tirto.id - Penambahan kasus harian positif COVID-19 semakin melonjak hampir menyentuh angka 10 ribu pasien dalam sehari. Diprediksi lonjakan kasus terjadi dan akan mencapai puncaknya pada akhir Juni atau awal Juli 2021. Sebelum menjadi gelombang besar yang fatal, pembatasan sosial skala lebih besar dinilai perlu segera dilakukan.
Lonjakan kasus COVID-19 terjadi usai Idulfitri pada 13 Mei 2021 kemarin. Pada 15 Mei penambahan sebanyak 2.385 kasus, itu merupakan titik terendah sejak terjadi tren kenaikan akhir Agustus 2020 hingga mencapai puncaknya 14.518 pada 30 Januari 2021.
Namun sejak 15 Mei, penambahan kasus harian berangsur melejit, sampai pada 13 Juni kemarin penambahan kasus harian mencapai 9.868 pasien.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bilang, lonjakan kasus dampak dari peningkatan mobilitas saat perayaan dan libur Idulfitri akan terjadi beberapa pekan setelahnya. “Berdasarkan bukti empiris puncaknya akan terjadi sekitar 5 sampai 7 minggu sejak liburan itu terjadi. Jadi mungkin sampai akhir bulan atau awal Juli kita masih akan melihat adanya kenaikan,” kata dia, Minggu (13/6/2021).
Epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan situasi di Indonesia saat ini betul-betul memerlukan penanganan yang serius. Pemerintah, kata dia, harus belajar dari situasi di negara lain seperti India yang mengalami gelombang lonjakan hingga bikin negara dengan jumlah penduduk kedua terbanyak di dunia itu kewalahan.
Indonesia, kata Dicky, harus merespons lonjakan kasus yang saat ini terjadi dengan melakukan reformasi strategi penanganan. Pertama adalah soal surveilans dan deteksi dini. Peningkatan jumlah testing wajib dilakukan, termasuk surveilans genom.
Makin banyak testing, maka makin banyak kasus yang dapat terdeteksi dan tertangani. Sedangkan makin masif pemeriksaan genom akan makin banyak memberikan informasi tentang varian COVID-19 untuk perbaikan atau perubahan strategi.
Kedua adalah penguatan dalam pembatasan di masyarakat. “Harus siap dengan skenario terburuk dengan PSBB [Pembatasan Sosial Berskala Besar] atau lockdown-nya Indonesia se-Jawa Bali dan kota raya di luar Jawa,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Senin (14/6/2021).
Pembatasan sosial ini perlu dilakukan sebelum puncak gelombang kasus benar-benar datang dan semua kewalahan untuk menanganinya.
Sulfikar Amir, ahli sosiologi bencana asal Indonesia yang saat ini menjadi associate professor, School of Social Sciences Nanyang Technological University Singapura juga sependapat bahwa yang paling utama dilakukan di tengah lonjakan kasus COVID-19 adalah dengan melakukan pembatasan mobilitas.
“Pemerintah perlu melakukan skenario atau strategi yang paling dasar yang dianjurkan di dalam undang-undang, harus ada pembatasan, PSBB yang ketat sebelum kita akhirnya tidak mampu mengendalikan jumlah kasus. Karena kita berhadapan dengan virus corona jilid 3 yang sudah bermutasi,” kata Sulfikar melalui sambungan telpon, Senin (14/6/2021).
Pembatasan yang ketat menurutnya adalah bagian dari skenario terburuk yang dipersiapkan ketika jumlah kasus naik, agar gelombang kedua tidak menjadi ekstrem seperti negara-negara lain khususnya India.
Namun sampai saat ini, Sulfikar melihat respons pemerintah masih sporadis dalam menghadapi lonjakan kasus COVID-19. Padahal menurutnya sejak dua pekan lalu saat sejumlah kasus sudah mengalami lonjakan, pembatasan dan penyekatan sudah seharusnya mulai diberlakukan.
“Respons pemerintah pusat dan daerah masih sangat lemah. Misalnya Gubernur Jawa Tengah cuma menganjurkan gerakan tinggal di rumah. Itu tidak bisa mengandalkan perilaku yang sifatnya seperti itu, karena ini adalah sesuatu yang harus dilakukan dari atas ke bawah kalau mau hasilnya efektif. Tidak bisa kita hanya menganjurkan masyarakat,” katanya.
Varian Delta Dominan di Daerah Lonjakan Kasus
Lonjakan kasus COVID-19 dalam berapa hari terakhir salah satunya dikontribusikan dari penambahan kasus di Jawa Tengah. Salah satu daerah yang mengalami penambahan kasus paling tinggi dan cepat adalah Kabupaten Kudus.
Menurut Sulfikar, ketika Kudus mengalami kenaikan dua pekan lalu penyekatan dan pembatasan sudah dapat dilakukan. Hal ini agar tidak berdampak ke daerah terdekat semisal Kabupaten Demak, Jepara, dan Pati yang akhirnya kini juga menjadi zona merah.
Tak adanya pembatasan ketat di Kudus menurutnya membuat sirkulasi virus makin meluas. Termasuk adanya varian delta atau B1617 di Kudus yang diidentifikasi baru-baru ini dan mendominasi dari total sampel yang diperiksa.
Diketahui pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) yang berasal dari Kudus dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Ketua Pokja Genetik Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM Gunadi mengkonfirmasi adanya temuan itu.
"[Ditemukan VoC] sebagian sampel VoC yaitu varian delta, ada 28 dari 34 sampel yang diperiksa," kata Gunadi melalui pesan singkat, Minggu (13/6/2021).
Temuan varian delta yang cukup dominan hasil pemeriksaan sampel Kudus ini menurut Juru Bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi bukan hal yang mengagetkan. Pihaknya sudah mengingatkan adanya peningkatan kasus penyebabnya adalah mobilitas dan potensi varian baru.
Pemerintah Kabupaten Kudus, kata Nadia, perlu segera melakukan tindakan pembatasan.
“Penguatan aturan PPKM [Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat] mikro, mikro lockdown pembatasan pergerakan yang keluar masuk Kudus, isolasi terpusat, kasus sedang berat dirujuk ke Semarang bila perlu,” kata Nadia kepada reporter Tirto, Minggu (13/6/2021).
Selain itu, karena karakteristik varian delta yang lebih cepat menular, maka akan dilakukan tes masal dan tracing diperbanyak. Oleh karena itu, ia meminta agar masyarakat sadar jika ada mengalami gejala jangan takut dan segera melakukan tes COVID-19.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Satgas COVID-19 Letjen TNI Ganip Warsito pada hari Minggu usai mendapatkan instruksi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Satgas, kata Ganip, diminta Jokowi untuk melakukan tes yang masif di tengah lonjakan kasus COVID-19.
“Presiden juga meminta untuk mempercepat proses testing agar hasilnya lebih cepat selain memperkuat tracing dan memperbaiki treatment manajemen atau tata kelola rumah sakit bersama dengan seluruh komponen masyarakat dan melibatkan TNI dan Polri," kata Ganip.
Selain itu ada sejumlah langkah lain yang akan dilakukan oleh Satgas, di antaranya akan memperketat pelaksanaan PPKM mikro. Posko-posko yang ada akan dikelola lebih optimal. Selain itu, hasil monitoring dan evaluasi posko akan dipergunakan lebih baik dalam menyusun strategi penanganan COVID-19 daerah.
Pemerintah, kata Ganip, juga akan mulai memitigasi libur Iduladha sebagai bagian pemicu kenaikan kasus di kemudian hari. Sebab menurutnya tak sedikit kegiatan saat Idul Adha berpotensi mendorong lonjakan kasus COVID-19.
“Menjelang Idul Adha perlu mengantisipasi meningkatnya potensi lonjakan COVID-19 yang disebabkan peningkatan mobilitas penduduk terutama di pusat perbelanjaan dan tempat wisata serta tradisi halal bihalal kunjungan keluarga ziarah makam kerumunan penonton prosesi penyembelihan kurban dan lain sebagainya,” kata Ganip.
“Ini harus sedini mungkin kita antisipasi agar tidak menimbulkan lonjakan-lonjakan COVID-19 yang lebih memperparah dari kondisi sekarang,” kata dia.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz