Menuju konten utama

Sembako dan Sekolah Kena PPN, YLKI: Pemerintah Tak Manusiawi

YLKI menilai kebijakan mengenai PPN sembako dan beberapa sektor jasa termasuk sekolah bakal kena PPN ini tidak manusiawi.

Sembako dan Sekolah Kena PPN, YLKI: Pemerintah Tak Manusiawi
Ilustrasi kebutuhan pokok masyarakat di Pasar Bedono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (8/4/2021). ANTARA FOTO/Aji Styawan.

tirto.id - Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang bahan pokok atau sembako dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Berdasarkan berkas rumusan RUU Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP), ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN barang kebutuhan pokok ini.

Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen.

Kebijakan ini tentu akan memicu kenaikan harga sembako di pasar. Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, menyebut kebijakan mengenai pajak bahan pokok ini tidak manusiawi.

“Wacana ini jelas menjadi wacana kebijakan yang tidak manusiawi, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang, saat daya beli masyarakat sedang turun drastis,” jelas dia dalam keterangan tertulis, Kamis (20/6/2021).

Ia menjelaskan, pengenaan PPN akan menjadi beban baru bagi masyarakat dan konsumen, berupa kenaikan harga kebutuhan pokok. Belum lagi jika ada distorsi pasar, maka kenaikannya akan semakin tinggi. Pengenaan PPN pada bahan pangan juga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan pasokan pangan pada masyarakat.

“Oleh karena itu, wacana ini harus dibatalkan. Pemerintah seharusnya lebih kreatif, jika alasannya untuk menggali pendapatan dana APBN,” terang dia.

Ia memberikan opsi, pemerintah bisa menaikkan cukai rokok yang lebih signifikan. Ia menyebut dengan menaikkan cukai rokok, potensi pendapatan negara bisa mencapai Rp200 triliun.

“Kalau naiknya dari rokok kan, akan berdampak positif terhadap masyarakat menengah bawah, agar mengurangi konsumsi rokoknya, dan mengalokasikan untuk keperluan bahan pangan,” beber dia.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan tengah mengajukan perubahan kebijakan perpajakan. Selain mengerek tarif pajak, objek pajak yang bakal dikenakan PPN akan diperluas. Rencana ini masuk dalam perubahan kelima atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Ada dua pasal yang menjadi sorotan, yaitu pasal 7 ayat 1 tertulis:

“Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 12% (12 persen)”

Dalam aturan yang berlaku saat ini merujuk UU 42 tahun 2009, PPN adalah 10 persen. Artinya, dalam RUU baru yang diusulkan ini, bakal ada kenaikan PPN dari semula 10 persen menjadi 12 persen.

Kemudian ada pasal kedua yang mendapat sorotan adalah pasal 4A ayat (2b) yang bertuliskan ‘dihapus’. Beleid ini tak lagi menyebutkan sembako termasuk dalam objek yang PPN-nya dikecualikan.

Semula, barang-barang itu dikecualikan sebagai kelompok barang yang kena PPN. Hal itu diperkuat dengan aturan turunan, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017.

Sedangkan dalam draf RUU KUP pasal 4A ayat (2b) yang diusulkan saat ini, sembako seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi dikeluarkan dari kelompok barang yang tak dikenai PPN.

Padahal bahan yang dihapus untuk dikecualikan terkena PPN adalah bahan kebutuhan pokok yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Dengan kata lain, barang kebutuhan pokok yang semula dikelompokkan sebagai barang tak kena PPN, akan menjadi barang kena PPN karena pasal yang mengecualikan dihapus dalam draf RUU yang diusulkan.

Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sejumlah jasa. Hal itu tertuang dalam RUU KUP yang diajukan pemerintah dan akan segera dibahas dengan DPR. Berdasarkan RUU KUP baru, beberapa sektor yang menurut UU sebelumnya tidak dikenakan pajak, kini dikenakan pajak.

Jasa yang dikenai pajak sangat beragam mulai dari jasa pelayanan medik, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan prangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, hingga pengiriman uang dengan wesel.

Baca juga artikel terkait DRAF RUU KUP atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri