tirto.id - Mobil Mario Viegas Carrascalao menabrak sebuah tiang di Lighthhouse, Dili, Jumat kemarin. Ia lantas dilarikan ke rumah sakit nasional Guido Valadaraes, Dili. Tapi dokter memastikan Mario meninggal dengan indikasi awal sakit jantung.
“Tidak diketahui apakah kecelakaan itu terjadi sebelum atau sesudah Mario mengalami serangan jantung,” sebut media online setempat.
Kabar lelayu dari Dili ini sampai ke Indonesia pada Sabtu pagi. Sarah Azhari, istri Pedro Carrascalao, anak Mario Carrascalao, di akun instagramnya @sarazita mengaku berduka cita atas meninggalnya sang mertua. Sarah mengenang mendiang Mario sebagai pemikir dan pemimpin hebat.
“He was really great man who would do anything for anyone. He was a thinker and great leader," tulis Sarah.
Sarah tak keliru. Jejak langkah Mario Carasscalao bisa dilacak dengan mudah. Di zaman Timor Leste dikuasai Portugis, Mario pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan.
Di era Timor Timur dikuasai Indonesia, Mario pernah bekerja sebagai pegawai Departemen Luar Negeri, Perwakilan RI untuk PBB, bahkan Gubernur Timor Timur.
Menjelang referendum Timor Timur, ia pernah menjadi penasihat Presiden B.J. Habibie. Di saat Timor Leste merdeka, Mario diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri.
Mario Carascallao selalu ada di setiap lingkaran kekuasaan bercokol di Tana Lorosae. Mario pernah mengibaratkan dirinya sebagai “penumpang kapal Timor Timur dengan tiket yang sah”.
Mario lahir di Uai-Talibu, Venilale, Baucau, Timor Leste, 12 Mei 1937, dari pasangan Manuel Viegas Carrascalao dan Marcelina Guterres.
“Mario adalah putera seorang buangan politik Portugis yang kawin dengan gadis Timor. Dia dibesarkan di perkebunan kopi milik ayahnya yang kaya raya,” kata Enrico Guteres seperti ditulis Hukman Reni di Eurico Guterres: Saya Bukan Siapa-Siapa (2015).
Terlahir dari keluarga “juragan kopi”, Mario muda pergi ke ibukota Portugal, kuliah di Instituto Superior de Agronomia Universidade Tecnica de Lisboa. Ia lulus sebagai insinyur pertanian.
Ia nyaris menjadi pemain sepakbola Benfica, klub ternama asal Portugal. Tapi lantas menolak tawaran itu dan memilih pulang ke Timor Leste pada awal 1970an. Di tanah kelahirannya, ia langsung diangkat sebagai Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan.
Situasi kemudian berubah di Timor Leste pada pertengahan 1970an. Faksi-faksi politik bermunculan menyusul kudeta di Portugal pada 8 Mei 1974. Gubernur cum Panglima Militer Timor Portugis, Kolonel Fernando Alves Aldeia, mengeluarkan maklumat berisi pemberian kebebasan kepada rakyat koloni membentuk partai politik.
Kesempatan ini dimanfaatkan Mario untuk membentuk Organizacao da Uniao Democratica Timorense (Uni Demokrat Timor/UDT). Di partai baru itu Mario tampil sebagai ketua di usia 37.
Program UDT, mengusahakan supaya Timor Timur bergabung dengan Portugal, berbendera dan berbahasa Portugis alias mempertahankan status quo di bawah bayang-bayang Portugis.
Mario punya alasan kuat untuk berkiblat ke Lisabon. “Terus terang kami belum punya banyak cukup tenaga terdidik untuk memimpin negeri ini,” ujar Guteres menirukan Mario.
Hitungan Mario, untuk mewujudkan Timor Leste merdeka dibutuhkan waktu lama. ”Mungkin 20 atau 30 tahun lagi,” kata Mario.
Belakangan pertimbangan inilah yang menyebabkan Mario “berseberangan” dengan pemimpin Fretilin, Xanana Gusmao yang menginginkan “kemerdekaan 100 persen” bagi Timor Leste.
Konflik di Tana Lorosae ini dimainkan Indonesia. Diam-diam Presiden Soeharto minta persetujuan Australia dan Amerika Serikat untuk menguasai Timor Timur. Persetujuan penuh menguasai Timor Leste didapatkan Soeharto dari Perdana Menteri Australia Gough Whitlam setelah mengadakan pertemuan “khusus” di Dieng Wonosobo pada 6 September 1974.
Sejak itu Soeharto memerintahkan anak buahnya, Ali Moertopo--Ali Moertopo memerintah Benny Moerdani—Beny memerintahkan Dading Kalbuadi—Dading membentuk Tim Tim Susi, Tim Umi dan Tim Tuti--untuk menyusupkan TNI bercelana jeans ke Timor Leste.
Tugas “Blue Jeans Soldier” ini melakukan pelatihan militer bagi sipil untuk menentang para “kribo-kribo gunung”, Fretelin. Belakangan strategi agitasi diubah lagi menjadi operasi militer dengan sandi “Seroja”. Sekali lagi Dading sukses. Ia menguasai pelabuhan strategis di Balibo, Timor Leste—pintu masuk bagi penguasaan penuh Tana Lorosae.
Tentu dengan pertumpahan darah yang tragis bagi kedua belah pihak.
Timor Leste adalah sejarah kelam bagi Indonesia. Baca kisah pedih ini:
Timor Leste di Bawah Kepemimpinan Mario
Di mana Mario Carrascalao saat itu? Ia di pihak UDT yang pro integrasi dengan Indonesia.
“Bagi saya, dengan pendapatan per kapita US$ 40 per tahun, tak mungkin Tim-Tim berdiri sendiri,” kata Mario mengajukan alasan integrasi Timor Timur, dalam satu sesi wawancara khusus dengan jurnalis Tempo.
Sikap pro integrasi Mario ini diterima pemerintahan Soeharto. Mario ditempatkan di Departemen Luar Negeri yang ketika itu dipegang Adam Malik, kemudian menjadi perwakilan Indonesia di PBB dan akhirnya pada 1982 ditunjuk sebagai Gubernur Timor Timur. Posisi ini di kemudian hari menjadi blessing in disguise bagi Mario untuk mengupayakan perdamaian di Timor Leste.
Pada 28 Mei 1983, Mario bertemu dengan Xanana di hutan Ariana dekat Kabupaten Baucau untuk melakukan negosiasi damai.
"Saya bertemu dengannya sebagai komandan Falintil [Tentara Pembebasan Nasional Timor-Leste]. Saya tidak akan duduk di meja yang sama jika dia menampilkan dirinya sebagai komandan Fretilin [Front Revolusi Independen Timor-Leste]. Saya merasa bahwa, pada saat itu, dia mewakili saya dan orang lain juga menyukai saya. Ketika saya berbicara dengan Xanana Gusmao, saya sedang berbicara dengan seorang wakil sayap bersenjata orang Timor, di mana Uni Demokrat Timor menjadi bagiannya," jelas Mario.
Tapi upaya damai itu berantakan semenjak Peristiwa Karakas Agustus 1983 meletus,. Ribuan penduduk di desa itu dikabarkan tewas ditembak tentara Indonesia.
“Sekitar 2.000 mayat dikubur di dekat Sungai Luka di Karakas. Sopir traktor yang menggali kuburan massal itu akhirnya dibunuh untuk menghilangkan jejak,” kata Mario.
Indonesia terus melancarkan operasi militer dan Fretilin melakukan perlawanan. Pada Maret 1986, Mario menyebut 100 ribu penduduk Timor tewas sejak perang sipil 1975.
Keadaan sedikit berubah pada 1989. Ketika itu Mario berhasil menegosiasi Presiden Soeharto untuk menjadikan Timor Timur sebagai kawasan terbuka sehingga statusnya bukan lagi sebagai daerah darurat militer. Kendati demikian, kendali masih sepenuhnya di tangan Jakarta. Akses-akses ekonomi, terutama komoditas ekonomi kopi yang sebelumnya dikuasai militer—mulai dirambah sipil.
Peneliti George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan (2006) mengatakan sejak Benny Moerdani lengser pada 1990an, anak Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, mulai mengambil alih ekspor kopi dari Timor Leste melalui perusahaan PT Citra Inskopindo Persada.
“Perusahaan ini yang membeli kopi dari petani melalui koperasi induk yang dikelola pemerintah Indonesia Puskud (Pusat Koperasi Unit Desa), mengolah 1,2 ton kopi per tahun, yang diekspor terutama ke AS, Australia, dan Selandia Baru dengan merek Café Timor,” tulis George.
Sebagai mantan Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Mario sadar akan hal itu. Dalam satu sesi wawancara-nya dengan Tempo, Mario mengatakan bahwa kopi dari petani sangat murah karena dianggap sebagai penggarap sisa perkebunan Portugis. Harga kopi tak lebih dari Rp300 per kg. Padahal, kata Mario, 60 persen lahan kopi di Timor Leste adalah milik pribadi petani.
Mario sadar akan penghisapan itu, tapi tampaknya ia harus bersabar menghadapi tekanan politik yang lebih besar. Belakangan Mario dicopot sebagai gubernur Timor-Timur pada 18 September 1992, dua bulan sebelum tragedi pembantaian Santa Cruz.
Setelah peristiwa Santa Cruz, Abilio diangkat sebagai Gubernur Timor Timur menggantikan Mario Viegas.
Soeharto lalu memindahkannya ke Rumania sebagai duta besar. Ini berarti ia dijauhkan dari politik di Timor Leste. Jabatan itu dilakoni Mario sampai 1997, setahun sebelum Soeharto lengser dari pemerintahan.
Ketika kekuasaan Presiden Soeharto benar-benar runtuh pada 21 Mei 1998, BJ Habibie sebagai presiden pengganti mengangkat Mario sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Habibie juga membuka sejarah baru bagi Timor Leste. Ia memberi ruang diskusi dengan para pemimpin Timor Leste termasuk Uskup Belo, Xanana Gusmao, Ramos Horta, dan Mario Carrascalao. Dari situ lahirlah keputusan bahwa rakyat Timor Leste harus diberikan referendum.
Akhirnya pada referendum 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur diberi dua pilihan: menerima atau menolak otonomi khusus. Hasil referendum, dari total 438,968 suara, sebanyak 344.580 atau 78,50 persen rakyat Timor Timur memilih menolak otonomi khusus. Sedangkan sisanya sebanyak 94.388 suara atau 21,50 persen memilih menerima otonomi khusus dan bergabung dengan Indonesia.
Tentang kemerdekaan Timor Leste, baca kisahnya:
Provinsi ke-27 Indonesia itu akhirnya lepas dari Indonesia dan memperoleh status resminya sebagai negara anggota PBB pada 20 Mei 2002.
Mario lantas diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri Timor-Leste pada pemerintahan Xanana Gusmao. Ia juga didaulat sebagai Wakil Perdana Menteri II di era pemerintahan Presiden Jose Ramos Horta pada 5 Maret 2009.
Kamis kemarin, Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak memberinya penghargaan tertinggi dari negara. Tapi selang sehari setelah pemberian penghargaan itu Mario meninggal dunia.
"Baru kemarin kami semua makan malam bersama keluarga," kata Angela Carrascalao mengenang saat terakhir bersama sang ayah.
Penulis: Agung DH
Editor: Zen RS