tirto.id - Laporan pemetaan dari Asia Maritime Transparency Initiative pada Agustus lalu menyebut tiga pangkalan militer Cina di Laut Cina Selatan kini siap digunakan. Tiga pangkalan itu berlokasi di Karang Subi, Mischief, dan Fiery Cross. Selain dibangun landasan terbang, helipad dan hanggar yang bisa menampung 72 pesawat tempur dan beberapa pembom yang lebih besar, Cina terlihat memasang sistem pertahanan udara HQ-9.
Artinya, kini Cina jadi negara terkuat yang beroperasi di Laut Cina Selatan. Salah satu raksasa Asia itu dengan mudah mengirimkan misil jarak jauh, jet tempur, atau pengebom dalam hitungan menit ke negara yang bersengketa dengan mereka seperti Indonesia, Filipina, Vietnam, atau Malaysia.
Bagi pertahanan Indonesia di Natuna, yang hanya berjarak 600 kilometer, kehadiran pangkalan ini membuat otoritas pertahanan Indonesia hanya diberi waktu 15 menit untuk mempersiapkan kedatangan jet tempur Shengyang J-11. Jet ini terlihat oleh AMTI terparkir di Kepulauan Spratly pada Maret lalu.
Bukan tanpa alasan jika Cina semakin agresif di Laut Cina Selatan. Kawasan perairan ini memang strategis. Laut Cina Selatan adalah jalur perdagangan sentral ekspor-impor. Ditaksir nilai alur perdagangan di kawasan itu mencapai 5 triliun dolar AS per tahun.
Selain itu, kawasan ini pun kaya ikan dan gas alam. Wajar jika Cina, Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Vietnam berebut klaim di kawasan itu.
Saat konflik Laut Cina Selatan memanas, ada tren peningkatan kekuatan militer negara-negara ASEAN, khususnya di bidang matra laut dan udara.
Data Stockholm International Peace Research Institute terbaru, yang dirilis April 2017, menyebut dari tahun 2007 hingga 2016, terjadi peningkatan belanja militer negara ASEAN hingga 47 persen. Dalam satu tahun, 2015-2016, kenaikannya bahkan hingga 5,7 persen. Tahun lalu, total belanja alat utama sistem senjata alias alutsista negara ASEAN mencapai 47 miliar dolar AS.
Angka ini lebih besar ketimbang kawasan seperti Amerika Selatan dan Eropa Timur yang notabene potensi konfliknya lebih besar: Amerika Selatan melawan kartel narkoba dan Eropa Timur terjebak konflik dengan Rusia.
Dibedah lebih detil, kehadiran Cina di Laut Cina Selatan membuat anggaran negara ASEAN di sektor pertahanan angkatan laut meningkat selama 10 tahun terakhir. Laporan IHS Jane's Fighting Ships pada 2015 memaparkan kenaikan anggaran untuk sektor angkatan laut di ASEAN berkisar 150 persen dibanding 2008.
Armada Laut Negara ASEAN
Pengamat militer dari Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, Richard A. Bitzinger, menyimpulkan bahwa pertahanan kemaritiman di ASEAN telah bertransformasi dari pasukan sederhana yang berorientasi pada pertahanan pesisir (brown water) menjadi armada yang lebih modern (green water).
Armada modern ini mampu memproyeksikan senjata yang diperlukan untuk bisa berekspansi ribuan mil sampai perairan terluar dari perairan regional. Alat pertahanan pada level green water identik dengan jenis-jenis kapal korvet, fregat, atau yang lebih besar dari itu, termasuk kapal selam.
Modernisasi ini, menurutnya, semakin gencar dilakukan oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan sejak 2008.
Malaysia, misalnya, mendapatkan 2 kapal fregat F2000 dari Inggris dan 6 Gowind Class korvet dari Perancis. Begitu pula Singapura yang mendatangkan 6 kapal fregat kelas Formidable dengan desain Lafayette dari Perancis.
Sedangkan Vietnam, hingga 2016 lalu, sudah menambah 4 fregat Gepard tipe 3.9 buatan Rusia. Tahun ini Rusia membantu dalam memodernisasi sistem pertahanan misil angkatan laut di kapal korvet Moiniya dan Tarantul milik AL Vietnam. Saat ini Vietnam adalah negara dengan AL terkuat di ASEAN. Tahun ini pemesanan 6 kapal selam kelas Kilo dari Rusia sudah komplet beroperasi.
Filipina juga termasuk negara yang paling agresif. Dalam lima tahun terakhir, Filipina mendatangkan belasan kapal fregat dan korvet dari Amerika Serikat, Italia, dan Jepang, meski semuanya armada bekas.
Thailand pun mengantongi delapan korvet dan tujuh fregat, dan tengah mendekati Amerika Serikat guna menambah serta meningkatkan armada kerajaan Thai yang didominasi kapal-kapal lawas.
Ben Moores, peneliti senior di IHS Janes, kepada CNBC mengatakan bahwa alutsista dari Amerika Serikat, khususnya terkait kemaritiman, sudah tidak lagi diminati oleh negara-negara ASEAN.
Vietnam, misalnya, melakukan pengadaan hampir 72 persen senjata dari Rusia sejak 2010. Untuk Indonesia dan Malaysia, ujarnya, kontrak dengan AS hanya berkisar masing-masing 9,7 persen dan 3,3 persen dari total pembelian.
Filipina, yang relatif dekat dengan AS dan menjadi negara paling terancam oleh eksistensi Cina di Laut Cina Selatan, hanya menyediakan slot 30 persen bagi industri militer AS. Untuk Singapura, persentase belanja militer dengan AS memang mencapai 40 persen.
Tapi pembelian Singapura untuk menambah skuadron pesawat tempur F-15E, F-16E, dan helikopter Apache, bukan untuk menguatkan armada laut. Moores menilai pemasok alustsista seperti Perancis, Inggris, Spanyol, Korea Selatan, Jepang, dan Brasil lebih menarik ketimbang AS.
Data Global Fire Power menunjukkan kekuatan TNI AL yang aktif saat ini adalah 7 frigat, 24 korvet, dan 4 kapal selam. Beberapa alutsista ini memang baru. Sebut saja KRI Martadinata, KRI Gusti Ngurah Rai, atau Kapal Selam Nagapasa. Tetapi sisanya, hampir 70 persen alutsista TNI saat ini berumur lebih dari seperempat abad. Modernisasi memang dilakukan, tapi relatif lambat.
Memanfaatkan Kelemahan Cina dalam Pertahanan Kapal Selam
Kekhawatiran yang besar atas potensi konflik di Laut Cina Selatan bisa dilihat dari ekspansi besar-besaran dalam kekuatan kapal selam. Tren membeli kapal selam meningkat selama lima tahun terakhir. Padahal 15-20 tahun lalu banyak negara ASEAN tak punya armada kapal selam.
Dalam satu dekade lampau, Vietnam, Malaysia, dan Singapura tak pernah memiliki kapal selam. Namun, situasinya kini berbeda.
Pada 2010 Singapura membeli 6 kapal selam tipe RSS Archer dari Swedia. Pada 2014, dua merek baru jenis 218S didatangkan dari Jerman. Pada tahun yang sama, Malaysia menerima dua kapal selam dari Perancis tipe Scorpene.
Kabar mengejutkan datang dari Vietnam yang berhasil membeli 6 kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Thailand, yang belum mengoperasikan kapal selam sejak 1950-an, berencana membeli tiga kapal kelas Yuan dari Cina.
Hal sama juga dilakukan Indonesia. Tahun ini TNI sudah mendatangkan satu kapal selam Chang Bogo-class. Pada 2018, akan 2 kapal selam tipe sama didatangkan ke Indonesia. Selain Chang Bogo-class, TNI juga berencana mendatangkan 12 kapal selam tipe Kilo dari Rusia.
Banyak dari kapal selam baru di ASEAN ini termasuk jenis paling modern. Dua kapal selam tipe-218SG milik Singapura yang dibeli dari Jerman, misalnya, dilengkapi sel bahan bakar untuk propulsi udara-independen (AIP). Artinya, kapal selam ini bisa terendam lebih lama ketimbang kapal selam diesel lain.
Di lain sisi, mayoritas kapal selam terbaru di ASEAN dilengkapi sonar anechoic yang didesain modern untuk mengoptimalisasi peledakan torpedo. Kapal selam pun didesain punya kemampuan meluncurkan rudal jelajah antikapal serta dipakai untuk pengintaian, operasi pasukan khusus, atau mine laying.
Felix Chang, peneliti dari The Foreign Policy Research Institute, menganalisis penggunaan kapal selam bakal lebih efektif mengamankan kawasan Laut Cina Selatan. Nilai lebih kapal selam adalah bergerak bak siluman dan mampu menyerang secara mengejutkan.
“Perkembangan teknologi rudal kapal selam memungkinkan tembakannya bisa dengan mudah menenggelamkan kapal perang besar seperti kapal perusak,” tulis Chang.
Menurutnya, penggunaan kapal patroli sangat tidak cocok untuk memantau perairan Laut Cina Selatan, apalagi jika harus berhadapan dengan angkatan laut Cina. Berpaling ke kapal selam sebagai platform untuk patroli sangatlah cocok, tulisnya. Selain bisa menembakkan torpedo, kapal selam mampu meluncurkan rudal jelajah antikapal.
Menurut lembaga analisis Stratfor, kemampuan pertahanan antikapal selam Cina tertinggal jauh di belakang kompetensi tempur angkatan laut lain. Wajar jika beberapa angkatan laut di ASEAN melihat kapal selam sebagai cara mengakali kelemahan Cina tersebut.
“Bagaimanapun Cina tidak memiliki kemampuan melawan kekuatan kapal selam, baik produksi AS maupun kekuatan pesaing terdekat seperti Jepang dan Korea Selatan,” tulis Stratfor.
Cina tidak memiliki peralatan, pelatihan, dan pengetahuan kelembagaan yang efektif untuk lepas dari ancaman kapal selam. Sampai saat ini, Negeri Tirai Bambu ini masih mengandalkan kapal pemburu tipe 037 yang hanya dipersenjatai lambung sonar dan roket antikapal selam.
Kapal ini hanya efektif mengatasi kapal selam yang berenang di lautan dangkal atau di pesisir. Untuk menghadang kapal selam bertenaga nuklir yang cepat dan dalam, Cina bakal kerepotan.
Total Kekuatan Tempur Cina Mengalahkan Semua Negara ASEAN
Cina memang mampu memproduksi kapal selam berkarakter serangan dengan kekuatan konvensional lewat tipe Yuan, Song, dan Ming. Namun, ketidakpercayaan mereka terhadap produk sendiri terlihat dari keputusan Beijing yang membeli kapal selam tipe Kilo dari Rusia.
Meski begitu, kelemahan Cina dalam teknologi kapal selam tetap bisa dibentengi kekuatan armada tempur lain, sehingga tak mudah takluk di Laut Cina Selatan. Kekuatan tempur Cina mampu menghadang total armada pengadaan kapal selam yang dibeli oleh negara-negara ASEAN. Sejak 2009, Cina menambah 14 kapal selam baru dan 21 kapal surface combatant.
Total kekuatan tempur angkatan laut Cina saat ini mencapai satu kapal induk, 51 kapal fregat, 35 kapal perusak, 35 kapal korvet, dan 68 kapal selam. Titambah dengan ketangguhan angkatan udaranya dengan 1.271 pesawat tempur dan 1.385 pesawat pengebom.
Data kepemilikan armada militer Cina menunjukkan keunggulan yang terang-benderang dibandingkan negara-negara di ASEAN. Guna menghadang penguasa baru di Laut Cina Selatan, ASEAN perlu bersatu. Himpunan ASEAN yang hanya konfederasi longgar, bukan proto-aliansi seperti NATO, perlu dinegosiasikan ulang.
Bagaimanapun, aliansi kuat bakal meningkatkan posisi tawar dalam perundingan multilateral. Diplomasi di antara kawasan Asia Tenggara dan kerjasama militer jauh lebih menguntungkan ketimbang cekcok sendiri antar-negara yang (konon) serumpun.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam