tirto.id - Kabupaten Belu jadi tempat kunjungan calon presiden (capres) Prabowo Subianto, Kamis (27/12). Kabupaten tersebut terletak di perbatasan antara Indonesia dan wilayah yang dulu dicaploknya dari 1974 hingga 1999, Timor Leste.
Karena faktor geografis, Belu jadi tempat mengungsi kelompok pro-integrasi Timor Timur (Timtim) yang memihak Indonesia. Mereka pergi ke sana setelah referendum yang diselenggarakan pada Agustus 1999 menunjukkan mayoritas masyarakat Timor Leste ingin merdeka dari Indonesia.
Di Belu, Prabowo bertemu kelompok pro-integrasi dan mengatakan bahwa elite di Jakarta tidak memahami perjuangan dan pengorbanan mereka.
"Banyak elite-elite di Jakarta tidak mengerti tidak paham perjuangan dan pengorbanan saudara-saudara sekalian. Jangankan pengorbanan saudara-saudara, penderitaan rakyat Indonesia di tempat lain, bahkan di ibukota sendiri mereka tidak mengerti, bahkan tidak paham atau pura-pura tidak paham," ujar Prabowo.
Ucapan Prabowo mendapat tanggapan dingin dari kubu Jokowi-Maruf. Sekjen Nasdem Johnny G Plate menyatakan Presiden Jokowi dan presiden sebelumnya telah memberikan perhatian kepada kelompok pro-integrasi. Klaim serupa juga dikatakan Sekjen PPP Arsul Sani. Arsul menyatakan pembangunan yang dilaksanakan Jokowi empat tahun terakhir memberikan dampak positif secara sosial-ekonomi kepada seluruh masyarakat di Belu.
Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 di Belu, Prabowo mendulang suara sedikit lebih banyak daripada Joko Widodo (Jokowi). Didampingi calon wakil presiden (cawapres) Hatta Rajasa, Prabowo memperoleh 44.107 suara. Sedangkan Jokowi yang didampingi cawapres Jusuf Kalla (JK) memperoleh 36.754 suara.
Keduanya bertarung lagi dengan didampingi cawapres yang berbeda pada Pilpres 2019. Menyapa kelompok pro-integrasi nampaknya jadi cara Prabowo menarik simpati guna mendulang suara tahun depan. Pada Pilpres 2014, kelompok pro-integrasi dari keluarga Borromeo menyatakan dukungan kepada Prabowo.
Pada awal Oktober silam, diprakarsai Octavio Osario Soares, sejumlah tokoh pro-integrasi juga menyatakan dukungan kepada mantan danjen Kopassus ini. Mereka juga merekrut relawan yang tergabung dalam Peleton Khusus Prabowo-Sandi bernomor 02 (Tonus-Ps02). Tugas regu relawan ini adalah mengabarkan kiprah Prabowo di Timor Timur.
Namun, apa yang disebut Prabowo sebagai "perjuangan" dan "pengorbanan" kelompok pro-integrasi telah menutupi-nutupi fakta bahwa kelompok pro-integrasi dan TNI adalah bagian dari periode penuh kekerasan di Timor Leste pasca-referendum 1999.
Proksi Bentukan TNI
Rakyat Timor Leste menentang kekuasan Indonesia sejak Orde Baru menyerbu masuk melalui Operasi Seroja. Setelah Orde Baru runtuh pada Mei 1998, kemerdekaan Timor Leste semakin marak disuarakan lewat pelbagai demonstrasi, diplomasi, bahkan aksi peretasan situsweb milik pemerintah Indonesia.
Pada Juli 1998, Presiden B.J. Habibie mengumumkan pemerintah akan memberikan otonomi khusus kepada Timor Leste dengan syarat tetap mengakui kedaulatan Indonesia. Kemudian, pada 27 Januari 1999, ia menyatakan rakyat Timor Leste akan diberi kesempatan untuk memilih untuk tetap jadi bagian Indonesia atau merdeka melalui referendum.
Perlawanan Timor Leste pada 1999 dipayungi Conselho Nacional da Resistência Timorense (CNRT), organisasi yang dibentuk pada 1998 serta memayungi organisasi politik dan pasukan bersenjata pro-kemerdekaan Timor Leste. Di pihak Indonesia, terutama Tentara Nasional Indonesia (TNI), berusaha keras (termasuk dengan kekerasan) agar Timor Timur tetap menjadi provinsi ke-27 Indonesia.
Pada 27 Januari 1999, Front Persatuan Demokratik dan Keadilan (FPDK) dibentuk. Organisasi tersebut bertujuan meyakinkan orang Timor Timur untuk menerima otonomi. Pada 20 Mei 1999, Barisan Rakyat Timor Timur (BRTT) didirikan untuk memayungi semua organisasi pro-otonomi. Kedua organisasi itu kemudian dilebur dalam Front Bersama Pro-Otonomi Timor Timur (FBPOTT) atas rekomendasi Menteri Pertahanan/Panglima TNI yang kala itu dijabat Jenderal Wiranto.
Kelompok-kelompok milisi yang memperjuangkan pro-otonomi dengan angkat senjata juga didirikan. Laporan AKhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste (KKP) mencatat ada 10 organisasi bersenjata pro-otonomi, misalnya Aitarak yang beroperasi di Dili hingga Besi Merah Putih (BMP) yang beroperasi di Liquiça. Milisi-milisi ini lalu membentuk organisasi kolektif bernama Pasukan Pejuang Integrasi (PPI).
Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Timor Timur (KPP HAM) menunjukkan telah terjadi pembunuhan, penyiksaan dan penindasan, penghilangan paksa, pemindahan paksa, hingga kekerasan berbasis gender yang melibatkan milisi pro-integrasi, militer, atau kepolisian Indonesia di Timor Leste selama 1999. Berdasarkan analisis pola serta cakupan rentang waktu dan geografis yang luas, KPP HAM menyatakan kasus-kasus ini sebagai serangan luas dan sistematis terhadap penduduk sipil yang dilakukan pihak-pihak yang memiliki kesamaan identitas, sehingga pantas disebut kejahatan HAM berat.
Menurut KPP HAM, sekurang-kurangnya ada 14 kasus utama serangan meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil pada 1999. Sebagai contoh, milisi BMP menyerang pengungsi yang berlindung di sebuah gereja di Liquica pada 6 April 1999. Akibat aksi ini, 25 orang tewas.
Pada 17 April 1999, 13 orang di Dili tewas karena serangan milisi Aitarak. Pada 6 Juni 1999, 23 perempuan ditahan milisi BMP dekat Gugleur, Liquiça. Perempuan itu dipaksa memasak dan mencuci untuk milisi. Mereka juga dijadikan sasaran kekerasan seksual.
KPP HAM menyebutkan bahwa petinggi TNI saat itu setidaknya mengetahui besarnya milisi pro-otonomi dan memberikan dukungan moral kepada mereka. Hal ini bisa diketahui dari Rencana Darurat yang disusun Wiranto beserta surat Panglima TNI tersebut yang dikirim ke Menkopolkam bertanggal 15 Juni 1999.
Komisi tersebut juga menunjukkan keterlibatan TNI dalam aktivitas-aktivitas milisi. Pertama, TNI masuk struktur kepemimpinan milisi pro-otonomi. Misalnya, sebanyak 25 Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan 25 Binpolda masuk jajaran Pamswakarsa Dili.
Kedua, TNI memberi dukungan fasilitas. TNI, misalnya, mendorong kelompok milisi pro-otonomi untuk mengumpulkan massa di 13 kabupaten di Timor Timur. Inilah apel terbesar yang pernah digelar di depan kantor gubernur Dili, 17 April 1999. Markas-markas milisi juga berlokasi di Markas Komando Distrik Militer (Kodim) atau Komando Rayon Militer (Koramil). Selain itu, TNI membolehkan milisi menggunakan senjata miliknya.
Dua hari setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan hasil referendum yang menyatakan 78,5 persen warga Timor Timur menolak otonomi (04/09/1999), Wiranto mengutarakan opsi Timor Timur dijadikan wilayah darurat militer. Usulan itu ditentang. Pada 19 Oktober 1999, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menerima hasil referendum dan memutuskan untuk melepas Timor Timur.
Namun, setelah pengumuman hasil referendum, kerusuhan memuncak di Bumi Lorosae. Dili dan kota lainnya dibakar. Sekitar 1000 orang tewas, 70 persen fasilitas umum rusak dan rumah-rumah hancur. Ratusan ribu pengungsi bergelombang menyeberang ke Timor bagian barat yang secara administrasif masuk ke dalam provinsi NTT. Banyak dari mereka terpaksa ikut eksodus bersama milisi pro-otonomi. Amnesty International memperkirakan jumlah pengungsi mencapai 250 ribu orang pada akhir 1999.
Laporan khusus CNN Indonesia pada 2016 menyatakan bahwa sekarang ada 104.436 pengungsi yang tinggal di Timor bagian Barat. Sebanyak 70.453 di antaranya tinggal di Kabupaten Belu; 11.176 di Timor Tengah Utara; dan 11.360 orang di Kupang.
Orang-orang inilah yang disapa Prabowo. Mereka yang pergi meninggalkan tanah kelahirannya karena konflik yang diciptakan mertuanya, Soeharto.
Editor: Windu Jusuf