tirto.id - Abi Satria (26) tidak pernah membayangkan jika suatu hari dia harus menjalani hari-hari sebagai pasien COVID-19. Abi merasa umurnya yang masih muda akan membuatnya punya imun bagus, dan karenanya kecil kemungkinan tertular penyakit ini. Apalagi kondisi tubuhnya sehat dan dia baik-baik saja. Namun, tentu saja, virus tak pandang bulu perihal umur. Suatu hari, ketika kondisi tubuhnya tidak terlalu fit, kebetulan Abi tidak patuh menjalankan protokol kesehatan. Dan ya, Abi terkena COVID-19.
Abi menceritakan pengalamannya dalam ajang Dialog Produktif yang diselenggarakan oleh Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Kali ini, dialog produktif mengangkat tema ‘Vaksin Datang, Tetap Disiplin 3M’ dihelat pada Kamis (10/12) bertempat di Media Center KPCPEN.
“Gejala awal yang dirasakannya adalah pilek, demam, rasa radang namun bukan radang, dan kepala berat. Kemungkinan aku tertular saat kondisi tubuh sedang lelah, kurang tidur sehingga imunitas sedang rendah,” akunya.
Apa yang dialami Abi di awal sakit, tak jauh beda dengan gejala flu biasa. Organisasi Kesehatan Dunia memang mencatat, COVID-19 punya kesamaan dengan influenza. Dua penyakit ini sama-sama menyerang pernapasan, dan juga menular melalui kontak dan droplet. Namun menurut WHO, infeksi kritis dan parah pada pasien terjadi dalam persentase lebih tinggi ketimbang influenza, yakni 80 persen termasuk katergori mild atau ringan, 15 persen infeksi parah dan perlu oksigen tambahan, dan 5 persen kritis yang membutuhkan ventilasi.
Ini juga terjadi pada Abi. Setelah memeriksakan diri dan kemudian divonis positif COVID-19, Abi dirawat selama dua minggu di Wisma Atlet Jakarta. “Pada hari keenam dan ketujuh masa perawatan, aku merasakan badan dingin menggigil dan demam. Rasanya menakutkan meskipun tidak sampai pada tahap harus memakai ventilator,” ujarnya.
Setelah menjalani perawatan selama dua pekan di RSD Wisma Atlet, Abi mendapat banyak pengalaman. Pertama, dia sadar bahwa meski usianya muda dan lebih sering fit ketimbang tidak, dia tetap harus patuh menjalani protokol kesehatan dan menerapkan 3M, yakni mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Pelajaran kedua, dan ini benar-benar ditelannya dengan pahit, adalah: COVID-19 bukanlah hoax dan bukan konspirasi.
Masalahnya, banyak orang percaya bahwa pandemi ini adalah konspirasi. Bahkan ini juga terjadi pada orang-orang terdidik. Sebabnya banyak. Mulai dari melimpahnya informasi, hingga tidak percaya sebelum melihatnya sendiri. Bahkan penyebaran hoax ini cukup masif di awal kemunculan COVID-19 di Indonesia, membuat Kepolisian, per 24 November 2020, memproses 104 orang yang menyebarkan hoax, dan 17 di antaranya ditahan.
Pahit memang, tapi banyak orang mulai percaya COVID-19 itu ada dan mematikan setelah lingkaran terdekat atau diri sendiri terjangkit virusnya. Ini adalah pesan yang juga disampaikan oleh Abi.
“COVID-19 itu benar ada dan nyata dan bukan konspirasi. Jangan menunggu sampai diri sendiri atau keluarga terkena baru percaya kalau COVID-19 itu ada,” ujarnya.
Perlu Waktu Hingga Vaksin Merata
Pekan lalu, kabar gembira itu datang. Vaksin buatan Pfizer mulai disuntikkan. Kawasan pertama yang menyuntikkan vaksin COVID-19 adalah Britania Raya. Margaret Keenan, perempuan 91 tahun asal Inggris, adalah orang pertama yang menerima suntikan vaksin ini. Setelah Margaret divaksin, ada 800 ribu orang yang akan mendapat vaksinasi pekan ini, dan diperkirakan akan ada empat juta orang lain menyusul hingga akhir tahun.
Tentu kabar vaksin itu menggembirakan. Namun ada hal yang perlu dicatat. Beberapa hari lalu, vaksin COVID-19 dari perusahaan biofarmasi asal Cina, Sinovac, tiba di Indonesia. Jumlahnya hanya 1,2 juta vaksin. Itupun belum bisa dipakai begitu saja.
“Vaksin ini masih harus melewati tahapan evaluasi dari BPOM untuk memastikan aspek mutu keamanan dan efektivitasnya,” ujar Airlangga Hartarto, Ketua Komite Percepatan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Jika vaksinasi sudah dapat lampu hijau pun, masih perlu waktu agar 250 juta warga Indonesia mendapat vaksin. Itu artinya: perjuangan melawan COVID-19 masih panjang dan jauh. Maka tak ada cara terbaik selain kembali ke pepatah lama: mencegah lebih baik daripada mengobati.
Pepatah klasik itu kembali mendapat momentumnya di masa pandemi ini. Untuk melawan COVID-19, langkah paling tepat saat ini memang melakukan pencegahan. 3M yang selalu didengungkan pemerintah, tak lain tak bukan, adalah langkah pencegahan. Dengan melakukan pencegahan, kamu bisa menghemat waktu, energi, biaya, bahkan bisa menyelamatkan nyawa.
Pemerintah selalu menghimbau warga Indonesia untuk terus mematuhi protokol kesehatan demi mencegah terjangkit atau menularkan COVID-19. Sejak dulu, langkah pencegahannya nyaris tak pernah berubah. Tetap berdiam di rumah, dan jika terpaksa harus berkegiatan di luar rumah maka kembali lagi ke langkah 3M: mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak.
Menurut banyak pakar kesehatan, masker hingga sekarang menjadi langkah pencegah paling efektif. Masker kain tiga lapis yang mudah didapat dan ditemui di mana-mana, bisa melindungi kita hingga 90 persen dari penularan virus.
Terkena COVID-19 itu jelas bukan pengalaman menyenangkan. Selain bisa mengancam nyawa, dampaknya juga bisa berkepanjangan meski fisik sudah sembuh. Ini dialami oleh Abi. Menurutnya, bahkan setelah dinyatakan negatif pun, Abi sempat mengalami down.
“Takut untuk keluar dan muncul di publik. Dari konsultasi dengan ahli, ternyata ini juga jadi salah satu dampak psikologis karena COVID-19. Banyak juga yang tidak hanya terkena fisiknya namun juga mentalnya,” ungkapnya.
Berkaca dari pengalamannya ini, Abi berpesan agar seyogianya orang tetap mematuhi protokol kesehatan. Patuh pada protokol 3M bukan hanya menjaga diri kita, tapi juga menjaga orang lain.
“Karena kita tidak pernah tahu kapan kita bisa tertular dan kapan kita bisa menularkan. Selalu patuhi protokol kesehatan 3M.”
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis