SMA. Bukan dalam indoktrinasi, tetapi edukasi,” papar Prabowo.

Seolah tak mau kalah konyol, Jokowi malah menanggapi jawaban Prabowo dengan: edukasi Pancasila bukan sejak TK tapi dari PAUD.

Sebuah jawaban yang, tidak hanya impulsif, tapi juga tidak mempertimbangkan apa urgensinya seorang anak berumur 18 bulan, usia standar masuk PAUD, sudah harus mulai mempelajari sebuah ideologi.

Respons impulsif lain adalah ketika Prabowo mengeluhkan dirinya yang kerap dituduh mendukung khilafah oleh pendukung Jokowi. Alih-alih menjawab keluhan Prabowo yang sedang bermain sebagai korban, Jokowi justru latah terseret permainan rivalnya itu.

“Saya 4,5 tahun dituduh PKI. Tapi saya diam-diam saja,” ujar Jokowi, mengeluh juga pada akhirnya.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Politik
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam