tirto.id - Saling memuji sebagai pribadi yang Pancasilais. Demikian potongan dialog antar kedua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, dalam Debat Pilpres ke-4 di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019).
Prabowo Subianto mula-mula mengatakan dirinya dan Jokowi secara esensi tidak jauh berbeda. “Saya percaya Bapak Jokowi adalah seorang Pancasilais, patriot, dan nasionalis. Beliau dilantik sebagai presiden pada 2014, saya datang dan memberi hormat.”
Jokowi kemudian membalas, “Saya juga percaya Pak Prabowo itu Pancasilais, nasionalis, dan patriot.”
Pujian itu dilontarkan sebelum Prabowo mengeluh bahwa di pihak Jokowi ada yang menuduhnya sebagai pembela khilafah hingga melarang tahlilan. Jokowi menjawab jika ia juga jadi korban tuduhan selama 4,5 tahun memimpin Indonesia. “Dituduh PKI, saya biasa-biasa saja, tak pernah saya jawab.”
Penonton riuh sejenak. Bagian tersebut menjadi yang paling menarik selama kedua paslon memasuki dialog bertema ideologi. Sayangnya, sejak diberi kesempatan untuk menyampaikan visi-misi, Jokowi maupun Prabowo membeberkan hal-hal umum yang sifatnya normatif.
“Pancasila adalah ideologi final. Hasil kompromi besar, kecemerlangan hasil founding fathers kita, yang berhasil mempersatukan agama, etnis, budaya, bahasa. Kami bertekad untuk mempertahankannya sampai titik darah terakhir. Kalau ada yang mengubah [status Pancasila sebagai ideologi final], akan saya hadapi dengan seluruh kekuatan yang ada dalam diri saya,” kata Prabowo.
“Pancasila adalah kesepakatan para pendiri dan pemimpin bangsa, dari berbagai daerah, berbagai organisasi, berbagai ras, berbagai suku, berbagai agama. Oleh sebab itu kewajiban kita bersama adalah menjaga, menjalankan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Jokowi.
Hampir tidak terdengar seperti debat. Kedua paslon tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil terkait dasar negara, baik secara teoretis maupun praktik penerapannya.
Meski waktu yang diberikan memang sempit, keduanya luput atau memang tidak mau membincang isu-isu terkini yang berpotensi sebagai ancaman dari dalam. Polemik kepulangan eks warga ISIS, atau dampak dibubarkannya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), semua tenggelam oleh jargon-jargon nasionalistik. Tepatnya, isu penting itu tenggelam oleh adu retorika yang aman-aman saja terkait Pancasila.
Direktur Direktorat Relawan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ferry Mursyidan Baldan, sebelumnya berkata pada Tirto bahwa kubunya memang tidak akan membahas HTI. Ia juga tak ambil pusing perihal dukungan beberapa orang eks HTI ke Prabowo.
"Ngapain kita larut pada framing yang dibumbui micin? Kalau misalnya begitu, kan betapa banyak kepala daerah atau ketua partai mendukung Pak Jokowi adalah koruptor. Apakah kita bilang bagaimana sikap bapak (Jokowi) pada koruptor? Kita enggak mau begitu,” ujarnya.
Halili Hasan, Dosen Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum UNY, menilainya sebagai strategi politik. Jargon-jargon seperti “Saya Pancasila” atau “Pancasila Harga Mati” adalah senjata paling aman. Namun jika membicarakan ancaman Pancasila, masing-masing kubu punya potensi masalah yang serupa.
“Jika Jokowi bicara soal menguatnya kelompok kanan, itu kan tidak menguntungkan karena berpotensi “menyakiti” kelompok konservatif relijius yang ada di belakang Ma’ruf Amin,” katanya melalui sambungan telepon, Rabu (30/3/2019).
“Bagi kubu sebelah akan lebih parah lagi, karena bisa menyinggung Al-Khaththath dan yang satu barisan,” kata pria yang juga bergiat di SETARA Institute itu.
Apa yang Halili paparkan, jika ditelaah dalam spektrum yang lebih luas, adalah bentuk politik identitas yang sedang dijalankan oleh kedua kubu. Ia menyayangkan manuver tersebut, sebab menurutnya politik identitas semestinya tidak dipakai sebagai alat untuk mencapai kemenangan dalam persaingan politik elektoral.
“Jangan sampai kita mengklaim diri Pancasilais tapi kita masih menggunakan politik identitas untuk memenangkan politik elektoral. Kan gak nyambung. Jika masih dilakukan, kita sebenarnya sedang menghancurkan Pancasila dari dalam, karena pada dasarnya kita sedang memecah belah masyarakat kita.”
Debat pada malam kemarin dipandu oleh presenter berita Zulkifar Naghi dan Retno Pinasti. Masih dalam sesi debat bertema ideologi, keduanya melempar pertanyaan dari panelis tentang bagaimana cara menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai Pancasila ke generasi muda tapi tidak cara indoktrinasi.
Prabowo menjelaskan pentingnya memasukkan nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum di taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Jokowi juga demikian. Bedanya, ia ingin nilai-nilai itu diajarkan sejak level pendidikan anak usia dini.
Mengedepankan pentingnya masuknya Pancasila ke dalam pendidikan formal seperti itu adalah cara pandang yang keliru. Tidak hanya menurut Halili, tapi juga pengamat pendidikan lain, termasuk Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Terlalu mengandalkan pendidikan formal, kata Halili, hanya akan membuat manusia Indonesia tak Pancasilais saat sudah keluar ruang kelas.
“Ada sejumlah fenomena yang cukup mengkhawatirkan dari mengentalnya politik identitas. Seperti munculnya perumahan syariah, misalnya, atau segregasi yang didasarkan pada homogenitas elemen SARA. Ini sifatnya eksklusif, sehingga praktik Pancasila-nya tidak terpenuhi, meski diajarkan di pendidikan formal sekalipun.”
Dalam situasi yang lebih ekstrem, pegiat Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi pernah berkata pada Tirto bagaimana pendidikan Pancasila yang tidak tepat akan membuat proses deradikalisasi terhambat.
Fahmi mengamati pernyataan Jokowi dan Prabowo yang dimuat di media massa maupun media sosial sebelum debat capres berlangsung. Dari sana, ia menyimpulkan bahwa kedua paslon belum memberikan tawaran yang menarik.
“Prabowo memang sempat menyebut kemiskinan sebagai penyebab terorisme, tapi itu juga tidak sepenuhnya tepat. Kemiskinan hanya salah satu potensi penyebab orang kehilangan harapan, putus asa, atau kecewa," katanya, Rabu (27/3/2019).
Sementara itu, menurut Fahmi, pendekatan pemerintahan Jokowi dalam upaya memberantas ideologi ekstrem selama hampir lima tahun terakhir ternyata tidak berdampak optimal. Fahmi mengacu pada hasil survei lembaga jajak pendapat Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terkait persepsi masyarakat terhadap ISIS yang dipublikasikan pada bulan Juni 2017.
Survei menyebut responden yang menyetujui gagasan ISIS naik dari 0,8 persen di tahun 2016 menjadi 2,7 persen setahun setelahnya. Responden yang memandang ISIS sebaiknya dilarang turun dari 95,3 persen di tahun 2016 menjadi 91,3 di tahun 2017. Jumlah responden yang tidak menjawab juga berkurang dari 4,4 persen menjadi 1,2 persen.
Fahmi berpendapat akar persoalannya karena pemerintah mengandalkan Pancasila sebagai jargon, sehingga Pancasila dianggap sebagai resep jitu bagi semua penyakit. Ia justru meminta pemerintah fokus kepada faktor-faktor penumbuh suburnya ideologi ekstrem sembari mengajak masyarakat berfikir secara lebih mendalam.
Debat kemarin malam, menurut Halili, tidak sepenuhnya membosankan. Ia mengambil sekurang-kurangnya dua poin yang menurutnya menarik.
Pertama, tentang pentingnya bertoleransi sebagaimana diungkapkan Jokowi. Toleransi dalam pandangan Halili adalah contoh etika kolektif yang paling merepresentasikan fungsi Pancasila sebagai tata kelola kebhinekaan masyarakat Indonesia.
“Bisa dimulai dari pengertian yang paling sederhana, yaitu menerima yang berbeda. Lalu ke pengertian yang lebih kompleks. Misalnya, meski satu kelompok punya kekuatan untuk mengintervensi, melakukan tindakan di atas hukum, atau aksi main hakim sendiri, kelompok itu mampu menahannya,” katanya.
Kedua, mengutip Jokowi dan Prabowo, ia menggarisbawahi soal role model orang-orang di level elite. Halili menerjemahkannya ke lingkup yang luas, baik elite politik, elite ekonomi, elite sosial, dan elite-elite di segi kehidupan yang lain.
“Termasuk tokoh religius, tokoh masyarakat, mereka semua punya peranan penting dalam memberikan contoh bagaimana menghidupkan Pancasila ke dalam realita. Selama ini kan seperti wacana saja. Kalau dijadikan teladan, maka kita yakin Pancasila itu bukan cuma utopia belaka,” pungkasnya.
Editor: Maulida Sri Handayani