tirto.id - Puluhan warga tampak sedang menyaksikan seorang perempuan terpidana hukuman cambuk di pelataran Masjid Jami Lueng Bata, Banda Aceh, pada 20 April 2018 silam. Sebagian dari mereka menggenggam ponsel pintar dan mengabadikan penyiksaan terpidana yang dinyatakan melanggar qanun jinayat sesuai penerapan hukum syariat di Aceh itu.
Gambaran hukuman cambuk sebagai tontonan ini tertangkap kamera dan sempat viral pekan lalu, menuai pendapat dari berbagai pihak tentang kelayakan cara penerapannya. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 tahun 2018 merevisi tempat pelaksanaan hukuman cambuk yang sebelumnya di muka umum menjadi di penjara.
Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, menyatakan bahwa pemindahan hukuman cambuk ke penjara bertujuan untuk mencegah anak-anak menyaksikan eksekusi tersebut dan untuk “menjamin hak terpidana”. Di samping itu, ia mempertimbangkan kelancaran investasi di Aceh yang bisa terdampak dari penerapan hukuman cambuk di hadapan publik.
Dilansir Antara pada 13 April 2018 lalu, Wakil Bupati Aceh Besar, Tgk. Husaini A. Wahab berpendapat menanggapi Pergub Aceh ini. Secara pribadi, ia akan tetap mempertahankan pelaksanaan hukuman cambuk di depan umum seperti di halaman masjid. Husaini beralasan, hukuman serupa juga dilakukan di depan publik di Arab Saudi. Hukuman cambuk di hadapan publik ini diharapkan memunculkan efek jera bagi pelaku dan mencegah masyarakat melakukan pelanggaran hukum syariat seperti yang dilakukan terpidana.
Setali tiga uang dengan Husaini, FPI cabang Aceh pun menunjukkan sikap kontra terhadap Pergub Nomor 5 tahun 2018. Mereka mendesak Gubernur untuk segera mencabut peraturan tersebut dan mengembalikan cara pelaksanaan hukuman cambuk, yakni di depan masyarakat.
Menonton Atas Nama Penegakan Keadilan
Alih-alih merasa ngeri dan menghindari adegan-adegan penyiksaan sesama manusia, sebagian orang justru terdorong untuk menonton eksekusi terpidana. Tidak hanya di Aceh atau di Arab Saudi saja publik bisa menyaksikan pelaksanaan hukuman untuk terpidanan, di Amerika Serikat pun demikian. Kepada BBC, pasangan Larry dan Teresa Clark asal Virginia menceritakan pengalaman mereka menyaksikan sejumlah eksekusi terpidana.
“Kamu harus melihat ini,” demikian kata Larry kepada istrinya setelah pertama kali menonton eksekusi terpidana.
Pada 1998, mereka pernah menyaksikan eksekusi mati Douglas Buchanan Jr. yang dihukum karena membunuh bapak, ibu tiri, dan dua saudara tirinya. Kehadiran Larry dan Teresa merupakan bagian dari kebutuhan relawan saksi dalam penerapan hukum di sana dan beberapa negara bagian lain di Amerika Serikat. Syarat menjadi saksi hukuman mati seperti Larry dan Teresa adalah tidak ada hubungan langsung dengan pelaku dan bukan pekerja media.
Di AS, mencari relawan untuk menyaksikan hukuman mati adalah perkara gampang-gampang susah. Penegak hukum di Arkansas menggunakan kata-kata seperti “warga negara terhormat” dan “demi memverifikasi eksekusi dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku” untuk menarik minat warga menjadi relawan. Beberapa warga pun merasa dirinya terpanggil lewat cara ‘mengiklan’ macam ini dan berkata melalui surat bahwa dirinya mau menjadi relawan demi penegakan keadilan.
Alasan penegakan keadilan ini juga melandasi pilihan sebagian warga Aceh yang menginginkan hukuman cambuk tetap dilaksanakan di muka umum. Keadilan menurut mereka adalah yang sesuai dengan hukum syariat sebagaimana mereka tafsirkan. Revisi cara penerapan hukuman cambuk dianggap mengurangi marwah pelaksanaan syariat Islam yang telah berlaku di sana.
Menonton Penderitaan Membawa Kesenangan
Bagi sebagian orang, menonton orang menderita mendatangkan kesenangan tersendiri. Ada satu terminologi tersendiri soal ini: schadenfreude, berasal dari bahasa Jerman, schaden yang berarti petaka dan freude yang berarti kesenangan. Kesenangan dari penderitaan orang lain ini bisa muncul dari ragam hal, mulai dari yang remeh saat melihat orang terjatuh, gagal meraih sesuatu, melakukan tindakan konyol yang mencelakakannya, sampai menyaksikannya ditimpa bencana atau dikenakan sanksi berat.
Seperti halnya dalam diri penonton eksekusi terpidana yang cenderung pasif saat menyaksikan penderitaan orang lain, kesenangan juga bisa dirasakan oleh mereka yang aktif menimbulkan derita bagi orang lain. Penelitian yang dimuat di jurnal Biological Psychology (2008) menemukan, pada remaja yang melakukan perundungan atau penganiayaan, bagian otak yang merespons kesenangan teraktivasi ketika melihat orang lain kesakitan. Sementara, bagian otak yang terkait regulasi diri tidak teraktivasi dalam diri mereka.
Contoh lain, dalam kasus orang-orang yang terlibat aksi sadis di ranjang. Mereka mendapat kesenangan dari mempermalukan, menyiksa, dan menghukum partnernya.
Eric W. Hickey mencatat dalam Sex Crimes and Paraphilia (2006) bahwa sadomasokisme secara seksual merupakan salah satu parafilia (ketertarikan seksual terhadap hal-hal yang umumnya dianggap tidak normal). Namun, menurut Hickey, berbeda dengan penyiksaan yang berlandaskan agresivitas semata, sadomasokisme memiliki kredo “aman, waras, dan konsensual” dalam setiap aksinya. Pihak yang dominan memegang kontrol kapan mesti berhenti menyiksa partnernya, sementara pihak satunya bisa mengucapkan “kata aman” untuk menyetop aksi mereka.
Tindakan sadis yang menjadi fantasi orang-orang ini saat bercinta bisa bersumber dari pengalaman masa lalu. Ada studi terdahulu yang melihat bahwa para sadis meneruskan di tempat tidur peran berkuasa atau pengendali yang sungguh-sungguh diinginkannya, tetapi tidak bisa terwujud lagi di kehidupan nyata masa kini. Kendati demikian, pengalaman masa lalu yang menjadi fantasi seksual ini tidak begitu saja menyebabkan seseorang menjadi sadis. Ada peran psikososial selama ia tumbuh menjadi orang dewasa yang juga mendorong adanya parafilia ini.
Kesenangan saat melihat penderitaan orang lain juga bisa terkait dengan level empati seseorang. Lazimnya, ketika melihat orang lain menderita, seseorang merasa turut prihatin atau bahkan tidak ingin melihatnya lebih jauh tersiksa. Namun, perasaan macam ini bisa tergeser oleh keinginan kuat untuk menegakkan keadilan atau ketidaksukaan terhadap pelaku atau tindakan yang dilakukannya.
Terkait hal ini, Profesor Filsafat dari University of Haifa, Aaron Ben-Zeev memberikan salah satu ilustrasi dalam Psychology Today. Ketika seseorang menjadi penumpang sebuah bus dalam keadaan macet parah, lantas sang supir memilih melanggar peraturan lalu lintas, perasaan marah terhadap supir tersebut bisa muncul dalam dirinya. Begitu polisi menyetop dan menilang supir itu, perasaan marah dalam diri orang tersebut terlampiaskan dan timbul pikiran “Anda pantas mendapatkan ini” yang diiringi perasaan senang.
Hukuman yang dilakukan orang lain terhadap pihak yang tidak ia suka menyalurkan emosi negatif yang terpendam, lalu menciptakan kelegaan tersendiri yang berhubungan dengan pakem moral yang dipercaya seseorang.
Ilmuwan evolusionis menemukan bahwa ada hasrat melakukan kekerasan dalam diri manusia, tetapi adanya aturan-aturan sosial menahannya untuk mewujudkan hasrat ini. Dengan membiarkan penegak hukum setempat menjalankan eksekusi, seseorang yang tidak menyukai pelaku atau tindakannya juga merasa senang karena tangannya bersih dari tindakan menyakiti, tetapi ia masih bisa melihat pelaku sengsara.
Alasan lain yang bisa juga mendorong orang untuk menonton orang menderita adalah perasaan beruntung. Saat melihat orang lain tersiksa atau lebih malang darinya, bisa muncul rasa syukur dalam diri seseorang karena tidak mengecap pengalaman pahit seperti orang tersebut. Hal ini lantas menumbuhkan rasa superior karena menjadi manusia yang “lebih baik” dari orang lain, bahkan bisa menjustifikasi perlakuan buruknya terhadap orang tersebut.
Sikap mental semacam itu ada dalam kasus-kasus persekusi. Penghukuman orang yang dianggap bersalah serta kesempatan warga lain untuk menonton penganiayaan menjadi pengejawantahan perasaan lebih baik atau merasa menang yang dimiliki para persekutor dan orang-orang yang menontonnya.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani