tirto.id - “Saya sampaikan bahwa PPKM Mikro dan lockdown memiliki esensi yang sama yaitu membatasi kegiatan masyarakat. Untuk itu tidak perlu dipertentangkan.”
Pernyataan di atas diungkapkan Presiden Joko Widodo saat konfrensi pers, Rabu (23/6/2021) soal langkah pemerintah dalam penanganan COVID-19 di Indonesia yang melonjak drastis. Ia menjawab keinginan publik tentang dorongan agar kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau lockdown akibat lonjakan kasus COVID-19.
Jokowi lantas menyebut kenaikan kasus terjadi akibat varian baru yang lebih menular. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan tetap menerapkan PPKM mikro dengan dalih menyelesaikan masalah akar, yakni komunitas. Di sisi lain, Jokowi mengaku kebijakan PPKM mikro diambil dengan memperhitungkan kondisi ekonomi, politik, sosial, dan pengalaman negara lain.
Menurut mantan Wali Kota Solo itu, PPKM mikro bisa berjalan optimal bila tahap pelaksanaan PPKM mikro berjalan dengan baik.
“Jika PPKM mikro terimplementasi dengan baik, tindakan-tindakan di lapangan yang terus diperkuat semestinya laju kasus bisa terkendali,” klaim Jokowi.
Sontak, pernyataan Jokowi soal PPKM mikro dan lockdown esensinya sama menuai kritik. Sebab, meski sama-sama membatasi, tapi keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda. Ahli Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menyebut, dasar hukum lockdown berbeda dengan PPKM mikro.
“Lockdown itu bahasanya karantina wilayah, kalau PPKM mikro itu ini turunan dari PSBB. PPKM mikro itu nggak dikenal dalam undang-undang," kata Trubus kepada reporter Tirto, Kamis (24/6/2021).
Trubus mengingatkan, lockdown mengacu pada UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Menurut Trubus, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rakyat bila negara bestatus lockdown sesuai UU Karantina Kesehatan. Ia melihat, negara enggan mengambil langkah tersebut karena berbiaya mahal.
Trubus mencontohkan DKI Jakarta sebagai daerah dengan alokasi anggaran COVID-19 terbesar, yakni sekitar Rp11 triliun tidak bisa membiayai seluruh rakyat Jakarta yang notabene mencapai 9 juta per bulan dengan asumsi biaya makan sehari Rp20 ribu per hari.
Kemudian, negara juga wajib menegakkan hukum sesuai UU Kekarantina Kesehatan jika menerapkan lockdown. Rakyat bisa terancam penjara 1 tahun dengan denda Rp100 juta jika melanggar sesuai Pasal 93 UU Kekarantina Kesehatan.
Sementara itu, kata dia, PPKM mikro lebih luwes karena aturan yang abu-abu meski berstatus turunan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. PPKM mikro tidak memaksa negara untuk memenuhi kebutuhan sesuai ketentuan lockdown dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, mobilitas masyarakat tetap bisa berjalan.
Dalam pandangan Trubus, penerapan PPKM mikro tidak akan sebaik penerapan lockdown dalam mencegah penularan akibat perbedaan ketentuan tersebut.
“Nggak efektif kalau dengan PPKM mikro. Masyarakat menganggap sama PSBB sama saja kondisinya. Kan mereka merasa sudah divaksin, melaksanakan prokes sudah selesai. Kalau di-lockdown itu satu masyarakat perilaku harus hati-hati karena di-lockdown [pelanggarnya] bisa kena Pasal 93," kata Trubus.
Masdalina Pane, epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemologi Indonesia mempersoalkan efektivitas PPKM mikro daripada lockdown. Ia menilai PPKM mikro tidak akan efektif jika terjadi lonjakan kasus secara signifikan.
“PPKM mikro itu efektif dalam kondisi normal. Kalau kondisinya normal tidak ada strain baru (varian baru COVID-19), tidak ada peningkatan kasus yang begini besar karena strain baru, itu baru efektif," ujar Masdalina Pane kepada reporter Tirto, Rabu (23/6/2021).
Masdalina mendorong pemerintah meresons cepat, selain soal 3T (testing, tracing dan treatment). Respons cepat itu melalui seleksi pasien berdasarkan tingkat kedaruratan, penyediaan lokasi isolasi tidak bergejala serta menambah tempat tidur.
Di sisi lain, kata dia, pemerintah juga harus mengelola kemampuan tenaga kesehatan. Setelah hal tersebut terpenuhi, kata dia, pemerintah baru bisa masuk ke intevensi komunitas sesuai PPKM.
“Intervensi komunitas, kembali melakukan pengetatan. Berhenti mengeluarkan istilah-istilah. Di undang-undang hanya ada karantina rumah dan karantina wilayah. Mungkin karantina wilayah itu seperti lockdown. Jangan seperti di awal ada PSBB [Pembatasan Sosial Berskala Besar] tapi banyak sektor yang masih jalan," ujarnya.
Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengakui pernyataan Jokowi benar bila melihat esensi dasar kegiatan PPKM mikro dan PSBB. Akan tetapi, ia melihat ada perbedaan besar dalam pelaksanaan PSBB atau lockdown dengan PPKM mikro.
"Jadi kalau PSBB itu sebetulnya yang berbasis regulasi betul-betul tidak ada pergerakan di semua sektor. Jadi seperti kota mati lah gitu. Adapun PPKM mikro masih ada yang 25 persen, 50 persen macam-macam. Jadi itu perbedaannya," kata Dicky kepada reporter Tirto, Kamis (24/6/2021).
Dicky melihat permasalahan bukan pada penerapan PPKM mikro atau PSBB dan lockdown. Ia menilai, fokus yang menjadi perhatian adalah penerapan regulasi di lapangan. Jika pemerintah sudah memutuskan PPKM, maka pemantauan dan pelaksanaan harus dilakukan.
"Selama ini pemantauannya, monitoringnya, di lapangan itu lemah sehingga angkanya itu 75 persen atau 50 persen sebelumnya, tapi di lapangan tidak terjadi, hanya di atas kertas saja. Yang ada jalanan ramai, kantor ramai, meeting juga offline kan. Akhirnya klaster terus terjadi tanpa bisa dikendalikan," kata Dicky.
Saat ini, pekerjaan rumah terbesar adalah memastikan pembatasan mobilitas tersebut terjadi sesuai PPKM mikro. Sebagai contoh, apakah mungkin kantor-kantor patuh dengan ketentuan PPKM mikro, terutama bagi pegawai yang menerima gaji atau pendapatan seperti pegawai pemerintahan, BUMN maupun swasta.
"Ini sekarang adalah PR-nya adalah bagaimana kalau bicara membatasi mobilitas itu yang paling memungkinkan itu orang yang bekerja yang menerima gaji atau pendapatan secara tetap seperti pegawai pemerintah, BUMN ini misalnya atau swasta. Ini yang harus dibatasi, ini yang harus dimonitoring dan terutama lihat bos-bosnya," kata Dicky.
Dicky menambahkan, “Kalau bos-bosnya gak punya sense of crisis, gak peduli dia pemerintah mengatakan [yang masuk] 75 persen tetap saja disuruh masuk anak buahnya. Ini yang harus diberi sanksi," tegas Dicky.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz