Menuju konten utama

Penjelasan Kebijakan Larangan Menahan Ijazah bagi Pemberi Kerja

Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Gubernur DIY mengenai kebijakan larangan penahanan ijazah bagi pemberi kerja. Ini menindaklanjuti SE Menaker.

Penjelasan Kebijakan Larangan Menahan Ijazah bagi Pemberi Kerja
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X saat diwawancarai usai acara melantik Sekretaris Daerah DIY di Bangsal Kepatihan, pada Kamis, 19 Juni 2025. tirto.id/ Abdul Haris

tirto.id - Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Gubernur DIY menerbitkan Surat Edaran Nomor 6851 Tahun 2025 tentang Larangan Penahanan Ijazah dan/atau Dokumen Pribadi Milik Pekerja/Buruh oleh Pemberi Kerja. Simak penjelasan kebijakan larangan menahan ijazah bagi pemberi kerja.

Sri Sultan Hamengku Buwono X menjelaskan beberapa hal kepada Bupati/Wali Kota se-DIY, Ketua DPP APINDO se-DIY, Ketua DPD SP/SB se-DIY, dan Pimpinan Perusahaan se-DIY mengenai kebijakan yang dikeluarkan.

Hal ini berkaitan dengan banyaknya pemberi kerja yang menahan ijazah atau dokumen pribadi lain milik calon pekerja.

Penjelasan Lengkap Tentang Kebijakan Larangan Menahan Ijazah bagi Pemberi Kerja

Melalui akun Humas Pemda DIY di Facebook dan Instagram, informasi mengenai Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Gubernur DIY berisi kebijakan larangan menahan ijazah bagi pemberi kerja.

Terbitnya SE menindaklanjuti SE Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Republik Indonesia Nomor M/5/HK.04.00/V/2024 tentang Larangan Penahanan Ijazah dan/atau Dokumen Pribadi Milik Pekerja/Buruh oleh Pemberi Kerja.

Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam SE yang ditandatangani pada 10 Juni 2025 itu menegaskan bahwa pemberi kerja dilarang mensyaratkan dan/atau menahan ijazah dan/atau dokumen pribadi milik pekerja/buruh sebagai jaminan untuk bekerja.

Dokumen pribadi yang dimaksud antara lain mencakup sertifikat kompetensi, paspor, akta kelahiran, buku nikah, dan buku pemilik kendaraan bermotor.

Pemberi kerja juga dilarang menghalangi atau menghambat pekerja/buruh untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Dalam hal ini lebih layak dalam upah dan beban kerja yang manusiawi.

Kemudian, calon pekerja/buruh dan pekerja/buruh perlu mencermati dan memahami isi perjanjian kerja. Terutama jika terdapat ketentuan yang mensyaratkan penyerahan ijazah dan/atau dokumen pribadi sebagai jaminan untuk bekerja.

Adapun dalam hal adanya kepentingan mendesak yang dibenarkan secara hukum untuk adanya syarat penyerahan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi milik pekerja/buruh kepada pemberi kerja hanya dapat dilakukan dengan ketentuan:

    • Ijazah dan/atau sertifikat kompetensi tersebut diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang dibiayai oleh pemberi kerja berdasarkan perjanjian kerja tertulis; dan
    • Pemberi kerja wajib menjamin keamanan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi yang disimpan dan memberikan ganti rugi kepada pekerja apabila ijazah dan/atau sertifikat kompetensi tersebut rusak atau hilang.

Apakah Penahanan Ijazah Diperbolehkan?

Dari perspektif perusahaan, penahanan ijazah memiliki tujuan agar mencegah karyawan mencari pekerjaan lain selama terkait dengan perusahaan. Dengan kata lain, ijazah merupakan “jaminan” pelaksanaan kontrak kerja oleh karyawan.

Jika menganut SE Menaker dan SE yang telah dikeluarkan Gubernur DIY, penahanan ijazah karyawan dengan alasan jaminan kerja tentunya dilarang. Hal ini karena bertentangan dengan hak pekerja untuk mencari dan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.

Namun, penahanan ijazah boleh saja dibenarkan dengan alasan kepentingan yang mendesak dan dibenarkan secara hukum. Misalnya jika ijazah diperoleh dari pendidikan yang dibiayai oleh pemberi kerja berdasarkan perjanjian tertulis.

Selain itu, apakah boleh pekerja dan pemberi kerja menyepakati penahanan ijazah Kesepakatan mengenai penahanan ijazah bisa jadi muncul atas dasar kebebasan berkontrak (freedom of contract). Ini merupakan salah satu asas yang menduduki posisi sentral dalam hukum kontrak.

Adapun asas kebebasan berkontrak dan itikad baik diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi:

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Baca juga artikel terkait IJAZAH atau tulisan lainnya dari Umu Hana Amini

tirto.id - Edusains
Kontributor: Umu Hana Amini
Penulis: Umu Hana Amini
Editor: Beni Jo