Menuju konten utama

TNI Tak Sekuat Bayangan Jokowi, Tak Selemah Bayangan Prabowo

Jokowi maupun Prabowo menggambarkan kekuatan TNI dalam situasi ekstrem, memainkan retorika politik, bukan analisis berbasis realitas.

TNI Tak Sekuat Bayangan Jokowi, Tak Selemah Bayangan Prabowo
Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto berjabat tangan saat mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Dengan suara meninggi, Prabowo Subianto menghardik audiens debat yang duduk di bawah podium.

"Kenapa kalian ketawa? Pertahanan Indonesia rapuh, kalian ketawa. Lucu, ya. Kok, lucu?"

Itu adalah momen saat Prabowo meluapkan emosinya. Padahal, pada dua debat sebelumnya, ia tak pernah mencoba berinteraksi dengan audiens debat.

Sebagai seorang pensiunan jenderal, Prabowo menilai dirinya tahu masalah pertahanan dan keamanan negara, salah satu topik pembahasan dalam debat keempat Pilpres di Hotel Shangri-La, Sabtu malam (30/3).

Prabowo blak-blakan mengatakan pertahanan Indonesia "sangat rapuh dan lemah". Ia merujuk pada ketersediaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang menurutnya masih tertinggal ketimbang negara lain.

Kesalahan Memakai Data GFP sebagai Penguat Argumen

Pernyataan Prabowo tak sepenuhnya benar dan tak semuanya salah, tergantung konteks yang ingin kita pandang.

Jika merujuk hasil survei Global Firepower (GFP), Indonesia memang berada di peringkat 15 sebagai negara dengan kekuatan militer terbaik di dunia, atau terbaik nomor satu di ASEAN.

Angka itu didapatkan dari menghitung jumlah personel dan alutsista yang dimiliki Indonesia. Data GFP dipakai kubu Jokowi untuk menyerang balik kubu Prabowo, hendak membuktikan bahwa klaim Prabowo keliru.

Masalahnya, survei GFP yang dipakai kubu Jokowi sering dianggap bermasalah oleh para analis militer. GFP hanya menghitung angka secara kasat mata, tanpa melihat konteks apa yang dihitung.

GFP sering menempatkan satu negara yang memiliki 100-an tank usang peninggalan Soviet akan mendapatkan posisi lebih tinggi ketimbang negara yang mempunyai 90 tank modern.

Metode statistik yang serba pukul rata itu membuat posisi Indonesia, menurut GFP, bisa lebih tinggi ketimbang Israel.

Apakah adil jika membandingkan tank AMX-13 milik TNI AD, yang pernah dipakai pada Operasi Trikora pada 1960-an, disamakan dengan Tank Merkava milik Israel yang diproduksi tahun 2000-an?

Atau, Jet F-35 milik Singapura bikinan tahun 2015 dan F-5 milik Indonesia buatan 1965 yang tetap dihitung sebagai satu jenis jet yang sama?

Evan Laksmana, peneltiti CSIS Indonesia, menyebut kelemahan GFP bukan hanya kualitas data tapi jumlah 55 indikatornya dianggap terlalu banyak.

Menurut Evan, secara statistik dan metodologi, survei GFP itu sangat bermasalah. "GFP menurut peneliti-peneliti militer, termasuk saya, memang indeks tidak berguna," katanya kepada Tirto.

Masalah lain adalah GFP tak pernah memapar sumber data, indikator yang tak dijabarkan secara rinci, termasuk pemilik situs dan siapa di belakang mereka.

"Jadi ini semacam website semi-hoaks!" kata Evan.

Mengurutkan kekuatan militer sebuah negara yang hanya berpatok pada alutsista, kata Evan, amat tak berguna.

"Dalam sebuah perang tertentu, kualitas SDM, dukungan politik, sumber daya ekonomi, kekuatan diplomasi, dan lain-lain semuanya menjadi penting," ucapnya.

Keberadaan alutsista canggih dan modern memang penting, tapi hal itu mesti dibarengi dengan efektivitas militer yang mumpuni. Ibaratnya, saat seseorang memiliki mobil Ferarri, ia tidak serta merta menjadikannya pembalap hebat. Maka, menghitung kekuatan pertahanan sebuah negara perlu pula memasukkan variabel seperti pengalaman tempur, moral prajurit, dan sebagainya.

Maju atau mundurnya militer sebuah negara bisa dipatok dari riset tersebut. Namun, kata Evan, menjawab efektivitas militer bukan pertanyaan mudah sebab literatur risetnya tidak bisa konklusif.

Mayoritas periset biasanya membagi efektivitas militer ke dalam dua kelompok.

Pertama, mereka yang fokus pada operasi tempur dalam perang (menghitung seberapa banyak pasukan yang tewas dibandingkan pasukan musuh); dan kedua, mereka yang fokus pada efektivitas non-tempur—biasanya mengukur integrasi dan kemampuan serta seberapa responsif dan kualitas pertahanan.

Infografik HL Indepth Debat Pilpres 4

Infografik Debat ke-4 Pilpres soal pertahanan dan keamanan. tirto.id/Lugas

Mempertanyakan Kesiapan TNI terhadap Ancaman Perang

Namun, ketimbang mengukur efektivitas militer yang cenderung kompleks, hal termudah yang bisa disorot atas kapasitas TNI adalah kemampuan kesiapan (readiness) TNI menghadapi ancaman perang.

Curie Maharani Savitiri, koordinator Penelitian untuk Transformasi Pertahanan di Pokja 8, menyebut kesiapan TNI bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pemenuhan TOPP (tabel organisasi, personel, peralatan) atau MEF (Minimum Essential Force; proses modernisasi alutsista Indonesia sejak 2007).

"Kalau TOPP dari segi personel masih kurang," ujar Curie. "Kita masih butuh 500 ribu personel lebih. Kekosongannya ada di level bintara-tamtama."

"Kalau alutsista saja, berdasarkan laporan Kementerian Pertahanan, sudah on the track pemenuhan MEF II, 61,80 persen tahun ini," tambahnya.

Curie memuji estafet yang dilakukan Jokowi sudah cukup baik, terutama pemenuhan alutsista produksi dalam negeri. Ia menyebut akan jadi hal semu jika kesiapan TNI tinggi tapi semua alutsista impor.

"Zaman SBY tahun 2014 itu 28 persen, sekarang nyaris 50 persen. Artinya, kita makin mandiri," kata Curie.

"Kalau mengejar kemandirian seperti sekarang, risikonya memang bisa telat penuhi kebutuhan alutsista. Karena industri perlu waktu membangun kemampuan," jelasnya.

Kesiapan itu tak semata terkait personel dan alutsista baru, tapi juga soal progresi alutsista dan personal TNI saat ini.

"Sejauh ini pejabat TNI saat menjabarkan readiness tak pernah secara spesifik. Mereka selalu mengatakan readiness alutsista yang kita miliki sekitar 70-90 persen," kata Evan Laksmana dari CSIS.

Meski angka yang disebut pejabat TNI itu tak bisa dikonfirmasi dengan data yang solid, tapi persentase 70-90 persen itu lebih baik ketimbang pada tahun 2000-an saat kesiapan operasional mayoritas alutsista TNI berkisar 40-60 persen.

Yang mesti disorot adalah, dari 70-90 persen yang siap itu, di manakah aspek alutsista yang readiness-nya lebih rendah atau mana yang lebih tinggi? Misalnya, apakah armada logistik dan transportasi kita lebih "siap" ketimbang armada tempur?

Hal lain yang mesti disorot adalah kemampuan memelihara, merawat, dan melatih personel yang nanti jadi operator untuk menjaga kesiapan dalam jangka panjang.

Sampai tulisan ini dirils, Kapuspen TNI Mayjen Sisriadi belum menjawab pertanyaan Tirto.

Anggota Komisi 1 DPR Sukamta dari PKS, menilai kesiapan tempur TNI masih belum optimal karena terganjal anggaran.

"Belakangan tidak mendapatkan prioritas cukup. Anggaran kebutuhan MEF hanya 42 persen dari kebutuhan riil. Akibatnya, SDM dan organisasi tidak optimal sehingga mengembangkan TNI yang profesional jadi terhambat," menurut Sukamta.

Masalah lain adalah soal kesejahteraan prajurit. Masalah elementer ini turut andil memengaruhi kesiapan TNI saat terjadi perang.

"Punya pengaruh tapi tidak langsung ke kesiapan tempur. Kesejahteraan berpengaruh kepada kondisi mental, dan kondisi mental ini berpengaruh besar kepada kesiapan tempur dan moral prajurit," ucap Diandra Megaputri Mengko, peneliti politik dari LIPI, kepada Tirto.

Curie Maharani pernah meriset perbandingan manfaat yang diterima personel pada level kolonel di Indonesia, Filipina, India, dan Singapura. Riset kecil membandingkan gaji, tunjangan, perumahan, dan uang pensiun.

"Konklusinya, kesejahteraan prajurit kita masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara tetangga," katanya.

Padahal, jika mengacu pada slot anggaran, Kementerian Pertahanan mendapatkan kue APBN kedua terbesar setelah Kementerian Pekerjaan Umum.

Pada APBN 2019, Kemenhan mendapat alokasi Rp108,36 triliun. Dan, biasanya distribusi untuk gaji prajurit dan pegawai menghabiskan 40-45 persen anggaran.

"Distribusi anggaran pertahanan yang berat ke belanja pegawai itu tidak terhindarkan. Sebab, di zaman Jokowi, prioritas ada pada kesejahteraan prajurit dan alutsista atau belanja modal. Tapi, menurut data saya, spending pegawai sudah di bawah 50 persen. Malah seingat saya dulu sampai 60 persen," ujar Curie.

Meski begitu, Sukamta menilai slot itu masih kurang. "Issue yang dikeluarkan panglima TNI agar TNI bisa menempati jabatan sipil salah satunya karena situasi ini. Organisasi tidak berkembang karena anggaran kurang. Begitu pula SDM-nya," ucapnya.

Seberapa Kuat Militer Kita Sebenarnya?

Dalam debat capres, Prabowo dan Jokowi menggambarkan dua situasi ekstrem dan ideal tentang TNI: Prabowo menganggap TNI itu lemah; Jokowi yakin bahwa TNI itu kuat.

Evan Laksmana dari CSIS menilai hal itu adalah retorika politik dari para paslon, bukan analis mendalam soal kesiapan militer yang realistis.

"Realitasnya, kekuatan militer kita ada di tengah-tengah, enggak terlalu 'kuat' jika mesti dihadapkan dengan Cina, Jepang, India atau Australia, tapi juga enggak terlalu 'lemah' seolah-olah kita tak punya kekuatan apa-apa," ucapnya.

Argumen sama dikatakan Curie Maharani. Peraih gelar Phd dari Cranfield University dengan disertasi industri pertahanan Indonesia ini menyebut aspek hankam di Indonesia cukup kompleks.

"Kalau dibilang lemah, apanya yang lemah? Tantangan geografis kita kompleks banget dengan porous borders dan banyak pulau," katanya.

Tapi, pemerintah, menutur Curie, sudah on the track melakukan langkah tepat mengurangi kelemahan itu.

Di antaranya dengan meningkatkan kapabilitas surveillance yang diperkuat untuk memonitor semua ruang udara dan maritim. Tak hanya itu, kapabilitas intercept dan kekuatan pemukul kini sudah diperkuat sehingga tak hanya bisa mendeteksi musuh yang masuk wilayah Indonesia tapi juga bisa dicegat dan dipukul mundur, menurut Curie.

Salah satu dinamika regional yang sudah dilakukan adalah membangun satuan baru di Indonesia timur. "Rencana penguatan pangkalan AS dan Australia di Papua Nugini itu tetap kita pantau. Kita saat ini sedang membangun satuan-satuan baru di wilayah timur, dengan pangkalan garis depan yang bisa berfungsi menyerang," menurut Curie.

====

Judul diubah dari semula 'Kekuatan TNI tak sekuat bayangan Jokowi, selemah bayangan Prabowo'

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam