tirto.id - Sementara jual beli isu dalam pemilu 2019 lebih banyak berisi perebutan klaim mengenai kubu mana yang paling Islam, ada satu hal yang mengemuka dalam perang retorika antar-partai belakangan ini. Hal itu adalah upaya partai-partai Islam mengampanyekan kebijakan berlandaskan syariat Islam atas nama Pancasila.
Isu ini penting, karena dari sanalah upaya perumusan kebijakan dimulai. Partai tak bisa meloloskan suatu rancangan undang-undang atau mencabut/merevisi undang-undang atas nama Islam semata. Partai yang bersangkutan harus menerjemahkan aspirasi keislamannya dalam kerangka ideologi negara yang termaktub dalam konstitusi itu untuk kemudian membentuknya menjadi undang-undang. Dalam bahasa UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan: “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.”
Kenyataan yang kita saksikan kini: Meski sebagian besar partai yang kerap disebut sekuler, baik di koalisi kubu petahana maupun penantang, secara resmi menyatakan Pancasila sebagai landasan ideologinya, partai-partai Islam (di kedua kubu) akan menolak jika disebut anti-Pancasila.
Perang retorika belakangan bahkan tampak menandakan ada gejala apropriasi Pancasila oleh partai-partai dan kelompok Islam(is): bahwa penafsiran Pancasila yang benar tidak mungkin menolak usulan kebijakan yang bernafaskan syariat Islam.
Contoh
Sejumlah contoh bisa kita ambil dari isu-isu menyangkut peraturan daerah (perda) syariah, poligami, pencegahan kekerasan seksual, penodaan agama, dan perluasan pidana zina.
Ketika Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang mendukung petahana, menyatakan sikap politik menolak perda syariah—yang membuat ketua umumnya Grace Natalie dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan penodaan agama—tanggapan kontra muncul dari dua partai Islam dari kedua kubu: Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini menyatakan, “PSI tak paham utuh Pancasila dan UUD 1945 yang menempatkan agama dalam posisi penting, yang menjiwai semangat kebangsaan, dan yang terpenting menjadi landasan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Sementara itu, Waketum PPP Arwani Thomafi menyatakan, “Adopsi hukum agama (syariah) baik pada tingkat UU maupun perda sesungguhnya merupakan pencerminan negara hukum Pancasila yang dijiwai semangat Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Jadi, kedua (orang) partai ini berpendapat bahwa perda syariah pada dasarnya selaras dengan Pancasila. PPP adalah pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol (masuk Prolegnas 2019), sementara PKS di masa kampanye ini menjanjikan RUU Perlindungan Ulama, Tokoh Agama, dan Simbol Agama.
PKS juga menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (masuk Prolegnas 2019) atas dasar bahwa definisi kekerasan seksual dan cakupan tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU itu “berperspektif liberal dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran.”
Ketika PSI menyatakan sikap politik menentang poligami, PKS menyatakan bahwa PSI “hanya mencari sensasi” untuk mengambil “ceruk suara yang anti-syariah”. Sembari mengingatkan bahwa “yang anti-syariah belum memahami Pancasila dengan sebenarnya”, PKS mencontohkan bahwa sejumlah tokoh bangsa berpoligami, termasuk penggali Pancasila sendiri, Sukarno.
PSI belakangan juga menyampaikan ingin mencabut UU Pencegahan Penodaan Agama (UU PPA). Sejauh ini PSI menjadi partai yang paling frontal dalam isu ini dan karena itu harus bersiap menghadapi tentangan dari partai-partai dan sejumlah kelompok Islam. UU PPA sudah pernah diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009-2010, dan keputusannya adalah UU ini konstitusional.
Sebagaimana terbaca dalam Putusan MK terhadap pengujian UU PPA, rujukan-rujukan terhadap Pancasila, khususnya sila pertama, justru lebih sering diutarakan oleh mereka yang mendukung dipertahankannya UU PPA. Argumen mereka secara umum ialah bahwa kebebasan beragama dalam konteks Indonesia harus diletakkan dalam kerangka Pancasila.
Pendapat MK dalam Putusan itu sendiri menyatakan bahwa falsafah negara (Pancasila) mengenai agama mengejawantah dalam UUD 1945 melalui Pasal 29 ayat 1 (“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa) dan Pasal 28J ayat 2 “yang menentukan bahwa nilai-nilai agama adalah salah satu pertimbangan untuk dapat membatasi hak asasi manusia melalui Undang-Undang”.
Pendek kalimat, Pancasila mengimplikasikan “nilai-nilai agama” sebagai pembatas hak asasi manusia, satu pembatas yang tak disebut dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia.
Contoh lain terkait dengan upaya partai-partai Islam untuk merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) agar memperluas cakupan pidana zina, yang bukan sekadar mencakup mereka yang sudah menikah (adultery), tapi juga yang belum menikah (fornication), tentu juga dengan dasar Pancasila.
Upaya perluasan pasal zina ini dibawa ke MK dan pada akhir 2017 lalu. Meski MK akhirnya memutuskan untuk tak mengabulkan upaya uji materi ini, yang relevan disebut di sini ialah bahwa empat dari sembilan hakim MK menyampaikan pandangan berbeda (dissenting opinion) yang menyatakan perlunya dewan legislatif untuk mengakomodasi petisi ini.
Alasannya, sebagaimana dinyatakan keempat hakim MK itu dalam dissenting opinion mereka, “Dalam Pancasila, nilai ketuhanan dibaca dan dimaknai secara hierarkis. Nilai ketuhanan merupakan nilai tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini…. Konsepsi ini menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia harus senantiasa sejalan dan sama sekali tidak boleh bertentangan dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai agama….”
Lebih mengerucut, pandangan itu berujung pada kesimpulan antara lain bahwa pasal zina dalam KUHP (delik overspel) yang masih dipakai kini adalah warisan Belanda yang masih menganut cara pandang ‘sekuler-hedonistik’, cara pandangan yang mempersempit ruang lingkup—dan karena itu belum sesuai dengan—makna zina menutur nilai agama”.
Dasar Penafsiran
Mengapa partai-partai dan kelompok Islam(is) itu menyatakan bahwa aspirasi syariat mereka selaras dengan Pancasila? Dasar penafsirannya sederhana saja: sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti pengakuan dan kewajiban negara untuk mengakomodasi nilai-nilai agama.
Ini juga berarti bahwa kebijakan yang bertentangan dengan semangat atau nilai-nilai keagamaan (seringnya: nilai-nilai Islam) secara otomatis juga bertentangan dengan Pancasila dan karena itu, bagi mereka, wajib ditentang oleh kelompok yang mendaku berkomitmen pada Pancasila.
Logika inilah yang mendasari corak aspirasi keislaman yang dikampanyekan, misalnya, oleh Front Pembela Islam (FPI), melalui slogan “NKRI Bersyariah”. Pemimpin FPI, Habib Rizieq Shihab, menulis tesis magisternya mengenai Pancasila dan syariat Islam, yang isi dari gagasan-gagasannya mendasari ideologi “NKRI Bersyariah”-nya FPI itu.
Argumentasi Pancasila ala NKRI Bersyariah ini ringkasnya begini. Dekrit Presiden Sukarno 5 Juli 1959 tentang Kembali kepada UUD 1945 menyatakan bahwa “Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.” Sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta berbunyi, “Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloknya.”
Bagi FPI, frasa bahwa Piagam Jakarta “”mendjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi” berperan kunci, masih berlaku hingga sekarang, dan harus diingat oleh tiap anggota parlemen. Meski tak menggunakan slogan yang sama, partai-partai Islam pada dasarnya juga menganut pandangan ini, sebagaimana tercermin dalam retorika mereka dalam contoh-contoh di atas.
Lalu bagaimana?
Dalam pembacaan saya terhadap diskursus mengenai Pancasila belakangan ini, terdapat kesenjangan wacana antara tafsir Islamis terhadap Pancasila dengan tren umum wacana ini di kalangan intelektual publik.
Sementara para intelektual publik kerap merujukkan tafsir Pancasila terhadap pidato dan tulisan-tulisan Sukarno, bagi kaum Islamis, modus penafsiran semacam ini tak berterima. Alasannya simpel: Pancasila yang ada sekarang tak sama dengan Pancasila versi Sukarno.
Lebih dari itu, kalau benar bahwa Pancasila adalah hasil kompromi para pendiri bangsa, khususnya antara golongan nasionalis dan Islamis di tahun 1945, ia harus ditafsirkan dalam kerangka kompromi ini, bukan pada Sukarno. Penafsiran Pancasila ala Islamis ini adalah tantangan bagi para intelektual publik. Di level lembaga negara, ia menjadi tantangan khusus bagi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Apakah Pancasila bersifat akomodatif terhadap perda syariah? Apakah Pancasila mengharuskan perluasan pasal zina dalam KUHP? Apakah Pancasila meniscayakan adanya UU Pencegahan Penodaan Agama? Seberapa inklusifkah Pancasila terhadap syariat Islam?
—Ini adalah pertanyaan-pertanyaan spesifik dan konkret yang perlu dihadapi dan dibahas, alih-alih cenderung menyelam dalam abstraksi filosofis dan mengglorifikasi Pancasila, seolah-olah Pancasila tidak tanpa liabilitas tersendiri.
Tanpa pembahasan serius dalam isu-isu spesifik ini, para pendukung demokrasi dan masyarakat terbuka harus bersiap-siap menghadapi tren penafsiran Pancasila yang cenderung mengayun ke kanan.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.