tirto.id - “Dilarang melakukan pembunuhan dan penyiksaan!”
Kutipan itu tercantum dalam buku saku terbitan tahun 2000 bertajuk "Pedoman Prajurit TNI Angkatan Darat dalam Penerapan HAM." Buku itu menyebut, serdadu Indonesia harus mematuhi apa yang disebut kepentingan militer dan keamanan negara bukanlah unsur pembenar melakukan penyiksaan. Melukai satu rakyat, demikian tulisnya, sama saja menghapus cerita kepahlawanan.
Mayjen Wuryanto, Kepala Pusat Penerangan TNI, memperkuat semboyan itu. Ia menegaskan, TNI tidak menoleransi pelanggaran apa pun yang dilakukan oleh prajurit, dengan pangkat apa pun. Acuan sanksi, ujarnya, akan diserahkan penuh pada proses hukum sesuai undang-undang.
“TNI saat ini berperang terhadap pelanggaran yang dilakukan prajurit. Kecuali tindak kejahatan tertentu, kami menggelar sidang di peradilan militer secara terbuka. Siapa pun bisa melihat dan menilai,” katanya kepada reporter Tirto melalui pesan singkat, awal Juni lalu.
Mari menguji teks pegangan serdadu TNI dan ucapan Wuryanto, terlebih momentumnya pas dengan hari ulang tahun TNI ke-72, yang dirayakan kemarin lewat parade militer di Cilegon.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat tindak kekerasan telah mencoreng kredibilitas TNI sepanjang Agustus 2016 hingga Agustus 2017. Ada 138 tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan serdadu. Di antaranya mengakibatkan 15 orang meninggal, 124 luka-luka, 63 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 65 peristiwa penganiayaan sipil.
Dari pelaku: 97 kasus oleh TNI Angkatan Darat; 25 kasus oleh TNI Angkatan Udara; dan 16 kasus oleh TNI Angkatan Laut. Kasus-kasus ini tergolong penganiayaan (65 kasus), bisnis keamanan (42 kasus), tindakan yang merendahkan martabat manusia (32 kasus), perusakan (16 kasus), penembakan (10 kasus), dan pendudukan (10 kasus).
Dari lokasi: 93 kali terjadi di Sumatera Utara, 39 kali di Nusa Tenggara Barat, 38 kali di Jawa Barat, 36 kali di Sulawesi Selatan, 23 kali di Jawa Timur, dan 18 kali di Papua. Pelanggaran HAM ini paling sering terjadi pada September, Oktober, dan November 2016.
Kontras menghimpun angka itu dengan metode investigasi dan pengawasan, pendampingan hukum, serta pemantauan media maupun sumber sekunder lain.
Puri Kencara Putri dari Kontras mengatakan tidak semua angka kekerasan oleh TNI bisa dihimpun. "Masyarakat malas melapor karena ujung-ujungnya kualitas keadilan enggak mereka dapatkan,” ujarnya
Beberapa daerah yang tinggi angka kekerasannya terkait kasus-kasus perampasan lahan, dengan cara serdadu dikerahkan buat membela kepentingan bisnis.
“Ribut dalam sektor sumber daya alam. Gesekan dengan warga sipil menggunakan senjata api di lapak bisnis hiburan, judi, dan sebagainya. Masih banyak prajurit yang susah hidupnya di daerah, sehingga agar sejahtera, mereka pakai cara sebagai preman berseragam,” ujar Puri.
Gambaran Kasus Kekerasan TNI
Di antara gambaran kasus itu terjadi pada 10 April 2017 ketika prajurit dari Korps Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU menganiaya waga sipil di Pare, Jawa Timur. Muhammad Rais, sang korban, luka memar akibat dipukul oleh Sersan Mayor Nurcholis. Kasus lain menimpa seorang guru di Boven Digoel, selatan Papua, yang ditembak oleh serdadu TNI pada 28 Maret 2017. Kasus lain lagi adalah seorang warga sipil dibunuh oleh serdadu TNI AD di Lubuk Basung, sebuah kota kecamatan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Kasus perbuatan sewenang-wenang TNI juga terlihat pada peristiwa di Sari Rejo, Medan Polonia, Sumatera Utara. Regu baret jingga dari AU berebut tanah sengketa seluas 260 hektare dengan penduduk sekitar. Meski warga memenangkan gugatan di Mahkamah Agung pada 1995, tetapi penyerobotan lahan terus dilakukan TNI hingga 2016. Warga dan wartawan yang meliput kasus ini jadi target kekerasan dan subjek korban pelanggaran HAM.
Dari temuan Komnas HAM atas kasus di Sari Rejo itu, ada indikasi kekerasan sporadis oleh aparat gabungan TNI AU Lanud Soewondo, Paskhas, Polisi Militer, dan dugaan bantuan dari Batalyon Artileri Medan Angkata Darat. Setidaknya dua warga ditembak, 20 orang luka-luka, selain merusak fasilitas umum dan properti pribadi warga.
Aparat TNI AU juga melontarkan kekerasan verbal yang merendahkan martabat manusia terhadap warga Sari Rejo. Dari rekaman CCTV dan hasil pemeriksaan saksi, ada bukti bahwa salah satu serdadu Angkatan Udara memasuki masjid tanpa melepas sepatu, menendang kotak amal di depan masjid.
Kontras menilai TNI kerap bertindak main hukum sendiri dalam peristiwa yang mengancam kebebasan sipil seperti kasus-kasus pembubaran paksa perpustakaan jalanan di Bandung, penganiayaan kepada sejumlah pekerja media untuk kasus sengketa tanah di Medan, dan penganiayaan bermotif emosi di Maluku Utara dan Sumatera Utara.
Komnas Perempuan juga mencatat ada 31 kasus kekerasan TNI terhadap perempuan sepanjang 2016. Selain itu, ada 6 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam proses penangkapan dan penahanan oleh aparat kepolisian dan TNI di Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, dan Jawa Tengah.
Di Jakarta, dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, ada 57 persen kasus penggusuran paksa yang melibatkan aparat TNI sepanjang 2016. Dari 90 kasus penggusuran paksa, 53 kasus di antaranya mengerahkan aparat TNI. Pada 2015, 65 dari 113 kasus penggusuran paksa melibatkan TNI.
Papua
Berdasarkan catatan Setara Institute, ada 13 pelanggaran HAM selama 2015: 6 kasus di antaranya dilakukan oleh tentara dan polisi. Ada sekitar 100 orang Papua yang jadi korban, 9 orang meninggal, 49 orang luka-luka, dan 42 orang ditangkap oleh aparat TNI dan Polri.
Dari kasus penembakan warga Papua di Paniai, Desember 2014, Komnas HAM menilai pihak TNI "kurang kooperatif" memenuhi permintaan untuk menggelar penyelidikan atas peristiwa tersebut. Ini berbeda dengan respons Polri yang kooperatif dan terbuka, mempersilakan komisioner Komnas HAM memeriksa saksi-saksi.
Papua tetap jadi salah satu wilayah paling termiliterisasi: seorang polisi atau tentara mengawasi 97 warga sipil.
Kasus-kasus lama juga tetap membayangi upaya serius reformasi TNI. Pada 11 November 2001, tokoh Papua Theys Eluay terbunuh oleh prajurit Komando Pasukan Khusus ketika Hartomo menjabat Komandan Satuan Tugas Tribuana 10, sebuah Satgas Kopassus, yang bertugas di Jayapura. Pada 2003, Hartomo didakwa terlibat dalam pembunuhan itu oleh sebuah persidangan dan divonis 3,5 tahun penjara.
Namun, pada 16 September 2016, Hartomo jadi sorotan media lantaran institusi militer mengabaikan jejak masa lalunya dan malah diangkat sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI. Sebelumnya, Hartomo diangkat menjadi Gubernur Akademi Militer di Magelang. Pangkatnya kini adalah Mayor Jenderal.
Baca juga:
Para Diplomat Indonesia dan Pelanggaran HAM di Papua
Catatan Kekerasan HAM pada Zaman Megawati Berkuasa
Ketika Pemerintah Sipil Gandeng Tentara
Perlu Revisi UU TNI untuk Pengawasan Militer
Keterlibatan TNI dalam Supremasi Sipil Harus Dievaluasi
Supremasi Sipil Lumpuh
Minimnya akses publik dan pemantau sipil dalam proses peradilan militer terhadap anggota TNI yang terlibat kekerasan ini telah menyulitkan upaya-upaya transparansi, sebuah amanat penting dalam reformasi tentara pasca-Orde Baru. Akibatnya, peradilan itu kerap meringankan pelaku dan gagal memberi efek jera bagi aparat TNI yang terlibat kekerasan.
Kontras mendesak pemerintah dan DPR merevisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Aspek transparansi bisa terbuka bila pelaku tentara dalam kasus-kasus pidana diproses lewat pengadilan sipil.
Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, mengatakan bahwa seluruh elemen yang menjadi bagian dari fungsi kekuasaan negara harus bertindak sesuai hukum. Jika aparat militer melakukan tindak pidana, ia harus diadili secara fair dan jujur, lantas dievaluasi secara menyeluruh.
“Kalau ada dugaan penyimpangan yang mengakibatkan kekerasan, harus dievaluasi, ditinjau peristiwa itu berdasarkan hukum yang tersedia dan aturan pelaksanaannya termasuk standar operasional prosedur,” ujarnya.
Ketika dikonfirmasi soal tindak kekerasan ini, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menilai para pemantau HAM harus melengkapi datanya lebih rinci.
"Laporkan. Sebutkan namanya. Pangkatnya apa. Syukur lebih lengkap lebih bagus, sehingga Polisi Militer akan melaksanakan proses penyidikan. Sebut pangkatnya, pasti kami akan proses," ujar Gatot saat HUT TNI ke-72 di Cilegon kepada reporter Tirto.
=====
Ralat: sebelumnya ditulis 2011 untuk tahun kejadian Theys Eluay terbunuh. Seharusnya 2001.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam