tirto.id - Sejak 72 tahun berdirinya institusi TNI pada 5 Oktober 1945, peran TNI dalam supremasi sipil masih dinilai belum jelas. TNI bahkan dianggap masih sering mencampuri urusan sipil dalam tugasnya sebagai instasi pertahanan negara.
Dewan Direksi Lokataru, Mufti Makarim menyampaikan TNI adalah instansi yang sangat disiplin terhadap perintah politik atasannya tanpa terkecuali. Namun masalah yang timbul adalah keterlibatan TNI sering di luar kewenangannya.
Mufti pun mengkritik kewenangan TNI dalam RUU Tindak Pidana Terorisme karena menurutnya militer bukan instansi penegak hukum.
“Apakah TNI termasuk salah satu aparat penegak hukum? Kan bukan,” kata Mufti dalam diskusi di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (6/10/2017)
“Jadi kalau dia masuk ke dalam penanganan tindak pidana dia akan masuk ke dalam aparat penegak hukum. Jika dia masuk menjadi aparat penegak hukum, kita kembali ke dwifungsi TNI (ABRI),” tegasnya.
“Itu terjadi di zaman Orde Baru,” kata Mufti yang juga menjadi salah satu penasihat terkait RUU Tindak Pidana Terorisme ini.
Keterlibatan TNI dalam RUU Tindak Pidana Terorisme juga dinilainya belum jelas. Pasalnya, dari 10 fraksi di DPR, Mufti menjelaskan hanya ada 2 fraksi yang menentang keterlibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme, sedangkan 8 fraksi lainnya masih belum tegas menyatakan pendapatnya.
Selain itu, hal lain yang menjadi sorotannya adalah soal regulasi Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan cara pendelegasiannya kepada TNI. Menurut Mufti, pemerintah dan DPR (Komisi I DPR) harus lebih detail membahas hal ini sampai dengan teknis keterlibatan TNI dalam OMSP atau urusan supremasi sipil.
“Menurut saya ini (regulasi) memang perlu dirincikan karena terkait dengan Operasi Militer Selain Perang (yang ikut dalam urusan sipil),” terangnya.
Menanggapi hal ini, mantan dosen Universitas Pertahanan, Rujito, beranggapan bahwa tidak ada niat TNI untuk kembali memasuki masa dwifungsi ABRI/TNI.
Namun, bila memang ada pemberitaan yang mengatakan TNI mencoba untuk memasuki ranah sipil, ia menegaskan bahwa TNI AU punya sikap tersendiri terhadap hal itu.
“TNI itu kan ada 3, matra darat, matra laut, dan matra udara. Kalau katakanlah yang sekarang ini yang sering disorot oleh media kebetulan yang dari matra darat, bukan berarti matra laut dan matra udara juga seperti itu. Kita punya sikap sendiri,” kata Rujito di depan para peserta seminar Dinamika Reformasi TNI itu.
Anggota Lemhanas ini tidak menyalahkan petugas sipil secara keseluruhan, tetapi seharusnya sipil – dalam hal ini polisi – bisa memanfaatkan TNI dengan lebih baik lagi.
Rujito juga mendukung TNI memasuki ranah sipil untuk menjaga keamanan negara agar lebih terjaga sehingga polisi tidak harus bekerja sendiri.
“TNI dilatih begitu hebat, ini yang perlu diingat. Alutsistanya mahal. Kemudian uang yang dipakai untuk training dan education juga mahal. Terus kalau dia dibiarkan di dalam barak menunggu saja, sedangkan ancaman itu nyata di depan: ancaman terorisme, radikalisme, dan antar negara sudah jelas ada di situ, kalau memang polisi tidak bisa bekerja sendiri, ayo dimanfaatkan ini,” kata dia.
Sementara itu, peneliti P2P-LIPI, Sarah Nuraini Siregar mengatakan peran TNI dalam supremasi sipil memang belum diatur secara jelas, terutama soal keamanan. Regulasi yang dibuat, kata dia, malah menciptakan penafsiran yang memicu terjadi bentrokan antara Polri dan TNI di lapangan.
Sebagai contoh, dalam penanganan teroris Santoso di Poso atau Gerakan Aceh Merdeka di Aceh yang menurutnya memunculkan konflik antara TNI-Polri. Di satu sisi TNI merasa porsi kewenangannya berkurang karena hanya ditempatkan di bagian pertahanan dan juga terkesan dijadikan ‘pemadam kebakaran’ oleh polisi untuk masalah keamanan ketika Polri sudah kesulitan menangani masalah terorisme.
“Akibat perbedaan kepentingan inilah terjadi benturan di lapangan. Salah satu contoh kasusnya adalah bentrok bersenjata antara Batalion Artileri Medan dengan satuan Polri di Binjai,” terang Sarah.
Selain itu, contoh supremasi sipil yang dilanggar oleh TNI dalam reformasi militer salah satunya adalah pendapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang berseberangan dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian soal isu dugaan makar di Indonesia.
Menurut Sarah, Tito sebagai Kapolri yang menjaga keamanan mempunyai kewenangan untuk menjelaskan bahwa ada ancaman makar yang mungkin terjadi di Indonesia. Sedangkan Gatot sebagai bagian pertahanan malah menampik dugaan tersebut dan menyatakan bahwa kabar itu hanya untuk menakuti rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, Sarah menilai perlu adanya aturan tegas yang mengatur hubungan antara TNI dengan Polri.
“Jika hal ini berlanjut terus, sementara kelompok politik sipil ‘terpecah’ dan kurang serius dalam menerjemahkan aturan-aturan teknis mengenai hubungan TNI-Polri, maka bukan tidak mungkin militer perlahan masuk dalam ruang politik dan menjadi kekuatan penyeimbang dari kekuasaan otoritas sipil itu sendiri,” tegas Sarah.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto