tirto.id - Selasa, 22 November 2016 lalu, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat memutuskan membebaskan Tigor dan Obed (pengabdi bantuan hukum), Hasyim (mahasiswa), dan 23 buruh dari semua dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum. Mereka ditangkap karena aksi menuntut pembatalan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pada 30 Oktober 2015.
Pemberian upah yang layak kepada pekerja sudah diatur berdasarkan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan 28D ayat (2), yang menyebutkan warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan, upah, dan penghidupan yang layak. Kovenan Internasional Mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 7 juga menegaskan bahwa seseorang berhak mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak yang tidak bersifat diskriminatif.
Penangkapan Tigor, Obed, Hasyim, dan kawan-kawan pekerja lainnya memperlihatkan buruknya perlindungan hak para pekerja/buruh Indonesia. Ini bisa terjadi kepada siapa saja.
Tidak Ada Jaminan Hak Bagi Pekerja di Indonesia
ITUC Global Rights Index yang dilansir International Trade Union Confederation menggambarkan negara-negara terburuk di dunia bagi pekerja dengan memberi peringkat 139 negara dalam skala mulai 1-5 berdasarkan tingkat penghormatan terhadap hak-hak pekerja.
Hak-hak pekerja tidak ada di negara-negara dengan nilai 5 dan pelanggaran terjadi secara tidak teratur di negara-negara yang mendapat nilai 1. Indeks tersebut mencakup standar ketenagakerjaan utama yang diakui secara internasional, khususnya hak sipil, hak untuk berunding secara kolektif, hak untuk mogok kerja, hak untuk mendirikan atau bergabung dengan serikat pekerja dan hak untuk berserikat secara bebas.
Sejak 2015, rata-rata nilai indeks negara-negara di Eropa adalah 2. Sementara negara-negara di Asia Pacific adalah 4. Pada tingkat ASEAN, hanya Singapura yang mendapat nilai 3. Nilai ini mengindikasikan adanya pelanggaran hak secara regular, baik dari pemerintah dan/atau perusahaan yang secara teratur mencampuri hak pekerja. Mereka juga gagal untuk menjamin aspek penting dari hak-hak ini.
Sementara, nilai indeks Indonesia berada di bawah Singapura dan Thailand. Pada 2014 dan 2015, Indonesia memperoleh nilai 4, artinya ada pelanggaran hak pekerja yang dilakukan secara sistematis. Dalam hal ini, pemerintah dan/atau perusahaan terlibat dalam upaya serius untuk menghancurkan suara kolektif pekerja yang menempatkan hak-hak dasar di bawah ancaman.
Pelanggaran hak tersebut memburuk setelah 2015, nilai indeks Indonesia turun menjadi 5 pada 2016 dan 2017. Nilai tersebut menandakan tidak adanya jaminan hak bagi pekerja. Dalam laporan bahkan dinyatakan bahwa negara yang mendapat nilai 5 adalah tempat terburuk di dunia untuk bekerja.
Para pekerja tidak memiliki akses ke hak-hak mereka dan berada dalam praktik kerja yang tidak adil. Selain Indonesia, Filipina, Kamboja, Laos, dan Vietnam yang juga tidak memberikan jaminan kepada para pekerja. Sejak 2014, indeks empat negara tersebut adalah 5.
Buruknya penilaian ini disebabkan karena kriminalisasi terhadap pekerja dan pemberangusan hak untuk berserikat. Dalam Catatan Akhir Tahun yang dirilis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, tercatat selama 2015 ada 244 pengaduan untuk kasus perburuhan. Pada 2016 LBH Jakarta menangani lebih lanjut 41 kasus dengan 570 pencari keadilan. Pada 2017, LBH Jakarta bahkan menerima 223 pengaduan dengan 4.565 pencari keadilan.
Salah satu penyebab turunnya nilai indeks Indonesia pada 2016 adalah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap aksi protes upah minimum dalam PP No 78 Tahun 2015 pada Oktober 2015. Serikat buruh mengorganisir protes yang sah dan damai di depan Istana Presiden, tetapi polisi malah menggunakan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan demonstran.
Pengabaian hak pekerja Champ Resto Indonesia juga menjadi sorotan International Trade Union Confederation. Hingga awal 2017, para pekerja masih berdemonstrasi mingguan menuntut pemulihan para pekerja yang diberhentikan, penghormatan terhadap hak berserikat pekerja, dan pemenuhan hak atas asuransi kesehatan pemerintah. Pelanggaran terhadap hak buruh yang terus menerus terjadi, baik yang dilakukan perusahaan atau pemerintah, merepresentasikan absennya negara.
Khususnya soal pengawas ketenagakerjaan dan penegakan serta perlindungan hukum terhadap tenaga kerja. Selain itu, negara acap kali melihat gerakan serikat buruh sebagai ancaman, sehingga membikin kasus perburuhan diselesaikan secara represif. Hak buruh/pekerja untuk berserikat sebenarnya dilindungi UU No 21 Tahun 2001. Namun demikian, kerap kali perusahaan menghalangi hak-hak pekerjanya untuk berserikat (union busting).
Seperti kasus kekerasan yang dilakukan oleh American Phillips Seafood Company di Lampung pada 2016 yang mengebiri hak pekerjanya untuk berserikat. Kasus lainnya adalah pemberhentian kerja sepihak terhadap ketua dan sekretaris Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan. Alasannya, mereka ikut berdemonstrasi menuntut Hadiah Akhir Tahun (HAT) yang tercantum dalam Perjanjian Kerja Bersama.
Indonesia Kekurangan Angkatan Kerja Berpendidikan Sarjana
Dalam hal memperjuangkan haknya, para pekerja harus memiliki daya tawar yang kuat. Tenaga kerja yang pacak dan punya posisi tawar tinggi ini bisa dicapai dengan kualitas pendidikan yang mumpuni. Sayangnya, mayoritas pekerja Indonesia adalah tamatan sekolah dasar. Meski kian berkurang sejak 2014, yaitu dari 33 juta pekerja menjadi 31,2 juta pekerja di 2017, tetapi jumlahnya tetap dominan. Sementara, tenaga kerja Indonesia yang punya titel minimal sarjana hanya sebesar 11,3 juta orang pada 2017.
Menteri Ketenagakerjaan, Muhammad Hanif Dhakiri, mengeluhkan "Negeri ini masih kekurangan angkatan kerja berpendidikan sarjana”. Ia juga menilai tenaga kerja Indonesia masih kurang terampil. Saat ini, jumlah tenaga kerja terampil tercatat hanya 57 juta orang. Padahal, Indonesia memerlukan tenaga kerja terampil sebanyak 113 juta orang di 2030. Angka ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan latar belakang pendidikan juga dominan.
Pemerintah tak boleh abai dalam melindungi pekerja Indonesia, apalagi melihat jumlah pekerja Indonesia mayoritas berpendidikan rendah. Kondisi tersebut membuat pekerja Indonesia rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi. Rapor merah Indonesia dalam memenuhi hak-hak pekerjanya perlu segera diperbaiki.
Kebijakan yang dibuat juga seharusnya tidak melemahkan gerakan buruh untuk berserikat. Aksi-aksi yang bertujuan memperjuangkan hak pekerja pun tak boleh diberangus. Di sisi lain, pekerja juga harus punya kesadaran untuk meningkatkan kualitas diri. Salah satunya adalah dengan menempuh pendidikan tinggi. Harapannya, pekerja akan lebih memahami haknya, khususnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Dengan begitu, pekerja akan memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan perusahaan.
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Suhendra