tirto.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat dakwaan terhadap terdakwa kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan, Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Hasto disebut dengan sengaja telah melakukan perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku.
Dalam dakwaan, JPU menyebut Hasto memerintahkan Harun Masiku yang merupakan caleg PDIP pada Pileg 2019, untuk merendam ponsel melalui Nur Hasan, untuk menghindari penyidikan.
"Memerintahkan Harun Masiku melalui Nur Hasan untuk merendam telepon genggam milik Harun Masiku ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK kepada Wahyu Setiawan selaku Anggota KPU RI 2017-2022," kata JPU, Wawan Yunarwanto, dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2025).
Wawan menjelaskan Hasto memerintahkan Harun untuk merendam ponsel setelah mengetahui bahwa KPK telah mengantongi informasi soal suap yang diterima oleh Wahyu Setiawan, melalui Mantan Anggota Bawaslu, Agustiani Tio. Langkah itu dilakukan untuk memuluskan Harun merebut kursi parlemen melalui Pergantian Antarwaktu (PAW) DPR RI 2019.
Kemudian, Hasto mengetahui bahwa KPK telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu. Hasto yang mengetahui keterlibatan Harun segera memintanya menghilangkan alat bukti.
Selain itu, melalui Nur Hasan, Hasto juga memerintahkan agar Harun menunggu di kantor DPP PDIP agar keberadaanya tidak diketahui oleh penyidik KPK.
Dugaan perintangan penyidikan yang dilakukan Hasto, membuat KPK kesulitan menemukan Harun Masiku. Namun, KPK melacak keberadaan Harun melalui ponsel Nur Hasan. Mereka berdua sebelumnya bertemu di sebuah hotel untuk menindaklanjuti perintah dari Hasto.
Lalu, keduanya terdeteksi berada di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Namun, penyidik KPK tidak berhasil menemukan Harun di lokasi tersebut. Kendati demikian, KPK belum bisa menangkap Harun hingga saat ini.
Selain itu, Hasto didakwa telah memerintahkan kepada Stafnya, Kusnadi, untuk merendam ponselnya, sebelum dipanggil sebagai saksi kasus Harun Masiku ini pada 10 Juni 2024.
JPU menyebut, Hasto meminta Kusnadi merendam ponsel pada 6 Juni 2024. Kemudian, Kusnadi melaksanakan perintah tersebut.
JPU mengatakan, pada hari pemeriksaan, Hasto, mengaku tidak memiliki ponsel. Namun, penyidik mengetahui bahwa ponsel Hasto dititipkan kepada Kusnadi. Kemudian, penyidik mengambil ponsel milik Hasto dan Kusnadi yang berisi informasi terkait Harun Masiku.
Oleh karena itu, JPU menyatakan bahwa Hasto telah merintangai penyidikan hingga mengakibatkan penanganan kasus Harun Masiku terhambat.
Atas perbuatannya itu, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor, juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, JPU juga membacakan surat dakwaan terhadap Hasto terkait dengan suap pergantian antarwaktu (PAW) DPR RI 2019.
Hasto didakwa telah memberikan suap kepada Wahyu Setiawan dengan tujuan agar Harun Masiku bisa menjadi Anggota DPR RI 2019-2024.
Hasto didakwa telah melakukan suap bersama dengan Advokat, Donny Tri Istiqomah, dan orang kepercayaannya, Saeful Bahri serta Harun Masiku.
Suap tersebut diberikan kepada Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio sejumlah Rp600 juta, agar Harun yang saat itu berasal dari Dapil 1 Sumatera Selatan bisa menggantikan Nazaruddin Kiemas, pemilik suara tertinggi.
Padahal, seharusnya posisi Nazaruddin tersebut digantikan oleh caleg lainnya dari dapil yang sama bernama Rezky Aprilia dengan suara lebih banyak dibanding Harun Masiku.
Untuk melancarkan aksi suapnya ini, Hasto memerintahkan kepada Donny Tri selaku tim hukum PDIP mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung atas ketentuan Pasal 54 Ayat (5) huruf k peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019.
Gugatan tersebut diterima oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa untuk menggantikan suara terbanyak yang meninggal dunia, merupakan kewenangan partai.
Namun, setelah menerima salinan penerimaan permohonan tersebut, pihak KPU bersurat ke PDIP bahwa tidak bisa memenuhi permohonan tersebut karena bertentangan dengan perundang-undangan.
Hasto dan Donny lantas menemui Wahyu untuk menyerahkan nama-nama pergantian Caleg, termasuk Rezky Aprilia diganti dengan Harun. Meski demikian, KPU tetap menetapkan Rezky sebagai pemenang dan tidak mengindahkan permintaan dari PDIP.
MA menerbitkan surat yang pada pokoknya untuk menggantikan calon yang meninggal dunia merupakan kewenangan partai.
Saat fatwa diterbitkan, Hasto dan Harun Masiku sedang berada di ruangan Ketua MA saat itu, Hatta Ali dan menerima fatwa tersebut.
Secara terpisah, Saeful Bahri menghubungi Agustiani Tio untuk meminta Wahyu mengurus pergantian caleg terpilih dari Rezky menjadi Harun. Wahyu lantas mengamini, sebab dijanjikan dana operasional sebesar Rp850, Namun, Wahyu meminta Rp1 miliar.
Hasto menyanggupi permintaan tersebut dan menyampaikan kepada Saeful Bahri bahwa ada dana Rp600 juta yang bisa digunakan. Perincian dana itu, yakni Rp 200 juta disebut akan digunakan sebagai uang muka penghijauan kantor PDIP dan Rp400 juta diserahkan kepada Donny Tri melalui Kusnadi.
Donny kemudian menyampaikan kepada Saeful bahwa dirinya telah menerima Rp400 juta dari Hasto dan sisanya sejumlah Rp600 juta dari Harun Masiku.
Atas perbuatannya, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama