Menuju konten utama

Pergub Memindahkan Hukum Cambuk di Aceh demi Investasi

Memindah lokasi hukum cambuk dari tempat terbuka ke dalam penjara tetap saja melanggar hak asasi manusia.

Pergub Memindahkan Hukum Cambuk di Aceh demi Investasi
Terpidana (tengah) menjalani hukum cambuk di halaman Masjid Baitul Mukminin, Desa Lamteh, Banda Aceh (20/3). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra.

tirto.id - Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2018, yang merevisi soal pelaksanaan hukum pidana Islam bernama Qanun Jinayat, menuai polemik. Salah satu regulasi ini mengatur pemindahan hukuman cambuk dari ruang terbuka ke lembaga pemasyarakatan (lapas).

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan pemindahan hukuman cambuk ke penjara untuk "menjamin hak terpidana" karena sebelumnya digelar di tempat umum dan dilihat anak-anak. Alasan lain adalah demi kelancaran investasi.

“Agar investor tidak fobia untuk menanam saham di Aceh. Ini juga dapat membantu peningkatan dan lajur ekonomi di sini,” kata Irwandi usai penandatanganan Pergub tersebut di gedung serba guna Kota Banda Aceh, seperti dikutip BBC Indonesia, Kamis (12/4/2018).

Akan tetapi, kebijakan Irwandi ini diprotes oleh organisasi macam Front Pembela Islam (FPI) Cabang Aceh. Mereka menolak pergub tersebut dan mendesak Irwandi mengembalikan hukuman cambuk tetap dilaksanakan di muka publik.

“Kami mendesak Gubernur Aceh segera mencabut Pergub Nomor 5 Tahun 2018. Kami juga mendesak Gubernur Aceh melaksanakan syariat Islam secara kafah,” kata seorang pengunjuk rasa dalam orasinya di depan gubernuran Aceh, seperti dikutip Antara, Kamis (19/4/2018).

Protes senada diungkapkan Ketua Fraksi Partai Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Iskandar Usman Al-Farlaky. Menurutnya, alasan Irwandi dengan memindahkan hukuman cambuk ke dalam penjara tidak relevan dan bertentangan dengan Qanun Aceh 7/2013 tentang Hukum Acara Jinayat (PDF).

Dalam Pasal 262, katanya, "Uqubat (hukuman) cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir." Pasal yang sama juga menyebutkan anak di bawah umur 18 tahun memang tidak boleh menghadiri hukuman cambuk.

Merujuk Qanun, menurut Iskandar, argumen gubernur tidak beralasan, termasuk kekhawatiran hukuman cambuk dilihat anak-anak. Solusinya, petugas memperketat pengawasan bagi masyarakat yang melihat hukuman tersebut, bukan memindahkan tempat.

“Jika merujuk pada Qanun tahun 2013, ketentuan mengenai hukum acara jinayat sudah diatur. Artinya, hukuman cambuk itu dilakukan di tempat umum. Kenapa di tempat umum? Karena secara ketentuan syariat itu memberi efek jera agar pelaku malu dengan apa yang dilakukannya,” kata Iskandar kepada Tirto, Jumat (20/4/2018).

Iskandar mengklaim bahwa Irwandi saat mengeluarkan pergub tersebut tidak melalui diskusi dengan sejumlah pihak.

Tirto telah menghubungi Irwandi lewat pesan WhatsApp dan telepon, akan tetapi hingga artikel ini ditulis, ia tidak merespons.

Hukuman Cambuk Menyalahi HAM

Hukuman cambuk di Aceh, bagaimanapun, bertentangan dengan hak asasi manusia, menurut Andreas Harsono dari Human Rights Watch Indonesia, yang pernah merilis laporan mengenai pelbagai pelanggaran dalam penerapan syariat di Aceh.

Menurut Andreas, meski Aceh adalah daerah dengan kewenangan khusus berdasarkan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus, seharusnya tetap mengacu pada Kovenan Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik (ICCPR).

Hal tersebut, ujarnya, tertera dalam nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 2005.

Pada 2013, Komite HAM PBB yang mengawasi kepatuhan negara-negara terhadap kewajiban di bawah ICCPR, menyerukan Indonesia untuk mencabut ketentuan yang mengesahkan penggunaan hukuman yang kejam dalam produk-produk hukum lokal (perda syariat) Aceh. Akan tetapi, hal ini tak diabaikan. Jangankan dipatuhi, memindahkan ke tempat tertutup saja tidak dilakukan.

Namun, saat ini dengan alasan investasi, Irwandi justru mengeluarkan aturan pemindahan. Menurut Andreas, pemindahan hukuman cambuk tetap dinilai tidak menyelesaikan masalah karena perkaranya adalah penghargaan terhadap HAM, bukan investasi.

“Penyiksaan tetap penyiksaan,” ujar Andreas. “Pemindahan ini tidak menyentuh substansi masalah. Substansinya adalah tidak boleh ada penyiksaan.”

Infografik Current Issue Ketika agama tunduk pada investasi

Demi Investasi di Aceh

Pergub yang ditandatangani Irwandi memang tidak mempertimbangkan soal HAM, melainkan cenderung lebih menitikberatkan pada investasi. Ini tidak terlepas dari nilai investasi di Provinsi Aceh yang menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Aceh pada 2015 tercatat Rp4,19 triliun. Jumlah ini turun drastis pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2016 PMDN Aceh tercatat Rp2,45 triliun, bahkan pada 2017 turun menjadi RpRp782,8 miliar.

Sementara untuk Penanaman Modal Asing (PMA) ada penurunan signifikan pada 2017. Pada 2016, PMA di Provinsi Aceh tercatat Rp134,5 miliar, naik dari PMA 2015 yang hanya tercatat Rp21,19 miliar. Akan tetapi, pada 2017 kembali turun menjadi Rp23,2 miliar.

Iskandar Usman Al-Farlaky mengakui soal investasi ini. Namun, politikus Partai Aceh ini menegaskan seharusnya masalah syariat dipisahkan dengan investor dan investasi. Ia berkata selama ini tidak ada bukti yang diberikan oleh gubernur bahwa masalah investasi di Aceh yang kecil disebabkan oleh hukuman cambuk atau praktik hukuman pidana kejam lain, yang menuruti Qanun Jinayat.

Aceh, kata Iskandar, sudah menjadi daerah khusus sejak lama dan investor sudah mengetahui hal itu sebelum berinvestasi.

“Apakah ada jaminan bila hukuman mati dipindahkan ke LP ada investor berbondong-bondong membangun pabrik di Aceh? Siapa yang bisa menjamin itu?” katanya.

Human Rights Watch pernah menyinggung bahwa penggerebekan, penangkapan, dan penyiksaan lewat cambuk mencederai citra Indonesia maupun Aceh. Pada Juli 2017, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengkhawatirkan bahwa hukuman cambuk akan bikin takut investor. Pada Februari 2018, Irwandi mengatakan bahwa ia prihatin mengenai tindak-tanduk Wilayatul Hisbah, polisi moral di Aceh, dalam pelbagai penggerebekan dan penyiksaan akan memengaruhi program public relation Aceh Marathon, yang akan digelar pada Juli 2018.

Aceh satu-satunya dari 34 provinsi di Indonesia yang secara legal boleh membuat peraturan berdasarkan Syariat Islam, demikian Human Rights Watch.

Baca juga artikel terkait HUKUMAN CAMBUK atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz