tirto.id - Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan atau sekolah. Hal ini tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diajukan pemerintah dan akan dibahas dengan DPR.
Dalam aturan tersebut, sektor pendidikan dihapus dari daftar jasa yang tak terkena PPN. Artinya, jasa pendidikan akan segera dikenakan PPN bila revisi UU KUP disahkan. Padahal jasa pendidikan sebelumnya tidak dikenai PPN sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 223/PMK.011/2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang Tidak Dikenai PPN [PDF].
Saat ini, jasa pendidikan yang bebas PPN di antaranya yaitu pendidikan sekolah seperti PAUD, SD hingga SMA, perguruan tinggi, dan pendidikan luar sekolah.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai upaya pemerintah yang akan mengenakan PPN untuk sekolah sama saja mengarahkan pendidikan ke arah komersialisasi. Padahal pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga negara.
“Pemerintah kita kian kuat membelokkan arah pendidikan ke komersialisasi dan privatisasi. Ini bahaya karena negara mau melepas tanggung jawab pendidikan yang menjadi hak melekat pada warga negara,” kata Ubaid kepada reporter Tirto, Jumat (11/6/2021).
Sebab, bila RUU KUP yang diajukan pemerintah disahkan, maka bagi sekolah yang tergolong mahal bakal dibandrol PPN dengan tarif normal yakni 12 persen. Sedangkan sekolah negeri misalnya dikenakan tarif 5 persen.
Sementara untuk rincian tarif PPN sekolah atau jasa pendidikan berdasarkan jenisnya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) bila beleid perubahan UU KUP itu disahkan pemerintah bersama DPR.
Dampak Jasa Pendidikan Kena Pajak
Menurut Ubaid, kebijakan tersebut akan membuat biaya sekolah di Indonesia semakin naik. Dampaknya, biaya pendidikan akan semakin mahal, orang tua keberatan, lalu terjadilah putus sekolah. "Tanpa disadari, seakan kebijakan ini memberikan karpet merah pada si kaya, sementara orang miskin dilarang sekolah,” kata Ubaid.
Oleh karena itu, kata Ubaid, JPPI mendesak pemerintah untuk menghentikan privatisasi dan komersialisasi pendidikan, lebih-lebih setelah ada wacana PPN jasa pendidikan. Ia berharap pendidikan dikembalikan sebagai hak warga dan negara wajib menjaminnya.
“Bukan kewajiban warga untuk membayar sekolah. Tapi, negaralah yang harus memfasilitasi warganya untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas," kata dia.
Anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah pun mengkritik rencana sekolah kena pajak. Dia menilai pendidikan merupakan hak warga yang dijamin oleh negara. Apalagi menurutnya pemerintah diamanatkan untuk membiayai pendidikan warganya, seperti yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945.
“Ini tentu tidak etis sekaligus bertentangan dengan konstitusi. Jadi jika rencana tersebut diberlakukan dan UU disahkan akan rawan digugat di Mahkamah Konstitusi,” kata Himmatul melalui keterangan tertulis, Jumat (11/6/2021).
Menurut dia, dampak dari pengenaan pajak akan membuat biaya pendidikan meningkat sehingga akan membebani masyarakat. Ini tentu akan menciptakan ketidakadilan karena pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat kecil.
Hal ini, kata dia, jelas bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aturan ini menyebut sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan. Lalu pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.
Selain itu, pengenaan pajak pada sektor pendidikan di tengah pandemi COVID-19 akan menambah tinggi angka putus sekolah. Politikus Partai Gerindra itu berkata, pandemi yang masih berlangsung telah menurunkan ketahanan ekonomi masyarakat sehingga banyak siswa dari berbagai daerah di Indonesia mengalami putus sekolah.
Pengenaan pajak pendidikan, kata dia, bisa menambah tinggi angka putus sekolah sehingga menurunkan angka partisipasi pendidikan di Indonesia. “Kondisi demikian tentu paradoks dengan visi pemerintah sendiri, yakni mewujudkan SDM unggul untuk Indonesia maju,” kata dia.
Hal senada diungkapkan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda. Ia meminta sebaiknya jasa pendidikan tak masuk sektor yang jadi objek PPN. Meski saat pemerintah berusaha memperluas basis objek pajak di tanah air sebagai upaya meningkatkan pendapatan negara.
“Kami memahami jika 85 persen pendapatan negara tergantung pada sektor pajak. Kendati demikian pemerintah harusnya berhati-hati untuk memasukkan sektor pendidikan sebagai objek pajak,” kata Huda melalui keterangan tertulis, Kamis (11/6/2021).
Politikus PKB itu menilai kebijakan sektor pendidikan yang nantinya akan terkena PPN tidak tepat untuk jadi objek pajak. Menurutnya sistem Universal Service Obligation (USO) akan lebih tepat digunakan untuk memeratakan akses pendidikan. Dengan sistem ini, sekolah-sekolah yang dipandang mapan akan membantu sekolah yang kurang mapan.
“Dengan demikian kalaupun ada potensi pendapatan negara yang didapatkan dari sektor pendidikan, maka outputnya juga untuk pendidikan. Istilahnya dari pendidikan untuk pendidikan juga,” kata dia.
Lebih lanjut, ia berharap, agar pemerintah melalui Kemenkeu duduk bersama Komisi X DPR RI –yang salah satunya membidangi pendidikan--- untuk membahas persoalan tersebut agar usulan itu menjadi jelas.
“Agar tidak menjadi polemik dan kontra produktif, kita mengharapkan penjelasan pemerintah atas isu ini,” kata dia.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi membenarkan saat ini RUU KUP yang diusulkan oleh pemerintah sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Namun, politikus PPP ini mengaku belum mengetahui perkembangan RUU KUP ini.
“Belum tahu, karena draf RUU-nya belum sampai ke DPR," kata Baidowi.
Respons Pemerintah
Kepala Biro Humas dan Kerja sama Kemendikbud-Ristek Hendarman saat dimintai keterangan oleh reporter Tirto, justru melempar permasalahan ini pada Kemenkeu. “Ide dari Kementerian Keuangan. Silakan ditanyakan dahulu ya ke sana," kata Hendraman, Jumat (11/6/2021).
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun buka suara. Ia mengatakan pemerintah memang sudah mengajukan RUU KUP ke DPR. Namun, sejauh ini DPR belum membacakannya di paripurna dan kemudian membahasnya.
RUU KUP yang diajukan memuat tentang arsitektur perpajakan dalam rangka penyehatan APBN ke depan. Sri Mulyani mengaku belum bisa menjelaskan detailnya selama belum ada pembahasannya di DPR.
“Kami dari sisi etika politik belum bisa memberikan penjelasan ke publik sebelum dibahas. Karena itu dokumen publik yang disampaikan ke DPR melalui surat presiden. Situasinya menjadi agak kikuk karena dokumennya keluar, karena memang sudah dikirimkan ke DPR juga,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis (10/6/2021).
Sri Mulyani menyayangkan pemberitaan yang sepotong-sepotong sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Ia berharap setelah dibacakan dan dibahas oleh DPR, pemerintah bisa memberikan penjelasan lebih utuh soal arsitektur perpajakan ke depan.
“Yang keluar sepotong-potong, kemudian di-blow up seolah-olah… menjadi sesuatu yang tidak bahkan mempertimbangkan situasi hari ini. Padahal fokus kami hari ini adalah pemulihan ekonomi,” kata Sri Mulyani.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz