tirto.id - Timor Leste adalah negara yang amat bergantung pada cadangan minyak bumi dan gas alam (migas) untuk menghidupi 1,3 juta penduduknya.
Anthony Fensom dalam artikel "Time (and Oil) Running Out for Timor-Leste" mencatat 78 persen dari 1,38 miliar dolar total anggaran belanja pemerintah Timor Leste tahun 2017 dibiayai dari pemasukan negara sektor migas. Selama 10 tahun terakhir, sektor migas memberi pemasukan negara sebesar 20 miliar dolar.
Tapi masa itu bisa segera berakhir. Dengan 30 persen penduduk dikategorikan miskin, tingkat pengangguran tinggi, dan tingkat pendidikan rendah, kini Timor Leste dihadapkan pada persoalan pelik: Bayu-Undan yang selama ini menjadi ladang migas sumber utama pemasukan negara diperkirakan bakal kering dua hingga empat tahun mendatang.
Dalam laporan "Timor Leste: Consistent Decline in Oil Revenues" yang dirilis oleh The Extractive Industries Transparency Initiative, disebutkan bahwa sektor migas menyumbang 1 miliar dolar pada 2015, 85 persen dari total pendapatan negara. Jumlah itu turun dari 3,8 miliar pada 2012. Turunnya pendapatan ini adalah hasil dari rendahnya harga minyak plus produksi yang juga menurun.
Pemerintah Timor Leste pun bersiasat. Xanana Gusmao, pejuang kemerdekaan sekaligus mantan presiden Timor Leste, mengusulkan proyek "Tasi Mane". Itu merupakan proyek industri petrokimia pengolahan gas alam yang rencananya dialirkan dari Greater Sunrise, ladang migas yang terletak di Laut Timor namun masih menjadi rebutan antara Timor Leste dan Australia.
Pada Selasa 6 Maret 2018 sore waktu New York, Pemerintah Timor Leste dan Australia menandatangani perjanjian tapal batas laut. Keduanya sepakat tapal batas laut terletak segaris tengah jarak kedua negara. Greater Sunrise pun akan dikelola bersama. Namun, benarkah 'sang matahari terbit' dapat menyelematkan Timor Leste?
Menghitung Untung Dari Greater Sunrise
Jurnalis Forbes, Damon Evans mencoba menghitung pemasukan dan pengeluaran cadangan gas alam dan minyak bumi terkahir yang belum dikelola Timor Leste tersebut. Dalam artikel berjudul "Overblown Expectations For East Timor's Greater Sunrise Oil And Gas", Evans mencatat Greater Sunrise bisa memproduksi 92,6 juta ton gas alam dengan harga penjualan 432 dolar per ton.
Dari penjualan itu, uang yang dapat dihasilkan Greater Sunrise dapat mencapai 40 miliar dolar AS. Greater Sunrise juga disebut mengandung minyak bumi yang dapat menghasilkan 12,5 miliar dolar AS dengan asumsi harga minyak bumi 70 dolar AS per barel.
Tentu, melihat besar pemasukan itu membuat pengelolaan Greater Sunrise begitu menjanjikan. Namun, benarkah demikian?
Pada kenyataannya, menurut perhitungan ahli migas Peter Strachan, untuk memproduksi gas Greater Sunrise yang kemudian diolah dalam bentuk cair (biasa disebut liquid natural gas atau LNG) dibutuhkan biaya sebesar 12,5 miliar dolar plus modal awal sebesar 15,7 miliar dolar. Sedangkan biaya operasional minyak bumi bakal menghabiskan dana sebesar tiga sampai empat miliar dolar AS.
Alhasil, pendapatan bersih yang dihitung berdasarkan selisih antara pemasukan dan biaya produksi gas Greater Sunrise adalah sebesar 11,8 miliar dolar AS. Sedangkan dari minyak bumi sebesar 8,6 miliar dolar AS. Sementara nilai pendapatan bersih dengan total 20,4 miliar dolar AS tersebut belum dikenai pajak, ia pun masih harus dibagi lagi untuk perusahaan pengelola, pemerintah Australia, dan Timor Leste.
Menurut Evans, untuk pengelolaan gas alam biasanya perusahaan mengambil 50 persen pendapatan bersih atau setara 5,9 miliar dolar AS. Sementara untuk minyak bumi, Evans menyebutkan kedua pemerintah dapat mengambil separuh pendapatan bersih atau setara 4,3 miliar sebagai royalti.
Dengan menjumlahkan dua pendapatan bersih pemerintah tersebut, ada jatah sebesar 10,2 miliar dolar AS yang mesti dibagi antara Timor Leste dan Australia—jika Greater Sunrise benar-benar akan digarap.
Lantas, apakah sudah ada kesepakatan antara Timor Leste dan Australia soal persentase pembagian jatah pemasukan?
Pembagian Jatah yang Belum Disepakati
The Guardianmelaporkan perjanjian batas laut termutakhir yang ditandangani Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dan Menteri Timor Leste Agio Pereira, mengakui Timor Leste dan Australia memiliki hak untuk membangun, mengeksploitasi, dan mengelola Greater Sunrise. Namun, persentase jatah pemasukan yang diterima kedua negara dari Greater Sunrise masih menjadi persoalan.
Australia mengusulkan 80 persen pemasukan Greter Sunrise untuk Timor Leste dengan skema gas dialirkan melalui pipa ke Darwin untuk diproses lebih lanjut. Sedangkan Xanana Gusmao menghendaki gas dialirkan ke Timor Leste. Dengan skema ini, Timor Leste rela mengambil hanya 70 persen pemasukan Greater Sunrise.
Mengutip studi yang dilakukan konsultan minyak bumi dan gas alam Poten & Partners, Damon Evans mengatakan keuntungan sosial-ekonomi yang didapat dengan membangun pengelohan LNG di Timor Leste mencapai 154,48 juta dolar selama lima tahun. Menurutnya, ada 600 lapangan pekerjaan terbuka selama pembangunan dan 50 sampai 100 pekerja dibutuhkan untuk mengelola saat pabrik pengolahan LNG sudah terwujud.
Meski demikian, Evans juga memperingatkan: membangun jaringan pipa sepanjang 286 kilometer dari Greater Sunrise ke Timor Leste bukan hal mudah, karena jaringan itu harus melewati Palung Timor yang kedalamannya sekitar 2.800 meter. Dari segi biaya, juga tak murah. Konsultan minyak bumi dan gas alam, Jeffry Feynman mengatakan butuh 24 miliar dolar untuk membangun pengolahan LNG di Timor Leste.
Untuk mencapai kata sepakat soal pembagian jatah dan jalur pipa migas Greater Sunrise, akan banyak perundingan yang mesti dilalui Timor Leste dan Australia. Namun demikian, kejelasan tapal batas dengan Australia bisa disebut prestasi bagi pemerintahan Timor Leste. Organisasi penghimpun pegiat dan peneliti tapal batas Australia-Timor Leste, Movimentu Kontra Okupasaun Tasi Timor (MKOTT), menyatakan apresiasi kepada seluruh pihak terlibat.
"Akan tetapi, kesepakatan ini hanya akan berdampak setelah Parlemen kedua negara meratifikasinya. Oleh karena itu, MKOTT menuntut Parlemen Australia untuk meratifikasi kesepakatan ini tanpa syarat. Kami ingat, di masa lalu, Australia meratifikasi Traktat Laut Timor pada 2003, setelah Timor Leste menandatangani Unitization Agreement for Greater Sunrise," MKOTT mengingatkan dalam rilisnya.
Ini juga menjadi angin segar tersendiri bagi politik Timor Leste yang selama enam bulan terakhir ini bergejolak. Pada Juli 2017, Timor Leste menggelar pemilihan umum. Hasilnya, Fretilin keluar sebagai partai pemenang dengan perolehan kursi parlemen sebanyak 23. Berkoalisi dengan Partai Demokrat (PD) yang meraih 7 kursi, Fretilin pun menunjuk Francisco “Lú-Olo” Guterres sebagai Presiden.
Namun, jumlah kursi koalisi partai pendukung pemerintah itu masih kurang dari jumlah kursi koalisi partai oposisi yang berjumlah 35 dengan komposisi: CNRT (22 kursi), PLP (8 kursi), dan KHUNTO (5 kursi). Koalisi partai oposisi ini kemudian menolak usulan anggaran program yang diajukan pemerintah. Lu-Olo kemudian membubarkan parlemen dan meminta pemilihan ulang. (Ralat 12 Maret pukul 13.14, kalimat sebelumnya tertulis: Presiden Lu-Olo mengundurkan diri.)
"Saya percaya hanya rakyat yang bisa memecahkan tantangan yang kita hadapi sekarang. Dari dasar hati, saya meminta rakyat memilih lagi di Pemilu yang akan datang untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita," ujar Lu-Olo.
Selama masa kecamuk itu, posisi Xanana Gusmao dipertanyakan. Guru Besar Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Swinburne University of Technology, Australia Micheael Leach dalam artikelnya "Timor-Leste’s Parliamentary Endgame" menyebutkan partai Fretilin kerap mengolok Xanana dengan sebutan peregrinação atau tukang tamasya karena menjadi ketua negosiator perundingan tapal batas Timor Leste-Australia dan tak ikut campur politik dalam negeri.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Nuran Wibisono