Menuju konten utama

Suara-Suara yang Menentang Hukum Cambuk

Penerapan pidana cambuk kerap dinilai sebagai bentuk kekejaman, penyiksaan, dan bertentangan dengan rasa keadilan hukum, serta dikategorikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Suara-Suara yang Menentang Hukum Cambuk
Terpidana pelanggar qanun (peraturan daerah) tentang syariat islam mengangkat tangan saat menjalani hukuman cambuk di halaman masjid Al Muchsinin, Desa Kampong Jawa, Banda Aceh, Aceh, Kamis (2/2). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra.

tirto.id - Tiga warga Aceh menjalani hukuman cambuk di depan umum atas tuduhan telah melanggar syariat Islam yang berlaku di daerah tersebut. Mereka menjalani hukuman cambuk di halaman masjid Al Muchsinin, Desa Kampong Jawa, Banda Aceh, Aceh, Kamis (2/2/2017).

Mahkamah Syar'iah Kota Banda Aceh memvonis hukuman 26 hingga 27 kali cambuk kepada tiga terpidana pelanggar Qanun Jinayat Nomor 6 tahun 2014. Mereka dianggap melanggar Pasal 25 ayat 1 tentang ikhtilat atau bercumbu mesra tanpa ikatan nikah. Sementara, satu terpidana dihukum 18 bulan penjara karena kondisi hamil.

Ketiga warga itu menjalani hukuman cambuk di depan umum atas tuduhan telah melanggar syariat Islam yang diberlakukan di provinsi ujung barat Indonesia itu. Dalam foto yang dimuat Antara, terlihat seorang wanita berpakaian serba putih duduk dan melambaikan tangan saat menjalani hukuman cambuk di halaman masjid Al Muchsinin, Desa Kampong Jawa, Banda Aceh, Aceh, Kamis (2/2/2017).

Pemandangan macam itu bukan kasus yang pertama. Pada 5 Agustus 2016 misalnya, eksekutor terpaksa menghentikan hukuman cambuk sebelum selesai terhadap Dedi Firmansyah dan Ali Imran karena kedua terpidana itu mengalami luka serius.

Penghentian eksekusi itu berdasarkan rekomendasi tim dokter usai melakukan pengecekan kesehatan terhadap terpidana setelah dicambuk oleh algojo dari polisi Wilayatul Hisbah Aceh Selatan. Namun, penghentian itu tak berarti kedua narapidana lantas bebas.

Kasie Pidana Umum Kejari Aceh Selatan, Zainul Arifin mengatakan status hukum kedua terpidana belum selesai. Keduanya kembali dijebloskan ke dalam tahanan sambil menunggu digelarnya eksekusi cambuk susulan.

Sesuai tata cara hukuman cambuk yang diatur dalam Qanun Jinayat, proses eksekusi cambuk terhadap kedua terpidana tersebut baru bisa dilanjutkan kembali jika telah mendapat rekomendasi dari tim dokter yang menerangkan bahwa mereka benar-benar sudah sehat,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Saat ini, Aceh adalah satu-satunya provinsi Indonesia yang memperoleh kewenangan penuh menjalankan syariat Islam. Natangsa Surbakti dalam artikel “Pidana Cambuk dalam Perspektif Keadilan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” yang dimuat jurnal Hukum (17 Juli 2010) menulis bahwa pemerintah pusat telah memberikan kewenangan tersebut melalui UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Selain memberikan kewenangan menjalankan syariat Islam, UU tersebut juga memberikan landasan hukum bagi peradilan syariah di Aceh. Regulasi ini juga memuat penegasan bahwa kewenangan menjalankan syariat Islam ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari otonomi khusus Aceh.

Maka, tak heran jika kewenangan itu ditindaklanjuti dengan dibentuknya sejumlah peraturan daerah yang dikenal dengan istilah “qanun.” Khusus untuk kepentingan penegakan hukum pidana Islam misalnya, terdapat sejumlah qanun yang telah disahkan sebagai sumber hukum materiil.

Namun, hingga saat ini masih ada kontroversi mengenai penegakan syariat Islam di serambi Mekkah tersebut. Kontroversi ini berkaitan dengan formalisasi penegakan syariat Islam dengan menjadikan hukuman cambuk sebagai pidana pokok. Ada yang melihat penerapan pidana cambuk ini sebagai bentuk kekejaman, penyiksaan, dan bertentangan dengan rasa keadilan hukum, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Kontroversi Hukuman Fisik

Adi Hermansyah dalam tesisnya, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Badan (Corporal Punishment) di Indonesia dengan kajian khusus di Aceh (2008) menulis beberapa istilah lain dari hukuman fisik atau pidana badan ini.

Menurut dia, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut pidana badan tersebut, antara lain: beating (pemukulan); blinding (pembutaan); branding (pemberian cap); caning (pemukulan dengan rotan/tongkat); flogging (pencambukan/mendera); mutilation (pemotongan/pengudungan); paddling (pemukulan/dengan cemeti); pillory (penghukuman di muka umum/di tiang).

Dalam hukum Islam, pidana badan ini adalah salah satu pidana yang diberikan secara hudud (ketentuan yang ditetapkan oleh Allah dalam Alquran) atau yang diberikan secara ta’zir (pidana yang diberikan melalui putusan hakim dengan segala pertimbangan).

Infografik Hukum Cambuk

Hukuman fisik (corporal punishment) merupakan salah satu jenis pidana yang masih digunakan di banyak negara. Berdasarkan data yang dilansir Harm Reduction International pada tahun 2011, terdapat sekitar 40 negara yang masih menerapkan jenis pidana fisik bagi mereka yang melanggar obat-obatan terlarang dan minuman alkohol.

Negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Iran, Yaman, Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Libya, Brunei, Darussalam, Maladewa, Indonesia (Aceh), dan Nigeria (negara bagian utara), serta beberapa negara lain masih menggunakan pidana badan tersebut. Padahal, menurut Harm Reduction International, pidana badan seperti hukuman cambuk adalah pelanggaran langsung dari hukum internasional yang melarang penggunaan hukuman fisik.

Desakan Menghapus Hukuman Cambuk

Karena itu, desakan terhadap penghapusan hukuman cambuk terus mengemuka, baik dari lembaga internasional, maupun nasional, seperti Institute Criminal Justice Reform (ICJR). ICJR meminta pemerintah untuk untuk mengakhiri hukum cambuk Qanun Jinayah atau hukum pidana Islam di Aceh. Selain menciptakan dualisme penegakan hukum di Aceh, Qanun Jinayah juga dinilai tidak sesuai dengan hukum internasional dan hukum pidana nasional.

Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan bahwa qanun yang setara dengan peraturan daerah ini sebenarnya menduplikasi pengaturan pidana di KUHP dan UU lainnya di Indonesia. “Ini menimbulkan dualisme penegakan hukum pidana di NAD, khususnya untuk pasal-pasal kesusilaan yang telah diatur dalam KUHP," ujar Supriyadi.

Menurut Supriyadi, Qanun Jinayah juga melegitimasi penggunaan hukuman badan atau tubuh di Indonesia, yakni cambuk. Padahal sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukuman cambuk. Penggunaan hukuman cambuk ini juga masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.

Pada 2013, Komite HAM PBB yang memonitor kepatuhan negara-negara terhadap kewajiban mereka di bawah ICCPR, menyerukan Indonesia untuk mencabut ketentuan-ketentuan yang mengesahkan penggunaan penghukuman yang kejam di produk-produk hukum lokal di Aceh.

Baca juga artikel terkait HUKUMAN CAMBUK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani