Menuju konten utama

Sejarah Panjang Konflik dan Niaga di Laut Cina Selatan

Sebelum jumlah penduduk tinggi, peperangan di Asia Tenggara, termasuk di kawasan Laut Cina Selatan, lebih mementingkan tawanan daripada membunuh musuh

Sejarah Panjang Konflik dan Niaga di Laut Cina Selatan
ilustrasi laut cina selatan.foto/shutterstock

tirto.id - Sabtu (30/3/2019) debat Pilpres 2019 memasuki putaran keempat. Tema debat adalah tentang ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional.

Isu pertahanan dan keamanan yang berkelindan dengan kondisi hubungan internasional, salah satunya adalah soal Laut Cina Selatan yang terus memanas.

Laut yang dikelilingi oleh sejumlah negara ASEAN dan Cina ini merupakan jalur perdagangan yang sangat strategis, dan menyimpan cadangan minyak bumi yang cukup besar.

Nilai perdagangan di jalur ini diperkirakan lebih dari 5 triliun dolar AS per tahun, dan cadangan minyak bumi yang tersimpan sebesar 11 miliar barel serta gas alam mencapai 190 triliun kaki kubik.

Tak heran jika wilayah perairan ini terus menerus dilanda ketegangan antarnegara di sekelilingnya—termasuk Indonesia. Negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, seperti Cina, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Brunei, saling klaim sejumlah wilayah. Mereka pun terus memperkuat armada militernya masing-masing.

Salah satu wilayah Indonesia yang sangat dekat dengan perairan ini adalah Pulau Natuna. Indonesia, seperti diungkapkan Presiden Jokowi pada sebuah acara yang digelar di Yogyakarta, bersikap jelas dan tegas terhadap kedaulatan pulau tersebut.

“Dulu 2016 ada klaim bahwa Natuna Utara itu masuk ke Nine Dash Land dari Laut Cina Selatan. Saya dituduh antek asing. Saat itu ingat saya bawa kapal perang kita ke Natuna dan saya sampaikan bahwa Natuna adalah teritorial Indonesia. Tidak ada rasa takut sedikit pun di hati saya untuk melakukan itu,” kata Jokowi.

Selain Indonesia, negara-negara ASEAN lainnya pun memperkuat sektor militernya. Terhitung sejak 2007 sampai 2016, berdasarkan rilis Stockholm Internasional Peace Research Institute pada 2017, terjadi peningkatan belanja militer negara ASEAN hingga 47 persen.

Sementara Cina yang kekuatan militernya paling besar dibanding negara-negara ASEAN tersebut, telah membangun tiga pangkalan militer di Laut Cina Selatan. Masing-masing berlokasi di Karang Subi, Mischief, dan Fiery Cross.

Kemesraan dan Ketegangan Lima Abad

Sejumlah catatan sejarah menerakan riwayat panjang tentang pasang surut situasi perdagangan dan keamanan di Laut Cina Selatan. Sejak lima abad silam, setidaknya seperti yang dicatat oleh Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin (2014), perairan ini telah menjadi jalur penting perniagaaan.

Sebagai contoh, saat ketersediaan komoditi pakaian, termasuk sutra dan kapas melimpah, negara-negara Asia Tenggara menjadi konsumen besar suplai pakaian dari India dan Cina. Hal ini terjadi bukan berarti Asia Tenggara tidak punya bahan baku untuk membuat pakaian, tapi kalangan elite mereka menyukai pakaian dari kedua negara tersebut.

“Pakaian India dan Cina dibeli oleh kalangan elite yang lebih kaya berkat warna-warnanya yang cemerlang, polanya yang indah, serta kedudukannya sebagai barang langka. Tapi penduduk setempat pada umumnya selalu memakai pakaian produksi setempat,” tulis Reid.

Sebaliknya, Cina juga menjadi pembeli yang cukup tinggi dalam perdagangan kapas yang banyak tersedia di Asia Tenggara. Bahkan kapas menjadi hasil pertanian utama setelah pangan.

Dalam catatannya Reid menerangkan, kapas telah lama ditanam di Asia Tenggara dan diekspor ke Cina. Sejumlah naskah Cina mengabarkan bahwa kapas telah dibawa ke Cina dari Vietnam sejak abad ke-7.

Perdagangan kapas terbesar di sekitar Laut Cina Selatan, termasuk benang dan pakaian, diperkirakan terjadi pada abad ke-13 hingga ke-17. Para pedagang di pedalaman berbondong-bondong membawa barang dagangannya ke pelbagai pelabuhan Asia Tenggara, terutama Vietnam, Luzon, dan Jawa.

Selain pakaian, kapas, dan sutra, komoditi lain yang diperdagangkan di Asia Tenggara adalah emas, perak, besi, keramik, dan lain-lain. Dalam urusan keramik, Cina dari dulu telah terkenal sebagai negara yang lihai dalam membuat barang ini.

Keramik campur kaca berkualitas tinggi diproduksi di Cina dan diperdagangkan di Asia Tenggara dan ke negeri-negeri yang lebih jauh.

“[Keramik-keramik tersebut] dihias dengan indah dan dibakar dengan temperatur yang jauh lebih tinggi daripada yang dilakukan pada tempat pembakaran di Asia Tenggara, piring-piring dan mangkuk-mangkuk ini menjadi barang-barang yang tinggi nilai serta statusnya,” imbuh Reid.

Di Filipina, Sulawesi, dan Maluku, keramik dari Cina yang berupa piring dan mangkuk, ditempatkan di sekitar jenazah saat pemakaman untuk menemani yang mati menuju perjalanannya ke dunia lain.

Sementara di Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan, keramik campur kaca digunakan sebagai penghias masjid, makam, dan istana. Namun, bagi orang-orang kaya di Asia Tenggara, keramik Cina tersebut justru dipakai sebagai tempat minum dan makan.

Dalam bukunya yang lain, yakni Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global (2014), Reid juga menyinggung perdagangan lada dan kayu sapan. Menurutnya, kedua komoditas ini adalah produk yang menonjol dalam perniagaan di Nanyang atau Laut Cina Selatan.

Saking banyaknya komoditas lada dan kayu sapan ini dikirim ke Cina, pada abad ke-15 keduanya memenuhi gudang-gudang pemerintah sehingga dipakai untuk membayar sebagian gaji ratusan ribu pejabat dan tentara Cina.

Aktivitas perdagangan yang berlangsung selama ratusan tahun, membuat kebudayaan sejumlah negara berakulturasi. Denys Lombard mencatat dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2: Jaringan Asia (2005), kebudayaan Cina telah lama memengaruhi negeri-negeri di sekitar Laut Cina Selatan.

“[Berupa] adat-istiadat, kepercayaan, dan teknik-tekniknya, melalui suatu proses asimilasi dan saling pengaruh yang berlangsung selama berabad-abad,” tulis Lombard.

Kemesraan di kawasan sekitar Laut Cina Selatan sebagai jalur perniagaan penting bagi sejumlah negara di Asia Tenggara, Cina, Arab, India, dan Eropa, bukan berarti tanpa perseteruan dan konflik.

Namun, yang perlu dicatat adalah saat itu peperangan lebih menekankan pada raihan tawanan daripada harta benda, terutama bagi negara-negara Asia Tenggara. Jumlah penduduk yang belum banyak membuat mereka berlomba memburu tawanan untuk dijadikan sebagai budak.

Sekali waktu, seorang laksamana Belanda memprotes seorang bangsawan Melayu (penguasa Johor) yang menjadi sekutunya yang terlihat ragu memasuki palagan.

“Di sini setiap orang kaya atau bangsawan justru harus membawa sejumlah orang, dan masing-masing takut kehilangan sahayanya, yang merupakan kekayaan mereka satu-satunya,” jawab sang bangsawan seperti dicatat Reid.

Infografik Sejarah konflik laut cina selatan

undefined

Ia menambahkan, orang-orang Eropa, Turki, dan Persia yang dalam peperangan terbiasa dengan korban jiwa yang banyak, merasa heran ketika melihat orang Siam, Birma, dan Laos berperang.

Di negara-negara Asia Tenggara tersebut orang-orang hanya menembak ke udara atau ke tanah untuk membuat gentar musuh-musuhnya. Mereka tidak bermaksud membunuh, apalagi membantai, tapi berusaha menangkapi penduduk untuk digiring ke negeri mereka masing-masing.

“Seperti malaikat,” ucap orang-orang Eropa, Turki, dan Persia ketika melihat mereka berperang.

Memasuki abad ke-15, ketegangan di sekitar Laut Cina Selatan semakin meningkat saat mereka mulai mengenal meriam kulverin yang terbuat dari perunggu, yang diperkenalkan oleh orang Gujarat, Cina, dan Turki.

Selain itu, berkembangnya kebiasaan menggunakan pasukan bayaran semakin meruncingkan ketegangan. Menurut Reid, negara-negara Asia Tenggara selalu mengharapkan semua orang ikut dalam peperangan, termasuk semua kapal asing yang berlabuh di wilayahnya.

Sebagai salah satu pedagang penting di Asia Tenggara, kapal Cina yang berlabuh seringkali menentukan berhasil atau tidaknya sebuah serangan laut terhadap pelabuhan.

“Yang lebih kompleks ialah proses perubahan sosial dan politik yang diperkenalkan oleh cara-cara peperangan (dan perdagangan serta produksi) yang baru. Proses ini dengan cepat mengubah Asia Tenggara, dan melahirkan negara-negara yang belum pernah sekuat itu sebelumnya,” tulis Reid.

Perseteruan dan ketegangan di perairan Laut Cina Selatan kemudian semakin meningkat seiring tingginya aktivitas perniagaan. Posisi yang strategis sebagai jalur perdagangan, juga terdapat sejumlah gugusan pulau yang dimiliki oleh banyak negara, membuat perairan ini nyaris tak pernah berhenti dari ketegangan.

Kiwari, setelah melewati ratusan tahun, situasi seperti itu terus berlanjut. Pendekatan diplomasi dilakukan oleh negara-negara di kawasan Laut Cina Selatan. Namun, hal itu tidak serta-merta menghentikan ketegangan.

Belanja militer yang terus meningkat, serta penguatan militer di sekitar perairan tersebut membuktikan bahwa Laut Cina Selatan masih menjadi medan yang panas.

Baca juga artikel terkait LAUT CINA SELATAN atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nuran Wibisono