Menuju konten utama

Penahanan Ijazah di Yogya: Praktik yang Langgeng Sejak 2011

Penahanan ijazah oleh sekolah melanggar hak asasi manusia. Hal ini berkorelasi dengan tingkat kemiskinan di Yogyakarta.

Penahanan Ijazah di Yogya: Praktik yang Langgeng Sejak 2011
konpers ijazah siswa ditahan. tirto.id/Dina T Wijaya

tirto.id - Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) menyampaikan surat terbuka untuk Gubernur DIY sebagai bentuk prihatin atas situasi pendidikan di Yogyakarta. Aliansi tersebut mengkritik praktik penahanan ijazah bagi peserta didik sehingga mengakibatkan mereka tak dapat melanjutkan kuliah maupun mengakses lapangan pekerjaan formal setelah lulus.

Berdasarkan laporan yang diterima AMPPY, sekitar 260 ijazah peserta didik SMA, SMK dan MA di Yogyakarta ditahan oleh pihak sekolah. Beberapa alasan penahanan adalah tunggakan pembayaran seperti uang pembangunan, uang praktik, hingga pungutan biaya sumbangan.

Penahanan ini sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, bahkan dari laporan yang diterima AMPPY, terjadi sejak 2011. Namun persoalan ini tak kunjung ada peraturan resmi terkait penyerahan ijazah dari Pemerintah DIY.

AMPPY yang terdiri dari sejumlah organisasi pegiat pendidikan, menyatakan kekecewaan atas polemik yang tak kunjung selesai tersebut. Pasalnya, kasus penahanan ijazah oleh beberapa sekolah kerap terjadi dan melanggar hak asasi. Mereka pun telah melaporkan hal itu ke Kemenkumham. Sekitar 100 berkas aduan telah diserahkan ke Kemkumham.

“Kami menyampaikan saja bahwa penahanan ijazah ini melanggar hak asasi manusia, biar nanti Kemenkumham bisa membantu kami mendorong pemerintah DIY untuk segera menyelesaikan masalah ini,” kata Aris, selaku Ketua AMPPY saat diwawancarai dalam konferensi pers di LBH Yogyakarta (10/10/2024).

Selaras dengan Aris, pihak LBH Yogyakarta, Wetub Ilham Toatobun, yang juga menjadi tim kuasa hukum orang tua siswa menganggap hal ini belum pernah terselesaikan secara serius.

“Ibaratnya masalah ini seperti gunung es, hanya terlihat di permukaan, tapi ketika diperiksa secara serius persoalan ini semakin mengakar,” katanya.

Merespons banyaknya laporan ini, pihaknya mengaku telah membuka posko aduan. Rencananya, posko aduan tersebut akan ada di LBH Yogyakarta. Kemudian, para wali murid dapat melaporkan kasus mereka melalui kontak WhatsApp AMPPY yang tersedia. Mereka menyoroti bagaimana hal itu membatasi siswa melanjutkan masa depannya.

Dalam konferensi pers siang itu, pihak AMPPY juga menyampaikan bahwa penahanan ijazah tersebut di lain sisi justru menambah angka kemiskinan di Yogyakarta yang masih tinggi. Pasalnya para siswa yang belum menerima ijazah, juga terhambat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau mencari pekerjaan.

S, salah satu wali dari seorang siswi SMK yang hadir siang itu mengaku sedih dengan kondisi tersebut. Lantaran pasca dua tahun lulus, putrinya tak kunjung mendapat pekerjaan. Karena hambatan finansial, ia tak mampu menebus kekurangan biaya dari sekolah putrinya sebesar satu juta.

“Putri kami sudah dua tahun gak bisa ngambil ijazah karena keadaan keuangan. Sampai akte anak saya itu ditahan sampai sekarang belum bisa ngambil,” katanya.

S sendiri mengaku kurang paham tunggakan biaya apa yang harus ia penuhi. Sementara, sehari-hari S mengatakan ekonominya sedang tidak mencukupi, dirinya hanyalah ibu rumah tangga, sementara suaminya seorang buruh lepas yang mengelola lahan orang.

Ibu tiga anak itu pun sudah mengajukan bantuan ke Dinsos dan sekali mendapat bantuan dari total tagihan Rp2.250.000. Namun sisanya sekitar sejuta masih harus ia tanggung.

“Saya dulu pernah mengajukan dari Dinsos, tapi masih kurang. Kemarin suruh mengajukan lagi ke Dinsos, tapi belum memberi respons lagi,” jelas dia.

Diketahui pihak dinas sudah mengumpulkan semua kepala sekolah, khususnya sekolah negeri untuk segera memberikan ijazah.

“Cuman faktanya sampai hari ini masih ada di sekolah negeri yang menahan ijazah,” terang Ketua AMPPY, Aris.

Aris menilai masalah ini seolah menjadi budaya. Ia mengungkapkan kebanyakan sekolah yang menahan dokumen kelulusan siswanya tersebut adalah sekolah swasta.

“Soal menahan ijazah kayaknya itu sudah menjadi budaya, bahkan kemarin saya sempat kritik juga masalah anak mau ujian itu tidak diberikan Kartu Ujian sebelum membayar,” tambahnya.

Dalihnya adalah soal pengelolaan sekolah swasta yang bukan di bawah dinas. Berbeda dengan sekolah negeri yang dapat dituntaskan dengan bantuan dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOS), mekanisme untuk sekolah swasta selama ini diselesaikan dengan Jaminan Keberlangsungan Pendidikan (JKP). JKP sendiri merupakan program beasiswa dari pemerintah DIY yang sebagian dananya bersumber dari Dana Keistimewaan DIY.

Menurut keterangannya, pada bulan Mei 2024, sekitar 400 ijazah telah dibebaskan menggunakan JKP setelah ada permohonan di tahun lalu. Namun, bercermin dari masih banyaknya laporan kasus penahanan ijazah, pihaknya juga mendesak pemerintah menambah anggaran JKP.

“Saat ini kami berharap kalau memang seperti itu solusinya, mohon JKP-nya ditambah anggarannya. Cuman kalau seperti itu kami pun sebetulnya nggak sepakat dengan itu, karena sama halnya juga melegalkan sekolah itu untuk menahan ijazah,” tegas dia.

Sementara itu, Budi Santosa Asrori selaku Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Yogyakarta mengungkapkan pihaknya tak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Tirto pun berusaha mengontak Didik Wardaya selaku Kepala Disdikpora DIY yang menangani kasus untuk tingkat SMA-SMK. Namun, hingga berita ini rilis belum ada tanggapan.

Baca juga artikel terkait IJAZAH atau tulisan lainnya dari Dina T Wijaya

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Dina T Wijaya
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Fahreza Rizky