Menuju konten utama

Timor Leste: Lu-Olo Memikul Harapan Rakyat Lewati Masa Sulit

Francisco Guterres alias Lu-Olo terpilih sebagai presiden baru Timor Leste. Fretilin dan CNRT menguasai parlemen.

Timor Leste: Lu-Olo Memikul Harapan Rakyat Lewati Masa Sulit
Warga Timor Leste melakukan pemilihan suara di Dili, Timor Leste (22/07/2017). FOTO/REUTERS/Lirio da Fonseca

tirto.id - Sebuah negara demokrasi termuda di Asia pada tahun ini rampung menggelar hajatan besar politik. Timor Leste, tetangga dekat dan bekas jajahan Indonesia, tuntas menyelenggarakan pemilu kali ketiga sejak merdeka pada 2002.

Ada dua tahapan dalam pemilu nasional, sesuai sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana Indonesia: Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif.

Pada 20 Maret kemarin, Francisco Guterres alias Lu-Olo dari Partai Fretilin terpilih sebagai presiden. Ia mengungguli Antonio Maher atau Fatuk Mutin (Partai Sosialis Timor), Antonio da Conceicao (Partai Demokrat), Angela Freitas Partai Trabalhista (Worker Party), serta empat kandidat independen: diplomat Amorim Dias dan Jose Luis Guterres, Luis Tilman, dan Aniceto das Neves.

Lu-Olo, mantan gerilyawan dan presiden Partai Fretilin, meraup lebih dari 50 persen suara dari ketujuh kandidat lain. Ia mendapat dukungan dari Partai National Congress for Timorese Reconstruction (CNRT), salah satu partai besar yang didirikan oleh Xanana Gusmao.

Lu-Olo adalah satu dari segelintir komandan Falintil, sayap militer Partai Fretilin, saat berperang memperjuangkan kemerdekaan terhadap Indonesia. Pensiun dari dunia militer selepas Timor Leste merdeka, ia terjun ke dunia politik sebagai Presiden Partai Fretilin.

Pada edisi pemilu sebelumnya, 2007 dan 2012, Lu-Olo ikut mencalonkan diri. Ia kalah di putaran pertama—saat itu Jose Ramos Horta terpilih sebagai presiden—dan berikutnya kalah oleh Taur Matan Ruak alias José Maria Vasconcelos .

Pada bulan Juli kemarin, giliran Pemilu Legislatif serentak digelar. Fretilin dan CNRT—dua partai terbesar—masih digdaya.

Dilansir dari The Diplomat, Fretilin berhasil menggondol 23 kursi; sementara CNRT meraih 22 kursi. Partai PLP, di bawah pemimpin Presiden Taur Matan Ruak, di urutan ketiga dengan 8 kursi.

Sejak merdeka, untuk kali pertama ini pemerintah Timor Leste menggelar pemilu tanpa diawasi pasukan misi pemeliharaan perdamaian PBB.

Baca juga:

Proses Pemilu

Ada 20 persen pemilih pemula dari negara kecil berpenduduk 1,2 juta jiwa ini.

Sambutan warga sangat antusias. “Ini hari yang spesial bagi saya. Sebagai perempuan Timor, saya punya kesempatan untuk memberikan suara. Ini akan ikut menentukan masa depan kami,” ungkap seorang perempuan Timor Leste kepada KBR.

“Saya senang dengan demokrasi di Timor Leste saat ini karena saya punya kesempatan untuk berpartisipasi. Pemerintahan baru kami harus memprioritaskan kepentingan rakyat,” ujar seorang pemilih.

Isu soal ekonomi dan korupsi mendominasi masa kampanye, yang memang tengah dihadapi Timor Leste untuk memberi kesejahteraan dan lapangan kerja.

"Saya berharap partai yang memenangkan pemilihan ini akan membangun Timor Leste menjadi lebih baik dari sebelumnya," kata Maria Magdalena kepada Reuters.

"Saya hanya ingin segalanya berjalan lancar, damai dan tidak ada konflik di negara ini," tambahnya.

Baik partai pemenang maupun koalisi tinggal menunjuk perdana menteri.

Delegasi Uni Eropa, yang mengawasi masa kampanye dan hari pemilihan, memuji proses pemilu kali.

“Selama pengamatan kami, pemilu Timor Leste berjalan damai dan lancar. Dengan kerangka hukum yang memadai, kredibel, inklusif, dan transparan—mulai dari pembukaan TPS, saat pencoblosan, sampai penghitungan dan tabulasi hasil,” ujar Ketua Delegasi, Izaskun Bilbao Barandica.

Infografik Pemilu 2017 Timor Leste

Dalam Bayangan Pendudukan Brutal dari Indonesia

"Semua wilayah Timor Timur dari timur ke barat adalah panggung perang," katanya.

"Banyak rekan saya tewas dalam perang. Bahkan dengan orang-orang di awal perang, saya menyaksikan pembunuhan penduduk akibat pemboman. Melalui semua ini, itulah yang membangun karakter saya sebagai warga negara Timor Leste," ungkap Lu-Olo kepada The Guardian.

Invasi Indonesia, di bawah jenderal-jenderal Soeharto, terhadap Timor Leste terjadi pada akhir tahun 1975. Saat itu Timor Portugis—nama bagi koloni Portugal itu—tengah menyiapkan pembentukan negara baru sesudah gelombang dekolonialisasi terakhir di seluruh kawasan dunia.

Baca juga: Timor Leste pada Masa Kolonial

Namun, langkah pemuda-pemuda Timor Leste—sebagian besar mendapatkan pendidikan seminari yang saat itu condong ke arah progresif—batal sesudah gerakan militer Indonesia menyerang negara mungil itu, demi apa yang disebut Jakarta “menangkal pengaruh komunisme” di bawah politik global Perang Dingin.

Berlarut-larut dalam kondisi peperangan dan perlawanan, sebuah referendum akhirnya tiba setelah kejatuhan rezim Orde Baru. Atas permintaan Presiden B.J. Habibie kepada Sekjen PBB Kofi Annan, referendum resmi digelar pada Agustus 1999.

Baca juga: Mengingat Referendum, Jalan Panjang Kemerdekaan Timor Leste

Dengan mantap tetapi direspons Jakarta lewat operasi bumi hangus, mayoritas warga Timor Leste memilih berpisah dari Indonesia dan mendirikan negara berdaulat.

Hingga kini, memori kelam kekerasan dan pendudukan Indonesia terhadap warga Timor Leste masih kuat dikenang. Sebaliknya, rasa dongkol para serdadu Indonesia yang pernah bertugas di sana masih tertanam.

Baca juga artikel terkait TIMOR LESTE atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Fahri Salam