Menuju konten utama

Prabowo Salahkan Presiden Sebelum Jokowi, Apa Implikasinya?

Pernyataan Prabowo membuat beberapa politikus Demokrat keluar dari arena debat Pilpres 2019.

Prabowo Salahkan Presiden Sebelum Jokowi, Apa Implikasinya?
Pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengikuti debat kelima Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019). tirto.id/Andrey gromico

tirto.id - Pernyataan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto yang menyebut ada kesalahan besar yang dilakukan presiden sebelum Joko Widodo menuai kontroversi. Prabowo menyampaikan hal tersebut dalam Debat ke-5 Pilpres 2019 yang digelar kemarin, Sabtu (14/4/2019).

Prabowo mengkritik kebijakan ekonomi Indonesia yang salah arah. Namun, Prabowo tidak fokus menyalahkan Jokowi.

"Jadi saya tidak menyalahkan Bapak, karena ini kesalahan besar, kesalahan besar presiden-presiden sebelum bapak, kita semua harus bertanggung jawab. Benar, itu pendapat saya," kata Prabowo saat debat.

Usai Prabowo menyampaikan hal tersebut, sejumlah politisi Partai Demokrat mendadak keluar dari lokasi Debat Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta. Mulai dari Ketua DPP Bidang Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan, hingga Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik.

Bahkan, melalui cuitan di akun Twitter-nya, @RachlanNashidik, Wasekjen Partai Demokrat itu merasa Prabowo menyerang Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Pak Prabowo sebenarnya sedang berdebat dengan siapa? Kenapa justru Pak SBY yang diserang?" tulis Rachland.

Suara Kader Demokrat Bisa Terpecah

Direktur Lingkar Kajian Komunikasi Politik (LKPP), Adiyana Slamet, berpendapat pernyataan Prabowo bisa memecah suara kader Partai Demokrat. Adiyana menilai pernyataan tersebut sebagai sindiran terkait soliditas internal Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.

“Ini berkaitan juga dengan posisi Demokrat, sebagai sindiran keras untuk partai itu yang kemudian banyak kader Partai Demokrat yang mendukung Jokowi,” kata Adiyana saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (14/4/2019).

Menurut Adiyana, sindiran tersebut bisa berimbas pada berbaliknya dukungan kader Demokrat di daerah terhadap Prabowo.

“Demokrat dari awal koalisi ke Prabowo, tapi di tingkat grass roots kader Demokrat terbelah karena tingkat pusat tidak ketat dalam mengomunikasikan politiknya,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno. Ia menilai ada indikasi kegaduhan di internal Partai Demokrat yang dipicu pernyataan Prabowo. Ia menyebut twit Rachlan sebagai klimaks kekecewaan kader Demokrat.

Menurut Adi, pernyataan Prabowo tidak berpengaruh negatif pada Jokowi, melainkan justru bisa memantik kisruh di internal koalisi pendukungnya.

“Demokrat selama ini tidak terlalu all out mendukung Prabowo, tentu mereka (BPN) tidak ingin kehilangan Demokrat dan bisa menimbulkan suasana tidak kondusif,” ujar Adi.

Dampak lainnya, tambah Adi, terbuka kemungkinan Demokrat tidak menggerakkan mesin politiknya untuk pemenangan Prabowo-Sandiaga di Pilpres 2019. “Sayang sekali kalau kehilangan sejumlah [suara] penting dari Demokrat, bahkan bisa abstain mendukung Prabowo."

Demokrat Tetap di Koalisi Prabowo

Pernyataan Prabowo juga ditanggapi Komandan Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY, yang merupakan putra pertama SBY. Menurut AHY, pernyataan Prabowo yang menyinggung presiden-presiden sebelum Jokowi tak seharusnya terucap.

Jika pembangunan dirasa belum tuntas dan masih banyak menyisakan kekurangan di sana-sini, AHY mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh terbatasnya masa kepemimpinan.

"Yang dilakukan oleh pemerintah terdahulu wajib diapresiasi. Karena kepemimpinan dibatasi undang-undang, sehingga ada hal-hal yang belum tuntas. Yang kita inginkan adalah pemimpin yang menghargai pendahulunya," ujar AHY usai menonton Debat Pilpres 2019 kemarin.

Meski demikian, AHY menegaskan bahwa partai Demokrat tak akan keluar dari koalisi partai pendukung Prabowo-Sandiaga. "Kami punya tugas bukan hanya berkontribusi untuk pemenangan pilpres, tapi juga partai dalam pemilu legislatif."

Penjelasan BPN

Sementara itu, Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Fadli Zon, mengatakan maksud Prabowo menyebut ada kesalahan besar di era kepemimpinan sebelum Joko Widodo adalah soal kekayaan negara.

Fadli menyebut Prabowo menekankan Pasal 33 UUD 1945 soal kekayaan negara. Namun, memang ada kepala negara yang terkesan menafikan hal tersebut dan cenderung bersifat kapitalis.

"Saya kira itu yang mau diingatkan Pak Prabowo mungkin perjalanan bangsa kita ada yang menyimpang dari situ. Ada yang liberal atau terlalu kapitalistik saya kira yang diingatkan," kata Fadli di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

Menurut Fadli, apa yang disampaikan Prabowo sifatnya mengingatkan dan bukan merendahkan. Fadli mengatakan di setiap kepemimpinan pasti ada kekurangan. Namun, ia tak mau mengungkap siapa yang dimaksud Prabowo.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Rachmawati Soekarputri menyatakan kemungkinan yang disindir Prabowo adalah presiden selain Sukarno. Nama itu mengerucut kepada saudarinya sendiri, Megawati Soekarnoputri. Bagi dia, Megawati tidak melakukan banyak hal saat menjadi presiden.

"Jelas Megawati tidak melakukan apa-apa, malah justru di zamannya dia, dia mengubah konstitusi kita empat kali sehingga konstitusi kita yang sudah diakui atau dijadikan harga mati itu berubah menjadi konstitusi yang membawa liberal kapitalistik dan inilah hebatnya sekarang," ujarnya.

Baca juga artikel terkait DEBAT PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika, Felix Nathaniel & Hendra Friana
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Maulida Sri Handayani