Menuju konten utama
Pandemi COVID-19

Tuduhan soal Pesohor Endorse COVID-19 Menyesatkan & Membahayakan

Sekjen Persi Lia Partakusuma membenarkan maraknya teori konspirasi soal COVID-19 telah mengganggu kerja tenaga medis.

Tuduhan soal Pesohor Endorse COVID-19 Menyesatkan & Membahayakan
Petugas membawa peti jenazah untuk dimakamkan dengan protokol COVID-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (15/6/21). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz.

tirto.id - Lepas dari bui tak membuat drummer band Superman Is Dead I Gede Ari Astina berubah. Kali ini pria yang akrab dipanggil Jerinx itu menyebarkan tuduhan kepada sejumlah pesohor bahwa mereka meng-endorse COVID-19. Tudingan bernuansa teori konspirasi ini bukan yang pertama dilontarkan Jerinx, dan hal itu tak cuma menyesatkan, tetapi juga membahayakan nyawa publik.

Pesohor yang diserang Jerinx karena mengumumkan dirinya positif COVID-19 adalah Bunga Citra Lestari atau BCL. Jerinx bahkan menantang BCL untuk bersumpah kalau positif COVID-19 yang dialaminya bukan bayaran.

Hal serupa dialami Sarah Viloid. Ia dituding meng-endorse COVID-19 usai mengumumkan positif COVID-19 di media sosial. “Aku kena covid guys, Ngilang dulu babayyyy," tulis Sarah Olivia Santoso, seorang selebritas media sosial melalui akun Instragramnya @sarahvilo.id pada Jumat (18/6/2021).

Postingan tersebut lantas disambar oleh Jerinx di kolom komentar.

“Mbak, maaf ya, bisa tolong jujur jawab w pertanyaan saya dengan JUJUR? 1. Kenapa kena cvd [covid] harus mbak umumkan ke publik? Apa alasan dasarnya? 2. Apakah mbak berani bersumpah jika mbak TIDAK DIBAYAR oleh entitas apapun untuk 'mempromosikan' cvd ini? Terima kasih, saya tunggu jawaban JUJUR nya ya," kata Jerinx.

Tak mendapat tanggapan, Jerinx lantas membuat story. "Satu lagi bukti jika para seleb sales kopid enggak ada yang berani bersumpah. Masih ngotot seleb-seleb kena cvd bukan settingan?" tulis Jerinx.

Sarah pun menanggapi tuduhan itu dengan candaan. Melalui story Instagramnya ia menulis "Konspirasi apa ini haha, ya masa aku diendorse covid wkwkkwk.”

Tuduhan tersebut lantas menuai polemik di media sosial. Komedian Tunggal Gusti Muhammad Abdurrahman alias Bintang Emon pun meresponnya dengan membuat video satir seolah-olah dirinya dibayar untuk berpura-pura sakit COVID-19. Namun satir itu justru dianggap serius oleh Jerinx.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menaruh perhatian pada infodemik, yakni lonjakan jumlah informasi mengenai COVID-19, termasuk informasi inakurat atau misinformasi--informasi inakurat yang diniatkan untuk menipu--. Masifnya informasi yang tidak akurat, termasuk teori konspirasi menyebabkan masyarakat kebingungan bahkan mengambil tindakan nekat yang dapat membahayakan kesehatan.

Selain itu, infodemik dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada otoritas kesehatan dan merusak langkah-langkah penanggulangan pandemi. Akibatnya, penyebaran wabah bisa menjadi lebih intensif dan lebih panjang.

“Dengan peningkatan digitalisasi --meluasnya penggunaan internet dan media sosial-- informasi menyebar dengan lebih cepat. Ini bisa membantu menambal lubang informasi dengan lebih cepat, tapi juga bisa menyebarluaskan pesan berbahaya," kata WHO.

Komedian Tunggal Gusman Suherman memiliki pengalaman mengenai ini. Pada 28 Mei, sang ayah mengeluh sakit. Gusman sudah mengarahkan untuk mencari penanganan medis ke rumah sakit. Namun sang ayah menolak karena khawatir "dicovidkan.”

Gusman mengatakan, ayahnya terpengaruh teori konspirasi yang menganjurkan warga tidak berobat ke rumah sakit karena dokter-dokter kerap memberikan diagnosis positif COVID-19 kepada orang yang sebenarnya sehat atau mengidap penyakit lain.

Kondisi sang ayah tak kunjung membaik, gejala yang dialami makin mengarah ke COVID-19. Akhirnya Gusman memaksa ayahnya menjalani rapid antigen di rumah. Hasilnya, sang ayah positif COVID-19.

“Di rumah, di depan muka, biar ketahuan sendiri hasilnya gimana. Hasilnya memang positif COVID,” kata Gusman lewat keterangan tertulis yang diterima pada Jumat lalu.

Selanjutnya, sang ayah dilarikan ke rumah sakit untuk diisolasi dan mendapat perawatan. Namun, Tuhan berkehendak lain, pada 1 Juni lalu sang ayah meninggal dunia.

“Hari Jumat kemarin bapak meninggal di Rumah Sakit Al-Islam. Yang mempengaruhi bapak kemarin ada bantuannya?" kata Gusman mempertanyakan.

Mengganggu Kerja Tenaga Medis

Sekretaris Jenderal Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Lia Partakusuma mengonfirmasi maraknya teori konspirasi soal COVID-19 telah mengganggu kerja tenaga kesehatan. Ia kerap mendapat laporan perlawanan dari pasien atau keluarganya kala akan dilakukan tindakan sesuai SOP perawatan pasien COVID-19. Rumah sakit kerap dituduh "meng-covid-kan" pasien demi mendapat cuan.

Walhasil tenaga kesehatan yang sedang sibuk menangani pasien yang membludak juga harus menyediakan waktu untuk memberi penjelasan, kata Lia. Tak jarang pula tenaga kesehatan menjadi korban kekerasan dari kerabat pasien.

“Seringkali pada waktu keluarga pasien kalut karena meninggal, mereka tidak mau mendengar [penjelasan rumah sakit tentang protokol pemakaman]. Hampir semua rumah sakit mengalami ini," kata Lia kepada reporter Tirto pada Selasa (22/6/2021).

Pada 29 September 2020, tiga dari empat orang tenaga kesehatan mendapat penolakan keras bahkan dilumuri dengan kotoran manusia kala mendatangi Rusun Bandarejo di Surabaya untuk menjemput pasien terkonfirmasi COVID-19. Hasil itu diketahui setelah dilakukan tes massal beberapa waktu sebelumnya.

Selain itu, para tenaga kesehatan itu mengaku mendapat ancaman via SMS.

Doni Monardo saat masih menjabat Kepala Satgas Penanganan Covid-19 sempat geram sebab masih ada 17 persen warga yang tidak percaya dengan COVID-19, data itu diperolehnya dari Badan Pusat Statistik (BPS). Kendati terus menurun, sebanyak 13,8 persen warga DKI Jakarta dan 18,3 persen warga Jawa Timur juga mengaku tidak percaya COVID-19.

“Orang tidak percaya COVID, masih ada yang mengatakan 17 persen warga negara kita tidak percaya COVID. Ini katanya rekayasa, ini katanya konspirasi," kata Doni dalam konferensi pers BNPB, Selasa (9/3/2021) "padahal kenyataannya yang meninggal secara global sudah lebih dari 2 juta orang. Di negara kita sudah sudah 37 ribu orang saudara-saudara kita yang wafat.”

Mengapa Teori Konspirasi COVID-19 Muncul?

Pada 2005, Leslie Butt seorang peneliti dari University of Victoria, Kanada terbang ke Papua untuk melakukan penelitian tentang teori konspirasi di tengah tingginya penyebaran HIV/AIDS di bumi cendrawasih. Ada anggapan penyebaran COVID-19 di Papua adalah bagian dari upaya terorganisir pemerintah Indonesia untuk memusnahkan orang asli Papua.

“Walau mudah untuk membantah teori semacam itu dan menganggapnya pemikiran tidak masuk akal dari orang tak berpendidikan, tapi Butt memutuskan untuk bergerak ke arah yang lain dan membahas bahwa teori tersebut merefleksikan hubungan kontensius yang kompleks antara warga asli Papua dan Jakarta," kata Peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ibnu Nadzir dalam publikasinya pada Desember 2020.

Teori itu muncul bukan tanpa alasan, sebab pejabat publik dan aparat Indonesia senantiasa berlaku tidak adil terhadap warga Papua. Dalam kampanye pencegahan HIV/AIDS di Papua, petugas kesehatan Indonesia kerap menunjukkan superioritas moralnya atas warga Papua.

Menurut Nadzir, situasi ini sama dengan merebaknya teori konspirasi di Indonesia. Nadzir menyebut ada tiga konteks untuk memahami penyebaran teori konspirasi di tengah penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia.

Pertama, kata dia, pasca orde baru runtuh dan boroknya terbuka, negara tidak lagi menjadi otoritas yang dipercaya publik. Relasi antara warga dan negara mengenai informasi dan otoritas jadi lebih setara.

“Jadi kita kemudian mempertanyakan dan tidak mudah percaya terhadap informasi yang diberikan elite. Masyarakat juga tiba-tiba lebih punya andil dalam menyebarkan informasi yang kemudian berpengaruh dalam wacana publik," kata Nadzir kepada reporter Tirto pada Selasa (22/6/2021).

Kedua, negara yang gagal dalam memenuhi hak-hak warga negara, salah satunya akses terhadap layanan kesehatan yang baik. Hal itu menyebabkan timbul ketidakpercayaan publik, khususnya ekonomi kelas bawah, terhadap penanganan kesehatan oleh negara.

Pada awal kemunculan COVID-19 di Indonesia pun tak sedikit pejabat yang terkesan meremehkan. Selain itu, aparat pun dinilai tebang pilih dalam penegakan aturan pembatasan sosial.

Ketiga, tidak lain adalah munculnya internet yang membuat penyebaran informasi semakin masif. Ditambah, algoritma media sosial menempatkan konten dengan engagement tertinggi selalu di depan, tak peduli akurasi konten tersebut.

Layanan manajemen konten HootSuite, dan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan bertajuk "Digital 2021" menyebut pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 telah mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020.

"Kalau kita lihat data juga, secara umum orang yang memiliki akses terhadap internet juga lebih rentan untuk terekspose pada informasi-informasi yang bohong, dan ketika dia terekspose pada informasi-informasi yang bohong maka lebih rentan percaya juga," kata Nadzir.

Nadzir menjelaskan, pandemi COVID-19 kadang terlalu kompleks untuk dipahami awam dan sebagian informasi tentangnya masih misterius, misalnya dari mana asal virus itu. Padahal pandemi itu telah mempengaruhi setiap aspek kehidupan warga, termasuk periuk nasi mereka.

Warga lantas berusaha mencari jawaban tegas atas pertanyaan yang kompleks. Teori konspirasi memberikan itu, karenanya ia menarik dan diminati. Benar saja, per April 2021 Kementerian Komunikasi dan Informatika mendapati 1.550 hoaks terkait vaksin dan 177 hoaks tentang vaksin COVID-19.

“Kalau kita menggunakan narasi formal kan kita tidak tahu sumber asli COVID-19, sementara teori konspirasi memberikan jawaban-jawaban yang sangat tegas yang jadi jawaban orang di tengah situasi yang tidak pasti," kata Nadzir.

Sementara itu, Juru Bicara Kemkominfo Dedy Permadi mengatakan pihaknya terus menangani informasi hoaks termasuk teori konspirasi mengenai COVID-19 dari hulu sampai hilir.

Di hulu, Kemkominfo berusaha meningkatkan literasi digital masyarakat sehingga dapat menyaring informasi yang tidak tepat. Di tengah, Kemkominfo bekerja sama dengan media dan masyarakat sipil untuk melakukan klarifikasi atas kabar bohong yang beredar.

Jika masih tak berhasil, maka Kemkominfo menyerahkan masalah itu kepada penegak hukum untuk ditangani sesuai hukum yang berlaku.

"Kementerian Komunikasi dan Informatika terus mengedepankan upaya persuasif dalam menangani penyebaran informasi yang tidak tepat mengenai COVID-19," kata Dedy kepada Tirto pada Selasa (22/6/2021).

Baca juga artikel terkait COVID-19 INDONESIA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz