tirto.id - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali merespons pernyataan Menteri Lingkungan Hidup (LH), Hanif Faisol Nurofiq, mengenai 229 hotel berbintang di Bali yang diberi predikat merah dalam Program Penilaian Kinerja Perusahaan (PROPER). Predikat tersebut berarti perusahaan belum sepenuhnya mematuhi regulasi yang berlaku sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sekitar.
“Memang waktu pelaksanaannya [PROPER] sangat singkat,” sebut Sekretaris PHRI Bali, Perry Markus, ketika ditemui wartawan di sela Pelatihan Media bersama Institute for Essential Services Reform (IESR), Selasa (30/09/2025).
Perry membeberkan, sosialisasi PROPER dilakukan pada bulan Juli. Pelaksanaannya digelar sampai Agustus. Sementara hasil penilaian keluar pada bulan September.
“Sebenarnya, itu [predikat merah] masih sementara, karena kemarin waktu sanggah itu sampai 27 September di hari Sabtu,” sebut Perry.
Perry pun menjelaskan, proses pendampingan terhadap hotel-hotel berbintang yang ada di Bali terus dilakukan. Namun, saat itu hotel-hotel terkendala oleh banyaknya regulasi yang baru, sehingga dokumen yang diunggah ke Sistem Informasi Pelaporan Elektronik Lingkungan Hidup (Simpel LH) memiliki banyak kekurangan.
Dia merinci bahwa hotel diwajibkan untuk menyediakan tenaga operator dan penanggung jawab dari pengendalian pencemaran udara, air, dan limbah yang tersertifikasi oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Proses tersebut, menurut Perry, memakan waktu melebihi satu bulan. Namun, apabila hal tersebut tidak dilakukan, hotel akan diberi predikat merah.
“Saya ambil contoh di genset. Kalau genset di pabrik, itu nyala mungkin bisa 24 jam dan ada cerobongnya untuk pemantauan polusi udara. Di Bali, genset kita menganggur dan hanya stand by kalau PLN padam. Hotel-hotel enggak mengerti awalnya. Mereka pikir jika tidak ada [genset], maka tidak ada [yang dilaporkan]. Harusnya diberi tahu, walaupun tidak menyalakan, tetap lapor,” jelasnya.
Dari pengamatan Perry, banyak hotel di Bali yang sudah mengikuti Tri Hita Karana (THK) Award dan Green Hotel, serta tidak melakukan kegiatan yang merusak lingkungan. Oleh sebab itu, dia berkesimpulan bahwa kesalahan terletak pada kurangnya dokumen yang dilampirkan oleh hotel kepada Kementerian LH, serta kurangnya sosialisasi.
“Saya kira, selama ini tidak ada masalah karena bahkan untuk pengelolaan sampah, mereka sudah bekerja sama dengan desa adat, terutama tempat pengolahan masing-masing. Mereka sudah memilah sesuai yang ada, atnara organik, plastik, dan lain sebagainya. Mudah-mudahan dengan perpanjangan waktu ini, kita akan bisa lihat semuanya bisa biru,” terang Perry.
Perry menilai, tidak ada satu pun hotel di Bali yang ingin dicap tidak dapat mengelola lingkungannya dengan bagus. Pengelolaan lingkungan yang bagus, menurut Perry, merupakan upaya hotel untuk berlomba antara satu sama lain dan untuk branding atau promosi. Beberapa hotel yang sudah besar juga berinvestasi besar untuk bisa mengelola sampahnya sendiri.
“Semoga bisa cepat dengan bimbingan teknis yang ada, kemudian sertifikasi yang diminta karena sebelumnya tidak ada sertifikasi. Kita lakukan semua, ikuti aturan yang ada. Karena ini kami anggap masih baru juga. Patuh dulu dan mengelola dengan baik, keluar dulu dari zona merahnya itu,” tutupnya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Siti Fatimah
Masuk tirto.id






































