Menuju konten utama

Persepsi Sekolah Favorit Jadi Penyulut Kecurangan dalam PPDB

Selama persepsi sekolah favorit masih eksis, sikap lancung orang tua, pejabat, dan panitia tetap tumbuh subur. Sikap yang justru menodai esensi pendidikan.

Persepsi Sekolah Favorit Jadi Penyulut Kecurangan dalam PPDB
Orang tua dan calon siswa berbincang dengan petugas saat sosialisasi dan simulasi pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 tingkat SMA-SMK di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/6/2019). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

tirto.id - Niat pemerintah untuk menghapus cap sekolah favorit lewat kebijakan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) Zonasi ternyata berakhir kontraproduktif. Persepsi sekolah favorit tak kunjung hilang, justru upaya tembus sekolah unggulan lewat jalur curang makin menjamur. Praktik culas dalam proses PPDB pun lahir: deras dilaporkan, janji dibenahi, dievaluasi, dan terjadi lagi.

Hampir saban tahun pelaksanaan PPDB Zonasi mencatat masalah. Tak hanya kecurangan pada skema zonasi, praktik lancung juga terjadi di jalur lain.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 1 Tahun 2021, ada empat jalur PPDB yang berlaku saat ini: jalur zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan orang tua/wali siswa.

Masalah kecurangan PPDB berakar dari masih kentalnya favoritisme sekolah. Pemerintah belum mampu menghadirkan sekolah yang merata, laik, dan setara. Ironisnya, PPDB sistem zonasi yang dijanjikan membasmi favoritisme malah membuka celah kecurangan anyar.

Persoalan ini diakui sendiri oleh sosok yang melahirkan sistem zonasi, Muhadjir Effendy. Baru-baru ini, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) itu mengungkap, ada pejabat yang memindahkan anaknya ke sekolah favorit saat proses PPDB tahun ini.

Awalnya, Eks Mendikbud itu menjelaskan, banyak orang tua ingin anaknya masuk sekolah favorit dan rela menghalalkan segala macam cara. Misalnya, penyimpangan yang diendus Muhadjir, terdapat jual beli kursi di sekolah yang dicap favorit saat PPDB berlangsung.

“Di setiap kota, daerah, [sekolah] negeri yang favorit diburu oleh semua orang tua dengan segala cara. Kemudian karena dia banyak yang berminat, maka disitulah praktek-praktek penyimpangan itu terjadi,” urai Muhadjir di gedung Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Selasa (9/7/2024).

Selain itu, kata dia, ada orang tua yang mengubah data kependudukannya ke lokasi yang lebih dekat dengan sekolah favorit. Mirisnya, masih banyak pula pejabat yang menitipkan anaknya di sekolah-sekolah yang dianggap favorit. Imbasnya, banyak sekolah negeri yang justru sepi pendaftar karena dianggap tidak favorit.

“Kemudian juga [sekolah favorit] menjadi titipan para pejabat. Bukan itu saja, itu istri-istrinya pejabat juga semuanya direkomendasi dipindah di sekolah favorit itu,” ungkap Muhadjir.

Penuturan Muhadjir itu memunculkan dua hal krusial: pemerintah belum mampu menghapus persepsi soal sekolah favorit dan pejabat justru melanggengkan cap sekolah favorit dengan ikut berlaku curang selama proses PPDB. Masalah kecurangan selama proses PPDB akan terus terjadi jika persoalan ini tak serius dibenahi.

Sayangnya, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menyatakan catatan evaluasi PPDB yang saban tahun disodorkan pihaknya ke pemerintah tak pernah digubris. Dia menilai, kegagalan pemerintah menghadirkan pemerataan akses pendidikan jadi akar langgengnya favoritisme sekolah.

“Persepsi masyarakat secara umum masih kuat terhadap sekolah favorit. Apalagi para pejabat berlomba-lomba juga agar anaknya masuk. Branding ini makin kuat turun-temurun,” ucap Iman kepada Tirto, Rabu (10/7/2024).

Iman menyayangkan perilaku pejabat yang berlaku curang dalam proses PPDB. Sebagai publik figur, kata dia, seharusnya pejabat tidak membeda-bedakan sekolah negeri.

“Yang kami soroti adalah evaluasi. Sampai saat ini setiap PPDB, kami belum melihat evaluasi dan tindak lanjut dari evaluasi tersebut,” tegasnya.

Iman memandang, setiap kecurangan PPDB seharusnya ditindak. Namun tetap merestorasi hak siswa mendapatkan sekolah negeri yang laik dan berkualitas.

“Artinya, ada tindak lanjut mengobati perasaan mereka yang dicurangi. Untuk menutup kecurangan, maka sanksi pihak-pihak yang terlibat dalam kecurangan yang menimbulkan efek jera,” ungkap Iman.

PPDB Zonasi menurut Iman harus diakui memiliki niat yang baik. Di sisi lain, seluruh siswa memang seharusnya berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, laik, dan setara.

Daftar ulang peserta didik baru di Kalteng

Calon siswa menyiapkan berkas persyaratan calon peserta didik baru saat daftar ulang di SMA Negeri 2 Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Rabu (3/7/2024). Dinas Pendidikan Kalimantan Tengah mengumumkan hasil penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 1 Julli 2024 dan bagi siswa yang lolos seleksi PPDB melakukan daftar ulang calon peserta didik baru jenjang SMA/SMK Tahun Pelajaran 2024/2025 yang berlangsung pada 2 – 4 Juli 2024. ANTARA FOTO/Auliya Rahman/Spt.

Sayangnya, bicara kesetaraan di negeri ini seperti bicara ramalan yang tak kunjung datang. Tak heran, akhirnya sah-sah saja orang tua berlomba-lomba memasukan anak mereka ke sekolah yang dianggap unggul. Mirisnya, ambisi itu difasilitasi lewat kecurangan yang justru menodai esensi pendidikan.

“Sekolah harusnya independen. Tidak membuka komunikasi tidak resmi atau model-model intimidasi, surat sakti, dan intervensi dalam berbagai wujud,” terang Iman.

Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji, memandang pada dasarnya tidak ada namanya sekolah favorit. Sekolah sebagai layanan publik, kata dia, idealnya bebas dari favoritisme sebab harus ditopang dengan standar layanan yang sama.

“Layanan publik itu tidak ada favoritisme. Misalnya, ada nggak sih kantor lurah favorit? Atau kantor polsek favorit? Kan nggak ada, begitu juga seharusnya dengan sekolah,” kata Indra kepada Tirto, Rabu.

Munculnya cap sekolah favorit disebabkan manajemen yang keliru. Ditambah, pemerintah ikut andil melanggengkan favoritisme sekolah lewat program-program yang mereka besut. Alhasil, kecurangan demi kecurangan pun muncul untuk bisa tembus sekolah yang dianggap favorit.

“Era Nadiem Makarim, sekolah favorit itu namanya sekolah penggerak. Itu jumlahnya hanya sedikit dan selalu dianggap lebih baik dari sekolah non-penggerak. Jadi APBN kita justru digunakan untuk membuat sekolah dengan standar yang berbeda,” terang Indra.

Indra memandang, pemerintah seharusnya membangun sekolah-sekolah dengan kualitas yang setara. Persoalan kecurangan, kata Indra, timbul akibat banyaknya permintaan namun ketersediaan sekolah belum seimbang.

“Bangun sekolah sebanyak-banyaknya sehingga supply dan demand-nya itu sama sesuai. Kalau waktunya terlampau lama mendirikan sekolah baru, ya sekarang gunakan sekolah swasta itu bayar SPP-nya oleh pemerintah dan itu ada dasar hukumnya ada Pasal 31 Ayat 2 [UUD 1945],” jelas Indra.

Pendidikan Setara

Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, memandang sistem PPDB jalur apapun bisa dicurangi jika masih ada mental asal terabas dari calon siswa dan orang tua. Terlebih, jika modal kuasa dan kapital mereka miliki.

Namun, hal tersebut bisa ditekan dengan sistem seleksi yang berlapis, monitoring ketat, dan ada ruang pengaduan terbuka yang responsif. Sejauh ini, kata dia, mekanisme itu sudah berjalan cukup baik, terbukti dengan temuan yang terekspos ke publik dan ditangani kasusnya.

“Ke depan kontrol dari pihak lain potensial untuk dilibatkan, misal bukan hanya melibatkan dinas pendidikan dan komite sekolah, melainkan juga bisa LSM dan kampus,” ujar Edi kepada Tirto, Rabu.

Edi menyebut, PPDB zonasi belum berhasil menghapus stigma sekolah favorit yang menjadi rebutan banyak orang tua, sebab secara historis labeling tersebut sudah mengakar. Di sisi lain, upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, sarana dan prasarana di sekolah juga tampak kurang signifikan.

“Hal pertama yang wajib dan menjadi tanggung jawab utama pemerintah terlepas dari PR terkait pemerataan dan akses pendidikan, tentu adalah peningkatan kualitas guru, pembelajaran, dan sarana prasarana di sekolah-sekolah negeri,” jelas Edi.

Kalau semua sekolah negeri kualitasnya sama, kata dia, maka tak akan muncul upaya manipulasi atau kecurangan orang tua untuk memaksa siswa masuk sekolah tertentu.

Edi menuturkan, di Finlandia orang tua tidak ngotot menyekolahkan anaknya di sekolah yang jauh, karena semua sekolah sama bagus kualitasnya.

Selain itu, menurut Edi, pemerintah dapat mengupayakan diversifikasi sekolah. Misalnya ada sekolah fokus untuk pendidikan calon atlet, seniman, sastrawan, budayawan, hingga akademisi. Bahkan perlu ada sekolah yang fokus ke STEM untuk menghasilkan ilmuwan dan perekayasa.

“Kalau ada diversifikasi, maka keunggulan siswa dalam bidang tertentu akan terakomodasi. Nah, kalau sekolah seperti ini mestinya tidak berbasis zonasi. Jadi, secara umum sistem zonasi tetap ada, tapi juga perlu dipikirkan sistem atau alternatif lain,” sarannya.

Pendaftaran PPDB di Jawa Tengah

Panitia mengecek kelengkapan dokumen calon peserta didik sebelum verifikasi berkas saat pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMK Negeri 10, Semarang, Jawa Tengah, Rabu (19/6/2024). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/tom.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai kegagalan PPDB Zonasi adalah cuma mampu melakukan pemerataan input, tanpa ada jaminan pemerataan akses. Selain itu, sistem zonasi masih gagal dalam pemerataan mutu sekolah negeri.

“Ini berakibat pada ketimpangan mutu sekolah di berbagai daerah yang menyebabkan pendaftar menumpuk di sekolah tertentu, dan sekolah tidak bermutu banyak kursi kosong,” ucap Ubaid kepada Tirto, Rabu.

Menurut Ubaid, selama sistem PPDB masih diskriminatif, kecurangan tidak akan bisa dihilangkan. Sebab, setiap PPDB berlangsung, orang tua seakan dijebak memilih pada dua pilihan: berlaku curang atau dicurangi.

“Ini terjadi, karena semua merasa berhak mendapatkan bangku sekolah [favorit],” terang Ubaid.

Temuan sementara PPDB 2024 yang dilakukan Ombudsman, mencatat seabrek laporan masalah. Substansi aduan didominasi mengenai hasil pengumuman PPDB sebanyak 22 persen, implementasi peraturan daerah terkait petunjuk pelaksanaan dan teknis PPDB sebanyak 16 persen, kecurangan prosedur sebanyak 14 persen, dan berkas persyaratan pendaftaran 8 persen.

Berdasarkan aduan, dugaan maladministrasi PPDB 2024 tercatat: penyimpangan prosedur (51 persen), tidak memberikan layanan (13 persen), tidak kompeten (12 persen), diskriminasi (11 persen), penundaan berlarut (7 persen), permintaan imbalan uang, barang dan jasa (2 persen), perbuatan tidak patut (2 persen), dan penyalahgunaan wewenang (2 persen).

Sementara itu, berdasarkan seleksi jalur PPDB, jumlah pengaduan pada jalur prestasi ada sebanyak 141 laporan, jalur zonasi 138 laporan, tidak ada keterangan 130 laporan, jalur afirmasi 47 laporan, dan Perpindahan Tugas Orang Tua (PTO) 11 laporan.

“Yang membuat kebijkan zonasi ini ricuh adalah pertama, bangku sekolah yang kurang. Kedua, mutu yang timpang. Karena kekurangan inilah yang kemudian melahirkan sistem seleksi,” tegas Ubaid.

Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek, Muhammad Hasbi, menyatakan semangat kebijakan PPDB adalah memberikan kesempatan yang adil bagi siswa agar mendapatkan layanan pendidikan yang lebih merata dan berkualitas.

Melalui empat jalur penerimaan, pemerintah ingin memproteksi dan memastikan anak-anak dari semua lapisan masyarakat, terutama dari kondisi ekonomi tidak mampu, memiliki hak setara mendapatkan layanan pendidikan.

“Sehingga tidak ada lagi kastanisasi kualitas sekolah yang hanya bisa diakses oleh kalangan masyarakat tertentu,” kata Hasbi kepada Tirto, Rabu.

Selain itu, kata dia, secara perlahan pemerintah tengah mengurangi stigma hanya sekolah favorit yang memiliki kualitas bagus. Lebih lanjut, mengurangi diskriminasi dan ketidakadilan terhadap akses dan layanan pendidikan.

Berdasarkan kajian Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan Kemendikbudristek Tahun 2024, PPDB telah berhasil menurunkan kesenjangan hasil belajar (literasi dan numerasi) antara sekolah dengan 20 persen Status Sosial Ekonomi (SSE) teratas dan sekolah median di jenjang SMP dan SMA.

“Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan pemerataan akses terhadap pendidikan yang bermutu,” klaim Hasbi.

Kemendikbudristek memastikan bakal terus berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan. Ini dilakukan lewat berbagai program peningkatan layanan satuan pendidikan.

“Sehingga sekolah favorit tidak menjadi stigma lagi yang melekat di masyarakat,” tegas Hasbi.

Baca juga artikel terkait PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi