tirto.id - Tanggal 30 Agustus 1999, ketika perpolitikan Indonesia masih terguncang pasca-tumbangnya Orde Baru, digelar referendum di Timor Timur di bawah perjanjian yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara Indonesia dan Portugal. Hasilnya, Timtim lepas dari NKRI. Peristiwa sejarah ini sempat diungkit oleh calon presiden (capres) Prabowo Subianto.
Prabowo berkunjung ke Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Kamis (27/12/2018) lalu. "Banyak elite-elite di Jakarta tidak mengerti tidak paham perjuangan dan pengorbanan saudara saudara sekalian," lantangnya di depan para mantan pejuang pro-integrasi dan Seroja Timor Timur dalam kesempatan itu.
"Jangankan pengorbanan saudara-saudara, penderitaan rakyat Indonesia di tempat lain, bahkan di ibu kota sendiri mereka tidak mengerti, bahkan tidak paham atau pura-pura tidak paham,” imbuh capres rival Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019 ini.
“Saya masih ingat apa yang terjadi kepada kalian. Kalian berkorban segala-galanya, nyawamu, keluargamu, hartamu, tanahmu, tapi kau masih tetap setia kepada Republik Indonesia ini, dan saya ingin pengorbanan kalian menjadi contoh bagi bangsa ini,” lanjut Prabowo.
Lantas, bagaimana ceritanya Timor Timur bisa lepas dari NKRI?
Timor Timur adalah bekas koloni Portugis yang kemudian bergabung dengan Indonesia. Integrasi itu diresmikan pada 17 Juli 1976. Timor Timur pun menjadi provinsi ke-27 alias provinsi termuda RI.
Setelah 22 tahun di bawah rezim Soeharto, Presiden RI ke-2 yang pernah menjadi mertua Prabowo, sebagian rakyat Timor Timur berkeinginan lepas dari NKRI. Setelah melalui penentuan pendapat rakyat tanggal 30 Oktober 1999, NKRI kehilangan Timor Timur yang kemudian resmi menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002.
Berikut ini kronologi pisahnya Timor Timur dan NKRI, dirangkum dari buku Timor Timur Satu Menit Terakhir (2008) suntingan August Parengkuan dan kawan-kawan:
19 Desember 1998
Perdana Menteri Australia, John Howard, mengirim surat kepada Presiden B.J. Habibie. Howard mengusulkan agar pemerintah RI meninjau ulang pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Timor Timur.
25 Januari 1999
Digelar rapat untuk membahas surat Howard. “Tolong dipelajari. Apakah setelah 22 tahun bergabung dengan Indonesia, masyarakat Timtim masih merasa belum cukup bersatu dengan kita. Bagaimana kalau kita pisah baik-baik saja melalui Sidang Umum MPR?” kata Presiden Habibie waktu itu.
27 Januari 1999
Ali Alatas selaku Menteri Luar Negeri RI mengumumkan menawarkan opsi otonomi khusus yang sangat diperluas kepada Timor Timur. Jika ditolak, maka pemerintah Indonesia akan merelakan Timor Timur. Sempat terjadi pro-kontra di internal kabinet saat itu.
Maret-April 1999
Terjadi serangkaian peristiwa menegangkan di Timor Timur, antara lain eksodus massal warga pendatang, kekerasan di Gereja Liquica yang menyebabkan ratusan orang harus mengungsi, hingga kerusuhan besar di Dili yang menelan korban jiwa.
21 April 1999
Kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan menandatangani kesepakatan damai di kediaman Uskup Belo dengan disaksikan langsung oleh Menhankam/Pangab Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto, serta beberapa tokoh lainnya.
27 April 1999
Presiden Habibie menggelar pertemuan dengan John Howard. Habibie mengungkapkan akan melaksanakan penentuan pendapat untuk mengetahui kemauan rakyat Timor Timur.
5 Mei 1999
Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Portugal Jaime Gama, bersama Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani kesepakatan pelaksanaan penentuan pendapat rakyat Timor Timur di Markas PBB New York. Dua hari kemudian, Sidang Umum PBB menerima dengan bulat hasil kesepakatan itu.
17 Mei 1999
Presiden Habibie mengeluarkan Kepres No.43/1999 tentang Tim Pengamanan Persetujuan RI-Portugal tentang Timor Timur, kemudian dikuatkan dengan Inpres No.5/1999 tentang Langkah Pemantapan Persetujuan RI-Portugal.
16-18 Juni 1999
Perwakilan kelompok pro-otonomi dan pro-kemerdekaan Timor Timur bertemu di Jakarta. Kedua kubu mereka sepakat menyerahkan senjata kepada PBB atau pemerintah RI.
30 Agustus 1999
Setelah terjadi serangkaian konflik, penentuan pendapat rakyat Timor Timur dilaksanakan. PBB mengumumkan hasilnya: 78,5 persen menolak otonomi, 21 persen menerima otonomi, sisanya tidak sah. Dengan demikian, Timor Timur dipastikan bakal segera lepas dari NKRI.
26 Oktober 1999
Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menggantikan Habibie, menandatangani surat keputusan pembentukan UNTAET atau pemerintahan transisi di Timor Timur.
30 Oktober 1999
Bendera Merah Putih diturunkan dari Timor Timur dalam upacara yang sangat sederhana. Media dilarang meliput acara ini, kecuali RTP Portugal.
20 Mei 2002
Timor Timur resmi menjadi negara merdeka bernama Timor Leste.
Editor: Agung DH