tirto.id - Presiden Timor Leste Francisco Guterres Lu Ollo bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Kamis (28/6/2018). Kedua belah pihak sepakat untuk meningkatkan kerja sama ekonomi. Kunjungan ini menjadi penting karena Indonesia merupakan mitra dagang utama Timor Leste. Sebanyak 9 BUMN Indonesia dan sekitar 400 perusahaan WNI beroperasi di negara yang pernah menjadi bagian dari Indonesia itu.
Pada 20 Mei lalu, tepat 16 tahun silam, Republica Democratica de Timor Leste atau Republik Demokratik Timor Leste, resmi sebagai negara yang berdaulat. Saat status jadi negara merdeka tersemat, Timor Leste menjadi salah satu negara termiskin.
Kantor berita Portugal, LUSA, sempat menulis kondisi Timor Leste saat awal merdeka. Makanan sederhana di restoran di Ibu kota Timor Leste, Dili, dibanderol dengan $13 dan secangkir kopi lebih dari $1. Padahal, sebagian besar masyarakat hidup dengan tidak lebih dari 50 sen setiap hari.
“Kota ini tidak memiliki penerangan jalan dan sangat banyak rumah yang hancur. Di luar Dili, kondisinya lebih buruk,” tulis kantor berita LUSA.
Saat itu, Timor Leste memiliki pendapatan per kapita kurang dari $350 lebih rendah dibanding Indonesia pada tahun yang sama. Laporan United Nations Development Programme (UNDP) dalam National Human Development Report 2002 (PDF) menyebutkan, Timor Leste berada di peringkat 152 negara termiskin di dunia dari 162 negara.
Berbagai masalah terkait ekonomi seperti tingginya angka kemiskinan, tingginya angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk, minimnya lapangan kerja, dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, melanda Timor Leste pada masa awal Timor Leste lahir. Angka kemiskinan di Dili naik 200 persen akibat tingginya harga dan juga kelangkaan barang, setelah kekacauan terjadi. Hancurnya infrastruktur fisik menjadi salah satu penyebab kelangkaan barang di Timor Leste.
Jaringan transportasi dan komunikasi runtuh, sebelum pada akhirnya seluruh layanan administrasi publik menjadi tidak berfungsi. “Negara tidak memiliki pemerintahan, administrasi, polisi, kehakiman serta militer, dan bantuan yang luas diperlukan dalam upaya pemulihan. Negara-negara donor menjanjikan dana bantuan lebih dari $523 juta selama tiga tahun, untuk membangun kembali Timor Leste ,” tulis UNDP dalam laporannya (PDF).
Dalam laporan itu juga disebutkan, indeks kemiskinan Timor Leste (PDF) secara keseluruhan sebesar 39,7 persen atau dengan kata lain, dua dari lima orang di Timor Leste tidak mampu memenuhi persyaratan konsumsi pangan dan non-pangan. Kegagalan konsumsi rata-rata masyarakat Timor Leste saat itu mencapai 11,9 persen dengan pendapatan minimum yang didapat sebesar $1,84 per orang per bulan.
Dari sisi pendapatan negara, sejak 1999 Timor Leste menggantungkan diri kepada bantuan dari sedikitnya 50 negara pendonor dan lembaga internasional lainnya, dengan total nilai bantuan mencapai $253 juta selama tiga tahun. Dana ini dialokasikan untuk membayar biaya administrasi pemerintah termasuk untuk proyek pengembangan kapasitas sumber daya manusia.
Dukungan eksternal ini membantu menstimulasi pertumbuhan ekonomi di Timor Leste. Berkat bantuan internasional, pertumbuhan ekonomi negara ini pada 2000, 2001 dan 2002, tumbuh masing-masing 50 persen, 15 persen dan 15 persen. Pada 2002, pemerintahan muda di negara baru ini menyusun undang-undang investasi asing sebagai regulasi terhadap perusahaan-perusahaan internasional.
Jumlah dana investasi asing langsung yang masuk ke Timor Leste pada tahun pertama menerima investor asing sebesar $942.000. Angka ini naik sampai dengan nyaris 400 persen pada 2003, karena Timor Leste menerima dana investasi asing sampai dengan $4,52 juta. Namun, pada 2004, Timor Leste “puasa” dari kucuran dana asing, lantaran tak sepeserpun dana investasi yang masuk.
Pada 2005, arus investasi asing yang masuk bahkan lebih kecil dibanding tahun 2002, yaitu hanya sebesar $908.000. Investasi asing di Timor Leste mencapai puncaknya pada tahun 2013 dengan aliran dana yang masuk mencapai $55,86 juta. Namun pada 2016, investasi asing di Timor Leste terjun bebas dan hanya meraup dana sebesar $5,48 juta.
Tren investasi asing mengalami penurunan sejak kuartal I-2015 sampai dengan akhir 2017. Pada 2015, investasi asing di Timor Leste sebesar $42,99 juta atau setara 2,68 persen dari PDB dan turun menjadi $5,48 juta atau setara 0,31 persen PDB pada 2016. Cina menjadi salah satu negara yang berinvestasi di Timor Leste, selain Amerika Serikat (AS), Australia, dan Indonesia.
Campur Tangan Cina
Pada September 2016, Kementerian Keuangan Timor Leste bergabung dengan Asian Infrastructure Investment Bank yang berbasis di Beijing, guna memperkuat hubungan diplomatik kedua negara. Dalam beberapa tahun terakhir Cina telah membangun gedung-gedung perkantoran untuk Kementerian Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Pasukan Pertahanan, serta Istana Kepresidenan Timor Leste.
Lebih dari seribu pegawai negeri Timor Leste juga telah mengunjungi Cina sebagai bagian dari program pelatihan. Sementara ribuan teknisi Cina juga telah berbagi pengalaman kepada Timor Leste tentang metode pertanian terbaru, perencanaan kota, pengembangan pariwisata dan sebagainya. Cina bahkan menggelontorkan dana senilai $50 juta sebagai pinjaman lunak kepada Timor Leste, seperti diwartakan The Diplomat.
Secara ekonomi, Timor Leste merupakan mitra impor yang murah bagi Cina dan sebaliknya merupakan pasar ekspor potensial bagi negeri Panda. Menurut data statistik pemerintahan, Timor Leste mengeluarkan dana $982 juta untuk impor dan hanya berhasil meraup dana ekspor sebesar $91 juta pada 2014. Cina menjadi penyedia barang terbesar ketiga di Timor Leste setelah Indonesia dan Singapura.
Nikkei Asian Review melaporkan, perusahaan asal Cina membangun berbagai proyek seperti perumahan, fasilitas komersial, sekolah dan bangunan lain dengan biaya sebesar $60 juta. Sebagai balasannya, Timor Leste memberikan dukungannya terhadap proyek Belt and Road yang dilakukan oleh Cina.
Pertumbuhan ekonomi Timor Leste sejak resmi berdaulat pada 2002 sampai dengan 2006, tumbuh tipis dari $422,92 juta menjadi $440,02 juta. Pertumbuhan ekonomi Timor Leste melaju kencang sejak 2007 sampai dengan 2016, mulai dari $531,26 juta menjadi $1,78 miliar.
Catatan Bank Dunia menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Timor Leste tumbuh kencang pada 2016 mencapai 5 persen. Namun, melambat pada 2017 menjadi 4 persen dan diperkirakan mencapai 5 persen pada tahun ini.
Melambatnya investasi asing langsung membuat ekspor barang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Ekspor barang yang tumbuh dari $18 juta pada 2015, menjadi sekitar $27,4 juta pada 2016 dan meningkat menjadi $28,5 juta di 2017. Kopi menjadi penyumbang besar ekspor negara dengan populasi 1,3 juta jiwa (2017) ini.
Timor Leste menunjukkan kemampuannya untuk mengekspor komoditas berupa kopi yang telah dilakukan sejak 2000. Produksi kopi di tahun itu meningkat 40 persen dan turut mendorong peningkatan pendapatan. Dengan luas lahan perkebunan kopi di Timor Leste pada 2001 mencapai 88.823 hektare dan jumlah produksi mencapai 26.944 ton, mendatangkan pendapatan senilai $10 juta.
“Jika di rata-rata, maka pendapatan yang diperoleh petani kopi rata-rata sebesar $127 per produksi rumah tangga,” tulis UNDP dalam laporannya (PDF).
Ekspor kopi terus meningkat hampir mencapai $30 juta atau naik lebih dari dua kali lipat selama periode 2014 sampai dengan 2016. Namun pada 2017, nilai ekspor kopi Timor Leste hanya sebesar $14 juta, lantaran gangguan cuaca.
Angka ini berbanding terbalik dibanding pendapatan dari minyak, yang mengalami penurunan tajam dari $1 miliar pada 2015 menjadi hanya senilai $400 juta di 2016. “Produksi minyak Timor Leste berhenti dan meninggalkan defisit fiskal yang membebani tabungan negara,” tulis Bank Dunia dalam laporan berjudul Timor-Leste Economic Update, April 2017: Considerable Gains Made in Poverty.
Laporan Bank Dunia juga menyebutkan, angka kemiskinan di Timor Leste berkurang dengan kecepatan yang lebih cepat dibanding sebagian besar negara. Namun, tingkat kemiskinan di Timor Leste masih tetap tinggi di level 41,8 persen per 2014.
Angka kemiskinan di Timor Leste justru melonjak dibanding 2001 yang sebesar 36,3 persen dan mencapai puncaknya pada 2007 yaitu 50,4 persen. Tingkat kemiskinan yang paling timpang berada di ibukota negara yaitu Dili (PDF), yang mencerminkan biaya hidup lebih tinggi dibanding distrik lainnya.
Editor: Suhendra