tirto.id - Laut Cina Selatan adalah kawasan super strategis. Ia merupakan jalur perdagangan sentral, baik untuk ekspor atau impor. Nilai alur perdagangan itu diperkirakan lebih dari 5 triliun dolar AS per tahun, dengan catatan: itu adalah taksiran tahun 2016. Sementara pada 2035, diperkirakan 90 persen minyak bumi dari Timur Tengah yang menuju Asia melewati perairan itu.
Dan itu bukan satu-satunya aspek menggiurkan dari kawasan ini. Menurut Badan Informasi Energi AS, di sini tersimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam yang mencapai 190 triliun kaki kubik.
Maka tak heran di tengah potensi yang luar biasa besar itu, enam negara yang berbatasan langsung saling berebut klaim terhadap sebagian atau keseluruhan wilayah itu (Laut Cina Selatan terdiri dari sekian ratus pulau kecil). Mereka adalah Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Cina itu sendiri serta Indonesia.
Cina mengklaim hampir seluruh wilayah ini, yang itu bertabrakan dengan klaim lima negara lain. Misalnya terhadap Kepulauan Paracel. Cina merasa memiliki hak penuh atas kepulauan tersebut, dan Vietnam pun demikian. Juga Kepulauan Spratly. Selain Cina dan Vietnam, wilayah ini juga diperebutkan Brunei, Malaysia, dan Filipina.
Sementara dengan Indonesia, adu klaim terjadi terhadap Kepulauan Natuna.
Jalur diplomasi untuk menyelesaikan masalah ini tak menemui jalan keluar berarti, masing-masing negara kemudian memperkuat angkatan perangnya, terutama di bidang matra laut dan utara.
Data Stockholm International Peace Research Institute yang dirilis April 2017 menyebut dari 2007 hingga 2016, belanja militer negara ASEAN naik hingga 47 persen. Ini lebih besar ketimbang peningkatan belanja negara di kawasan Amerika Selatan dan Eropa Timur--dua wilayah yang juga punya konflik tak kalah rumit.
Meski begitu, faktanya Cinalah yang punya kekuatan tempur terbesar. Kekuatan tempur mereka mengalahkan semua negara ASEAN. Per Oktober 2017 lalu, ada tiga pangkalan militer Cina di Laut Cina Selatan yang siap digunakan--di Karang Subi, Mischief, dan Fiery Cross. Dengan pangkalan itu mereka dapat dengan mudah mengirim misil jarak jauh, jet tempur, atau pengebom dalam hitungan menit ke negara yang bersengketa dengan mereka, termasuk Indonesia.
Tidak ada masa depan untuk Indonesia jika konflik bersenjata benar-benar terjadi. Pengamat pertahanan dari Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie, menganalogikan situasi angkatan perang Indonesia seperti ini: "alutsista itu kayak mobil. Percuma Ferrari tapi enggak ada bensinnya. Ya enggak mau jalan."
Ia mengatakan demikian karena selain alutsista itu sendiri yang terbatas, dukungan bahan bakar untuk menjalankan itu juga tak banyak. Pada 2017 lalu dia mengatakan kapal patroli yang beroperasi hanya 7-15, padahal yang tersedia ada 60-70.
Apalagi, menurut dosen pengampu bidang Hubungan Internasional di Universitas Achmad Yani, Yohanes Sulaiman, pemerintah saat ini belum punya kemauan kuat untuk menguatkan persenjataan angkatan laut dan udara karena doktrin pertahanan lawas yang lebih mengutamakan kekuatan darat.
"Jawabannya jelas: iya [persenjataan AL/AU lemah]," kata Yohanes kepada reporter Tirto, Rabu (27/3/2019) kemarin.
"Doktrin pertahanan kita ya memang di angkatan darat," tambahnya.
Pada akhirnya Sulaiman bilang bahwa pemerintah mesti segera mengupayakan agar Indonesia bisa lebih punya daya tawar di Laut Cina Selatan. Selain tentu saja jalur diplomasi yang terus mesti diupayakan, angkatan perang juga semestinya diperkuat.
Tanpa itu, katanya, yang terjadi akan seperti ini: "Kita mau nonjok, nonjok pakai apa? Takut kita ribut dengan Cina."
Retorik
Isu Laut Cina Selatan nampaknya akan disinggung dalam debat Pilpres 2019 putaran keempat yang akan mempertemukan capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto, Sabtu 30 Maret nanti. Soalnya, dalam debat itu salah satu isu yang akan dibahas adalah soal kebijakan luar negeri, selain tema ideologi dan pemerintahan.
Wakil Direktur Komunikasi Politik Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Meutya Viada Hafid, tak menjabarkan solusi spesifik yang akan dikemukakan Jokowi dalam debat nanti. Politikus Partai Golkar ini hanya berharap jika Jokowi terpilih kembali, kesepakatan terkait Laut Cina Selatan bisa lebih baik.
"Kesepakatan itu sudah ada, dan kita harapkan kalau Pak Jokowi terpilih lagi ini salah satu yang diutamakan," katanya kepada reporter Tirto.
Ia juga mengklaim pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak hanya fokus membangun kekuatan matra darat. Untuk 'membendung' ekspansi Cina, katanya, pemerintah telah bekerja sama dengan negara ASEAN lain. Namun memang itu belum maksimal.
"Sudah melakukan kerja sama untuk adanya join patrol, meski tiap negara punya aturan masing-masing [sehingga] implementasinya belum maksimal," tambahnya.
Sedangkan Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Uno, Andre Rosiade, menegaskan jika terpilih mereka akan memangkas kesenjangan alat utama sistem pertahanan yang dimiliki oleh TNI AD dan TNI AL. Namun, Andre tidak merinci bagaimana cara memangkas kesenjangan tersebut.
"Pasti kekuatan laut dan udara akan kami perkuat," tegas Andre kepada reporter Tirto.
"Solusinya Pak Prabowo jadi presiden. Dia yang akan bangun kekuatan dari tiga matra," pungkasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino