Menuju konten utama
Gerakan 30 September 1965

Peran Sjam Kamaruzaman di G30S PKI 1965, Masih Hidup atau Mati?

Peran Sjam Kamaruzaman dalam sejarah G30S1965, apakah tokoh penting PKI ini masih hidup atau sudah mati?

Peran Sjam Kamaruzaman di G30S PKI 1965, Masih Hidup atau Mati?
Sejumlah warga dan anak-anak menonton bersama film G30S/PKI di Taman Graha Mall Cijantung, Jakarta Timur, Sabtu (23/9/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sjam Kamaruzaman dan perannya dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang disebut melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) menarik untuk ditelusuri. Apakah tokoh penting PKI ini masih hidup atau sudah mati usai peristiwa G30S 1965?

Tanggal 30 September 1965 malam menjelang 1 Oktober 1965 terjadi tragedi nasional di Indonesia yang juga disebut sebagai upaya kudeta. Peristiwa berdarah itu dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September (G30S), Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu), atau Gerakan Satu Oktober (Gestok).

Dalam peristiwa itu terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang dilakukan oleh sejumlah oknum militer, termasuk dari kesatuan Cakrabirawa atau pasukan pengamanan presiden. Aksi itu disebut-sebut didalangi oleh PKI yang kerap berseberangan dengan TNI-AD.

G30S 1965 dipicu dari munculnya isu perebutan kekuasaan dari Dewan Jenderal. Dikutip dari buku Mengurai Kabut Pekat Dalang G30S (2015) karya Herman Dwi Sucipto, Sjam Kamaruzzaman yang menjabat Ketua Biro Khusus Central PKI, disinyalir berperan penting dalam perencanaan gerakan tersebut.

Siapa Sjam Kamaruzaman?

Kamaruzaman bin Achmad Mubaidah alias Djimin alias Karman alias Ali Muchtar alias Ali Sastra atau Sjam lahir di Tuban, Jawa Timur, pada 30 April 1924. Diketahui dari pengakuannya saat diadili usai kasus G30S, Sjam merupakan keturunan Arab.

Perjalanan pendidikan Sjam dimulai dari sekolah dasar, berlanjut sekolah menengah, dan sekolah agronomi. Akan tetapi, Sjam tidak menamatkan sekolah agronomi dikarenakan sekolah tersebut ditutup oleh Jepang yang menduduki Indonesia sejak 1942. Sjam pun pun merantau ke Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan di sekolah bisnis.

Darah pergerakan memang telah mengalir dalam diri Sjam sejak masa muda. Ia turut tergabung dalam kelompok Pemuda Pathuk di Yogyakarta. Kelompok pemuda tersebut ikut serta dalam perlawanan terhadap Jepang.

Pada September 1945, Sjam dan kawan-kawan Pemuda Pathuk menurunkan bendera Jepang di kantor utama pemerintah Dai Nippon di Yogyakarta dan mengibarkan bendera Merah Putih.

Karier Sjam dalam politik dan pemerintahan dalam negeri dimulai pada 1947, saat ia menjadi salah satu staf di Departemen Informasi. Di sana, ia akrab dan sering berdiskusi dengan orang-orang dari partai berhaluan kiri dan orang-orang yang telah belajar Marxisme di Belanda.

Dari sinilah, pada 1949, Sjam Kamaruzaman akhirnya bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dan turut mengantarkan partai ini meraih hasil yang memuaskan di Pemilu 1955.

Peran Sjam Kamaruzzaman dalam G30S 1965

Dikutip dari penelitian Uung Runalan Soedarmo dan Rini Sri Muslimin bertajuk "Peranan Sjam Kamaruzzaman dalam Gerakan 30 September Tahun 1965" dalam Jurnal Artefak (Vol. 2, No. 1, 2014), Sjam Kamaruzaman dipercaya sebagai asisten pribadi D.N. Aidit saat awal bergabung dengan PKI.

Kemudian, tahun 1960, Sjam Kamaruzaman menjadi anggota Departemen Organisasi PKI yang bertugas melakukan pembinaan secara rahasia kepada kalangan militer.

Lantaran departemen itu tak berjalan sesuai dengan rencana, maka pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus Central PKI yang diketuai oleh Suhadi alias Karto. Belum sempat menjalankan kepemimpinannya, Suhadi meninggal dunia. Posisi itu kemudian diambil-alih oleh Sjam Kamaruzaman.

Hendrikus Christianus dalam Peranan Biro Khusus Partai Komunis Indonesia dalam Gerakan 30 September 1965 (2007) memaparkan beberapa tugas yang harus dijalankan oleh Biro Khusus Central PKI yang dipimpin Sjam.

Pertama, mengumpulkan dan mengolah informasi. Kedua, membangun sel-sel PKI di angkatan perang Indonesia dan membinanya. Ketiga, evaluasi dan melaksanakan tugas-tugas yang tidak mungkin dilakukan oleh alat-alat formal PKI. Dapat dikatakan, Biro Khusus ini merupakan Badan Intelijen PKI.

John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2008) menyebutkan bahwa Sjam merupakan otak dari Gerakan 30 September 1965.

Gerakan itu merupakan gerakan yang tersusun, hal ini dapat dilihat dari cara Sjam menyusun pertemuan atau rapat pembahasan gerakan tersebut walaupun pada akhirnya G30S hanyalah gerakan revolusi yang gagal total.

Sebagai Ketua Biro Khusus Central PKI, Sjam mampu memengaruhi dan membuat para tentara bergabung dengannya.

Berdasarkan keterangannya dalam persidangan, Sjam berhasil merekrut orang-orang dari kalangan tentara sekitar 40-50 orang di Jakarta, 80-100 orang di Jawa Barat, 250 orang di Jawa Tengah, 200 orang di Jawa Timur, 30-40 orang di Sumatera Utara, dan 30 orang di Sumatera Barat.

Sejak akhir Agustus sampai jelang 30 September 1965, para pemimpin Biro Khusus dan Politbiro PKI rutin mengadakan pertemuan.

Politbiro CC PKI memutuskan bahwa D.N. Aidit sebagai pemimpin tertinggi gerakan, Sjam sebagai pimpinan pelaksana gerakan, Pono sebagai wakil pimpinan pelaksana gerakan, dan Walujo sebagai pimpinan bagian observasi.

Namun, gerakan yang telah disusun oleh Sjam melalui Biro Khusus bersama Polibiro CC PKI dan para perwira progresif berakhir dengan kegagalan. PKI disebut-sebut sebagai pihak yang harus bertanggungjawab atas terjadinya G30S 1965.

Nasib Sjam Usai G30S 1965: Sudah Mati atau Masih Hidup?

Laporan tanggal 1 Oktober 1965 menyebutkan bahwa sebagian pasukan gerakan 30 September telah mundur ke Pondok Gede yang sejak awal ditetapkan sebagai tempat pemunduran bagi gerakan.

Sjam Kamaruzaman kemudian melaporkan kegagalan tersebut kepada pimpinan PKI dan menyarankan kepada D.N. Aidit agar bergerak ke Yogyakarta untuk terus memimpin partai dan gerakan.

Namun, D.N. Aidit tetap memerintahkan untuk meneruskan kegiatan perlawanan. Sjam menyadari bahwa gerakan itu tidak dapat dilanjutkan karena situasi sangat menyudutkan PKI.

Oleh karena itu, Sjam, Pono dan Brigjen TNI Soepardjo (anggota militer yang mendukung G30S) pergi ke Kramat Pulo, Jakarta Pusat, sebelum berpencar ke berbagai daerah agar tidak tertangkap.

Pada 6 Oktober 1965, Sjam Kamaruzaman melarikan diri menuju ke Bandung dan berkoordinasi dengan para pengurus PKI serta Biro Khusus PKI Bandung, sekaligus mengamankan diri.

Sjam Kamaruzaman mengasingkan diri kurang lebih selama 1,5 tahun. Sialnya, pada 9 Maret 1967, ia ditangkap melalui operasi Kodam Siliwangi dengan nama Sandi Kalong.

Berikutnya, Sjam Kamaruzaman diadili dalam persidangan Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) sebagai saksi bagi Sekretaris Jenderal CC PKI, Sudisman.

Dalam kesaksian itu, ia menyebutkan bahwa memang dirinyalah yang menyusun rencana G30S. Dinukil dari serial buku Tempo bertajuk "Sjam: Lelaki dengan Lima Alias" (2010), setelah kesaksiannya dalam Mahmilub ia dipenjara sebagai tahanan politik PKI.

Tidak hanya itu, Sjam yang dulunya sangat andal menyusun strategi berubah menjadi lunglai, karena ia dimusuhi juga oleh tahanan politik PKI yang lain. Hal tersebut tak terlepas dari dengan mudahnya ia “bernyanyi” dalam kesaksian di Mahmilub.

Pada akhirnya, tanggal 30 September 1986, Sjam Kamaruzaman menjalani eksekusi hukuman mati.

Baca juga artikel terkait G30S 1965 atau tulisan lainnya dari Alhidayath Parinduri

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Alhidayath Parinduri
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya